Oleh: Jannerson Girsang.
“Speech has power. Words do not fade. What starts out as a sound, end in a deed”. Pidato memilki kekuatan. Kata-kata tidak memudar. Apa yang dimulai dengan suara, berakhir dengan satu akta”
(Abraham Josua Herschel).
Kita baru saja memeringati Hari Pahlawan 10 Nopember. Mungkin kita lupa bahwa di balik perjuangan heroik masyarakat Surabaya, ada sebuah pidato heroik di belakangnya. Tak salah kiranya melalui artikel singkat ini saya mengajak semua tokoh bangsa, khususnya para generasi millenium merenungkan kembali pidato Bung Tomo, pidato pemersatu.
“Merdeka atau Mati” yang dikumandangkan Bung Tomo melalui pidatonya menginspirasi, membangun kebersamaan, persatuan untuk mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesa yang diproklamirkan 17 Agustus 1945.
Pidato Bung Tomo relevan mengingatkan para tokoh tokoh kita di masa Kampanye Pilpres dan Pileg 2019. Kita tidak memungkiri banyaknya pidato-pidato, statemen statemen para tokoh saat ini yang cenderung memicu kontroversi dan melupakan esensi sebuah kampanye.
Musuh Bersama: Ultimatum Jenderal Inggeris
Mari sejenak kita memutar memori 73 tahun yang lalu. Surabaya 10 Nopember 1945. Pukul 10.00 pagi. Itulah batas waktu penyerahan senjata ke pihak Inggeris.
Berbagai referensi mengisahkan bahwa beberapa hari sebelum peristiwa heroik itu, Brigadir Jenderal Aubertin Malaby, Komando Infanteri Brigadir India ke-49, tewas akibat baku tembak di Surabaya tanggal 30 Oktober 1945.
Lalu penggantinya Robert Mansergh memberi ultimatum kepada pejuang dan pimpinan rakyat Indonesia agar menyerahkan senjata kepada pihak Inggeris, yakni 10 Nopember 1945, pukul 10.00 pagi.
Musuh bersama rakyat Surabaya jelas dalam pidato itu dan mengandung semangat yang membangkitkan keberanian seluruh elemen masyarakat dari berbagai suku, agama, budaya, para tokoh agama, bersatu melawan musuh bersama bangsa.
Dalam pidatonya, Bung Tomo memberitahukan rakyat Surabaya bahwa hari itu tentara Inggeris telah menyebarkan pamflet-pamflet yang memberikan suatu ancaman yang mewajbkan mereka menyerahkan senjata-senjata yang dirampas dari tangan tentara Jepang.
“.....Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah. Yang dapat membikin secarik kain putih meran dan putih. Maka selama itu kita tidak akan mau menyerah kepada siapapun juga. ....................Dan untuk itu saudara-saudara. Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka. .......Dan kita yakin saudara-saudara. Pada akhirnya pastilah kemenangan jatuh ke tangan kita. Sebab Allah selalu berada di pihak yang benar. .......Semboyan kita tetap: merdeka atau mati,’ ujar Bung tomo dalam pidatonya yang disampaikan berkali-kali melalui radio.
Pidato itu mengajak rakyat Surabaya tidak mematuhi perintah itu. “Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka”. Ungkapan yang membangkitkan semangat dan heroisme. Meski akhirnya harus menghadapi serangan tentara Inggeris dengan persenjataan yang lebih modern itu, menyerang melalui darat, laut dan udara.
Seluruh rakyat bergerak. Pemuda-pemuda yang berasal dari Maluku, Sulawesi, Bali, Kalimantan, Sumatera, Aceh, Tapanuli dan seluruh pemuda yang ada di Surabaya ini, seperti diungkapkan dalam pidato itu.
Sikap masyarakat Surabaya menunjukkan kepada dunia internasional, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang gagah berani, secara bersama-sama tak memandang suku, agama, budaya dan latar belakang menentang segala bentuk tindakan yang menganggu kedaulatan negara.
