Cerpen

Ibuku Tidak Bisa Memasak

Oleh: Fairuz Raihannah Hasibuan.

Namaku Fandi, umurku 11 tahun. Kini aku duduk di kelas 5 SD. Sama seperti anak lain, aku sangat menikmati hidupku, kecuali pada satu hal yaitu ibuku. Kriiiiiing….. bel istirahat berbunyi. Semua anak di kelasku mulai mengeluarkan bekal mereka masing-masing. Aku pun mulai melakukan hal yang sama, sambil bermalas-malasan.

Dengan enggan, aku mulai membuka bekalku. Dan benar saja, hanya dengan melihat isinya aku sudah mual. Di dalam tempat bekalku terdapat seporsi nasi dan ayam goreng yang bahkan belum masak benar. Bagaimana aku makan jika lauknya begini? Inilah yang kualami setiap hari. Ibuku sebenarnya adalah ibu yang hebat. Ia bisa bekerja sekaligus mengurus rumah dengan baik. Ibu bisa mengerjakan apa saja kecuali satu hal, memasak. Apapun yang ibu masak tidak pernah terasa enak di lidahku. Beberapa kali aku mencoba untuk membuat ibu berhenti masak, namun tetap saja gagal.

Aku melirik ke arah kembaranku Finda. Ia masih berusaha untuk menghabiskan bekal yang dibuatkan oleh ibu, meski wajahnya terlihat amat tersiksa. Aku berjalan ke luar kelas sambil membawa bekalku.

“Fandi mau ke mana?” Tanya Finda padaku.

“Aku mau membuang bekal ini. Mana mungkin aku makan dengan lauk yang begini” ucapku

ketus padanya.

“Tapi ibu sudah capek-capek membuatkannya untuk kita” kata Finda lagi.

Aku tak lagi meng­hiraukannya. Dengan segera aku pergi ke tong sampah terdekat. Tak lama kemudian, bel tanda istirahat telah berakhir pun berbunyi. Aku kembali duduk di bangku ku. Sela­ma pelajaran, aku tidak bisa fokus. Perutku lapar sekali sementara aku belum makan sama sekali. Sepertinya Finda menyadari keadaanku. Sebentar-sebentar ia melirik ke arahku dengan tatapan khawatir. Aku sebenarnya ingin sekali pergi membeli makanan di kantin saja. Namun, uangku hanya cukup untuk ongkos menaiki angkutan umum pergi dan pulang sekolah. Ibuku terlalu sibuk sampai tidak sempat untuk mengantar dan menjemput aku dan Finda ke sekolah. Aku cuma bisa meringkuk di atas bangku.

Akhirnya setelah beberapa lama menahan lapar, bel pulang sekolah berbunyi. Aku segera mengajak Finda untuk pulang.

“Fandi, kamu pasti kelaparan kan? Kan sudah kubilang bekalmu sebaiknya jangan dibuang. Apa salahnya kamu makan saja masakan ibu? Meskipun memang tidak enak…” kalimat terakhir yang diucapkan Finda hanya berupa bisikan, tapi aku bisa mendengarnya.

”Lebih baik aku kelaparan daripada makan makanan yang tidak enak begitu” ucapku pada Finda.

Finda tau, jika sudah bicara begini, aku tidak mau diajak debat lagi. Selama perjalan di angkutan umum menuju ke rumah, aku dan Finda tak saling bicara. Sepertinya ia marah padaku karena sudah menghina masakan ibu.

Sesampainya di rumah, kami melihat pintu depan rumah kami terbuka. Aku dan Finda saling bertatapan. Kami berdua panik. Jangan-jangan… sesegera mungkin kami berlari masuk ke rumah. Namun, yang kami takutkan tidak ada. Yang ada malah ayah kami yang tengah duduk di sofa ruang tamu.

“Ayah!! Kami kita tadi ada orang jahat yang masuk kerumah, karena jam segini ibu harusnya belum pulang” teriak Finda.

Kami berdua senang sekali. Ayah adalah seorang diplomat, yang mengharuskan ia untuk bekerja diluar negeri. Ayah sangat jarang pulang k erumah, bisa dihitung dengan jari berapa kali ayah pulang dalam setahun. Hal yang paling aku suka jika ayahku pulang adalah, kami pasti akan makan di luar, sehingga aku tidak perlu lagi memakan masakan ibu yang tidak enak. Finda mulai menanyakan ayah bagaimana pekerjaannya dan dari mana saja ia. Dengan semangat ayah mulai bercerita. Namun, esok ayah sudah harus pergi lagi karena jadwal kerja yang amat padat. Aku menghela nafas lemah. Berarti besok aku harus kembali makan masakan ibu.

Ketika malam tiba, ayah mengajak kami semua untuk ke luar makan malam. Aku dan Finda senang sekali, terutama aku, yang tadi siang memang belum makan apapun. Setelah selesai makan, kami pergi jalan-jalan ke pusat belanja. “Selagi ayah masih di sini” kata Finda. Karena sangat senang, malam ini terasa menyenangkan. Sesampainnya di rumah, aku langsung tidur.

“Fandi bangun, ini sudah pukul enam” suara ibu mem­bangunkanku. Aku langsung bersiap-siap untuk pergi kesekolah. Aku menatap malas saat ibu memasukkan bekal ke dalam tasku. Saat jam isitirahat, aku kembali membuang bekalku. Namun, hari ini aku tidak sendiri. Ternyata Ray,teman sekelasku, juga merasakan hal yang sama. Ibunya juga tidak pintar masak. Namun Ray cukup beruntung, orangtuanya termasuk orang kaya. Uang sakunya selalu cukup untuk membeli makan di kantin.

“Fandi, kamu mau aku traktir makan siang? Aku sering lihat kamu kelaperan di kelas” kata Ray padaku.

Aku mengangguk. Ray langsung menarikku dan mengajakku ke kantin. Semenjak itu, aku dan Ray bersahabat. Sudah dua bulan semenjak aku dan Ray berteman. Pagi ini saat aku masuk ke kelas, ada yang berbeda.

“Fandi ternyata suka membuang bekal dari bunya ya?” teriak seseorang.

“Iya tuh, ibunya gak pintar masak” teriak yang lain.

Dan masih banyak lagi yang keluar dari mulut mereka. Aku sudah tidak tahan lagi. Mereka tau darimana? Setelah kuingat-ingat, hanya Ray dan Finda yang tau hal ini. Aku segera berlari menghampiri Ray, dan benar saja, memang dia yang menyebarkannya ke semua teman sekelas. Aku benar-benar marah saat itu, tanganku yang terkepal segera meninju mukanya. Perkelahian tidak terelak lagi.

Kami berdua berakhir di ruang BK. Setelah mendengar ceramah dari Bu Salwa, guru BK, hukuman untuk kami pun diputuskan. Aku wajib ke ruang BK setiap hari untuk membersihkan ruang BK. Selama itulah, aku belajar untuk tidak menyebarkan aib ibuku ke orang lain, dan lebih menghargai orang tua. Semenjak kejadian itu, aku jadi ter­motivasi untuk pergi les memasak dan mengajari ibuku ca­ranya memasak. Lama kelamaan ibu mulai pintar me­masak dan aku juga sudah belajar untuk lebih menghargai ibu.

(SMP Negeri 1 Medan Kelas IX)

()

Baca Juga

Rekomendasi