W.R Supratman, Pahlawan yang Berjuang Lewat Seni

W.R. Supratman merupakan salah satu pahlawan nasional. Dia dikenal sebagai pencipta lagu Indonesia Raya, yang merupakan lagu kebangsaan Indonesia. Hanya saja, jasa kepahla­wanan W.R Supratman ini tidak ter­lalu dikenal masyarakat. Dia hanya dike­nal sebagai pencipta lagu saja. Padahal ada proses panjang dan ber­liku dalam penciptaan lagu Indonesia Raya. Bahkan dia harus mengor­ban­kan kebebasannya, serta harus siap berhadapan dengan agen-agen PID (Dinas Intelejensi Kepo­lisian Hindia Belanda).

Buku ini dengan tampilan berupa novel biografi W.R Supratman, akan mengupas lebih detail tentang perja­lan hidup serta seluk beluk dan proses yang harus dilalui Supratman dalam menciptakan lagu Indonesia Raya. W.R Supratman lahir di Puworejo. Akan tetapi dia tumbuh be­sar di Ma­kasar. Kare­na sejak ibunya me­ninggal dunia, dia di­rawat oleh Ruki­yem, ka­kaknya. Di sana­lah dia belajar bahasa Belanda dan musik.

Namun ketika me­­nginjak usia de­wa­sa, Supratman me­mu­tuskan untuk pindah ke Jawa. Se­mua ber­mula dari per­te­muan­nya de­ngan Mr. Schul­ten dan berba­gai surat kabar se­perti, Kaum Muda, Sin Po, Per­nia­­gaan dan lain se­bagainya, yang telah menjadi bacaan sehari-hari Suprat­man. Dari sana dia mengetahui tentang keadaan perge­rakan di tanah Hindia –Belada, teru­tama di pulau Jawa. Dia juga mulai mengenal nama-nama tokoh-tokoh pergerakan se­perti, Douwes Dekker, Suwardi Surya­ningrat, Abdul Muis dan Dr. Cipto Mangunkusomo (hal 25-26). Sejak saat itu, hati nuraninya merasa terusik dan terpanggil untuk ikut serta dalam perjuangan Indonesia.

Di Jawa—tepatnya di Bandung, Supratman memulai karirnya sebagai wartawan di surat kabar Kaum Muda. Lalu pindah ke Batavia dan ikut be­kerja di Biro Pers Alpena. Dan ter­­akhir dia memutuskan untuk be­kerja di surat kabar Sin Po. Supratman sangat menikmati pekerjaanya. Kare­na profesi itu membuatnya bisa mem­beritakan dan menyebarkan berita-be­rita tentang gerakan-gerakan pemu­da ke seluruh penjuru negeri (hal 140).

Namun berlalunya waktu, Suprat­man ingin bisa menyumbang sesuatu yang lebih. Sebagai warga Indonesia, dia juga ingin ikut berjuang meski bukan dalam ranah politik. Saat itulah dia tiba-tiba memiliki ide untuk membuat sebuah lagu yang sesuai de­ngan suasana pergerakan. Dia ber­harap lagu itu bisa menghibur dan memotivasi semangat pergerakan. Dan di antara lagu yang diciptakan Supratman adalah “Indonesia Raya”.

Lagu itu pertama kali dikuman­dangan pada bulan Oktober 1928, saat berlangsungnya Kongres Pemu­da II. Sambutan untuk lagu ini sangat luar biasa. Bahkan sejak saat itu, lagu “Indonesia Raya” selalu diku­man­dangkan apabila ada kong­res-kongres politik. Di mana saat me­nguman­dangkan lagi itu, para peserta harus berdiri tegak dan ber­sikap hormat. Se­dang lirik lagu Indonesia raya per­tama kali disebar­kan oleh surat kabar Sin Po, pada edisi Sabtu, 10 Novem­ber 1928 (hal 285).

Sejak lagu “Indonesia Raya” dikenal oleh masyarakat, sejak saat itu pula kehidupan Supratman beru­bah. Dia selalu merasa diikuti dan diintai oleh agen-agen PID Keadaan itu sungguh membuat Supratman tidak nyaman dan harus bersembunyi. Akan tetapi ternyata Agen PID itu berhasil menemukan Suprat­man dan memuku­linya hingga babak be­lur. Tidak hanya itu, Supratman juga harus mencicipi ma­suk dalam bui, karena menciptakan lagu Indonesia Raya serta karena buku karya­nya yang dianggap sebagai makar.

Akan tetapi meski harus mengha­dapi berbagai tantangan dan kekeja­man Belanda, Supratman tetap teguh dan tidak goyah. Meski sempat dian­cam dan difitnah telah melakukan pla­giasi, bahkan jatuh sakit, dia tetap menciptakan berbagai lagu, yang di­rasanya bisa memotivasi pemuda In­do­­nesia untuk terus melakukan per­gerakan, guna merebut kemedekaan.

Melalui seni, Supratman mengeks­presikan rasa cinta tanah airnya dan menunjukkan sikap nasionalisme yang tinggi. Dia mengobarkan sema­ngat juang para pemudah Indonesia, lewat lirik lagu yang dia ciptakan. Sebaimana yang dikatakan Ir. Sukar­no, “Kau berjuang dengan biolamu, de­ngan lagu yang kaugubah, yang alunan nadanya merasuk ke telinga semua orang dan menggelorakan sanubari.” (hal 282).

Sayangnya, dia tidak sempat mencecap kemerdekaan, karena dia meninggal pada tanggal 17 Agustus 1038, karena sakit. Buku ini sangat patut dibaca oleh masyarakat luas, sebagai tambahan wawasan.***

Peresensi: Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara.

()

Baca Juga

Rekomendasi