Semangat rakyat Surabaya melawan ultimatum Jenderal Robert Mansergh itu juga menginsprasi masyarakat di kota kota lainnya yang kemudian juga melawan serangan-serangan bangsa yang ingin mengganggu kedaulatan bangsa Indonesia. “Bandung Lautan Api”, sebuah gambaran serangan yang dahsyat ke kota itu.
Semangat itulah yang kita banggakan hari ini, bahwa ketika kita bersatu, semua masalah dapat kita atasi, cita-cita kita dapat kta capai. Mencapai cita-cita bersama membutuhkan dedikasi dan pengorbanan.
Usia 25 Tahun
Pernahkah Anda, para generasi millenium mendengar secara penuh pidato itu?. Kalau belum mungkin saatnya Anda mendengarnya, merenungkan dan mencoba membayangkan peristiwa 10 Nopember 1945 itu. Rekaman suaranya tersedia di youtube dan berbagai media sosial.
Pernahkah Anda membayangkan kalau Bung Tomo ketika itu baru berusia 25 tahun? Pria gagah dan bersuara lantang menyampaikan pidato yang tegas, jelas, inspiratif dan terarah. Luar biasa bukan?. Pria itu seusia mereka yang mungkin baru lulus perguruan tinggi atau baru memulai profesinya, bekerja.
Foto Bung Tomo yang legendaris dan beredar hingga saat ini, mengenakan topi, berpidato dengan mengacungkan tangan, penuh emosi, di depan mikropon. Seorang anak muda sedang mengerahkan para pemuda Surabaya untuk maju bertempur melawan tentara Inggeris melalui meda yang tersedia saat itu: RRI
“Tak dapat dipungkiri, pidato Bung Tomo pada 10 November 1945 menjadi penyemangat arek-arek Suroboyo untuk bangkit melawan, dan tidak gentar oleh serangan pasukan Inggris yang dilengkapi dengan senjata canggih. Dengan keyakinan yang tinggi, serta semboyan merdeka atau mati, arek-arek Suroboyo pantang menyerah dan dengan gagah berani melawan pasukan Inggris di Surabaya,” demikian Harian Merdeka dalam edisi 10 Nopember 2013.
Pidato yang menginspirasi, menyuarakan suara hati rakyat, membekali tenaga baru, d luar tenaga fisik yang dimiliki para pejuang-pejuang dan rakyat dalam pertempuran dramatis antara arek-arek Suroboyo melawan tentara Inggeris yang ingin menguasai Surabaya pada 10 Nopember 1945.
Menuju Pilpres dan Pileg 2019
Kalau Bung Tomo yang berusia 25 tahun mampu menyampaikan pidato yang menginspirasi masyarakat Surabaya dengan media yang masih terbatas, maka di era Milenium ini, seharusnya para tokoh yang jauh lebih tua, lebih bijak seharusnya mampu menciptakan dan menyuarakan pidato pidato yang lebih bersemangat lagi.
Pidato Bung Tomo relevan untuk kita renungkan saat ini, khususnya dalam iklim menuju Pileg dan Pilpres. Pidato seorang tokoh haruslah menyuarakan suara rakyat menuju masyarakat adil dan makmur, mendorong kebersamaan dalam menghadapi tantangan dari dalam maupun dari luar, tidak memandang suku, agama, maupun latar belakanganya.
Pidato memang bukan unsur satu-satunya alat perjuangan. Tetapi seperti kata Herschel, pidato memilki kekuatan. Sesuatu dimulai dengan suara, berakhir dengan satu aksi bela negara!.
Mari, para tokoh bangsa, para anak-anak millenium, suarakanlah, pidatokanlah suara yang mampu menggerakkan rakyat secara bersama-sama melakukan aksi menuju masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Renungkanlah pidato Bung Tomo!.
Hindari pidato-pidato yang hanya mengundang kontroversi, apalagi ujaran kebencian. Hanya enak atau asyik dibahas di televisi tetapi tidak memberi semangat bagi kekutsertaan seluruh malawan musuh bersama kita: memberantas kemiskinan, kebodohan, memberi pekerjaan kepada penganggur, peningkatan kesehatan, pendidikan dan minat baca masyarakat.***
Penulis adalah kolumnis, penulis biografi, tinggal di Medan.