804 Desa di Aceh Masih Tertinggal

Banda Aceh, (Analisa). Sebanyak 804 desa (gampong) atau 12,36 persen dari seluruh desa yang ada di Aceh hingga tahun 2018 masih masuk dalam kategori tertinggal. Hal itu berdasarkan pendataan Potensi Desa (Podes) yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh. Dari hasil Podes 2018, tercatat ada 6.508 wilayah administrasi pemerintahan setingkat desa di Aceh, yang tersebar di 289 kecamatan dan 23 kabupaten/kota.

“Desa di Aceh yang masuk da­lam kategori mandiri sebanyak 226 desa (3,47 persen), 5.476 desa ber­kembang (84,17 persen) dan 804 desa tertinggal (12,36 persen),” ujar Kepala BPS Aceh, Drs Wahyudin, MM pada pemaparan hasil pen­dataan potensi desa Aceh tahun 2018 kepada wartawan di Aula BPS setempat, Senin (10/12).

Menurutnya, BPS melakukan penghitungan Indeks Pemba­ngunan Desa (IPD) yang menunjukkan tingkat perkembangan desa. Sema­kin tinggi IPD menunjukkan makin mandiri desa tersebut.

Pada 2018, sebagian besar desa di Aceh termasuk dalam kategori desa berkembang dan baru sebagian kecil desa yang masuk dalam kategori mandiri. Meski demikian, jumlah desa yang dalam kategori mandiri itu sudah lebih banyak, yaitu bertambah 86 desa dari tahun 2014. Selain itu, desa tertinggal pada tahun 2018 sudah berkurang sebanyak 1.223 desa dibandingkan tahun 2014 yang mencapai 2.027 desa (31,16 persen).

Indikator yang mengalami perubahan nilai terbesar dibandingkan 2014, menurut dimensi pembentuk IPD, yaitu kelengkapan pemerintahan desa, akses penerangan jalan, kondisi infrastruktur, waktu yang ditempuh per kilometer ke kantor camat pada dimensi transportasi, ketersedian fasilitas olah­raga pada dimensi pelayanan umum serta ketersediaan dan kemu­dahan akses ke poskesdes atau polindes pada dimensi pelayanan dasar.

Wahyudin mengungkapkan, Podes 2018 juga menyajikan berbagai informasi terkait potensi-potensi desa dan ketersediaan infrastruktur penunjang berbasis kewilayahan di Indonesia. Misalnya, potensi pada bidang pariwisata melalui data desa wisata.

Karakteristik khusus

Desa wisata ,menurut pendataan Podes 2018, adalah sebuah kawas­an pedesaan yang memiliki beberapa karakteristik khusus untuk menjadi daerah tujuan wisata. Keberadaan desa wisata diatur dalam peraturan daerah (Perda) setempat. Pada umumnya, penduduk di kawas­an desa wisata memiliki tradisi dan budaya yang khas serta alam dan lingkungan yang masih terjaga.

Pada bidang ekonomi, diketahui desa dengan keberadaan industri kecil dan mikro mengalami pe­ningkatan pada beberapa bidang industri. Peningkatan terbesar terjadi pada industri dari kain tenun, yaitu sebesar 81,95 persen (menjadi 504 desa). Selain itu, terjadi peningkatan pada desa dengan keberadaan industri dari kayu, yaitu sebesar 4,85 persen (menjadi 1.146 desa) atau 17,61 persen dari total desa yang ada.

Pada sarana ekonomi lainnya, ju­ga terjadi peningkatan, seperti keberadaan pasar, mini market, restoran dan warung kelontong. Desa de­ngan keberadaan mini market me­ningkat sebesar 23,22 persen diban­dingkan tahun 2014, yaitu menjadi 329 desa. Desa dengan keberadaan pasar dengan bangunan, baik ba­ngunan permanen maupun bangun­an semi permanen, meningkat 9,09 per­sen dibandingkan tahun 2014, yaitu menjadi 492 desa.

Desa dengan keberadaan restoran/rumah makan meningkat 4,05 persen dibandingkan tahun 2014, yaitu menjadi 154 desa. Sedangkan desa dengan keberadaan toko/warung kelontong meningkat1,80 persen dibandingkan tahun 2014, menjadi 5.271 desa. Pada bidang kesehatan, sarana kesehatan mengalami peningkatan yaitu pada keberadaan puskesmas, poliklinik dan tempat praktik dokter.

Desa dengan keberadaan pus­kesmas meningkat 11,90 dibanding­kan tahun 2014, menjadi 395 desa. Desa dengan keberadaan polikli­nik meningkat 23,86 persen di­bandingkan tahun 2014, menjadi 258 desa/gampong. Sementara de­sa dengan keberadaan tempat praktek dokter meningkat 8,60 persen di­bandingkan tahun 2014, menjadi 404 desa.

Selanjutnya, pada bidang perumahan dan lingkungan hidup, ada beberapa peningkatan di beberapa hal, contohnya pada penggunaan LPG dan jamban. Pertama, desa de­ngan keberadaan pengguna LPG sebagai bahan bakar untuk mema­sak meningkat 40,76 persen di­bandingkan tahun 2014, menjadi 6.016 desa (92,44 persen).

Kedua, desa dengan keberadaan pengguna jamban sebagai fasilitas buang air besar meningkat sebesar 28,19 persen dibandingkan tahun 2014, yaitu menjadi 5.834 desa. Kemudian, pada bidang pendidikan, diketahui 51,89 persen atau 3.377 desa telah mempunyai SD/MI. Selain itu, 1.268 desa telah mempunyai SMP/MTs. Hal ini ber­arti desa dengan keberadaan Se­kolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah meningkat 7,82 persen dibandingkan tahun 2014.

Jumlah desa yang mempunyai SMU/A dan SMK juga mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2014, masing-masing 9,79 persen dan 21,82 persen. Untuk pendidikan kepala desa/lurah, ternyata 5.199 desa dipimpin oleh kepala desa/lurah berpendidikan minimal SMU/sederajat. Itu berarti menunjukkan kenaikan sebesar 14,29 persen dibandingkan tahun 2014 yang hanya 4.549 desa.

Terakhir, pada bidang komunikasi dan informasi, diketahui desa dengan keberadaan pelayanan dari Pos Indonesia (baik itu berupa Kantor Pos, Pos Pembantu, Rumah Pos atau Pos Keliling) meningkat sebesar 49,27 persen dibandingkan tahun 2014, menjadi 818 desa.

Selain itu, pada 2018 desa de­ngan keberadaan jasa ekspedisi 4,73 persen atau sebanyak 308 desa. Dalam mendukung komitmen Indonesia dalam penerapan Industri 4.0 di Indonesia, ternyata desa dengan keberadaan jangkauan sinyal telepon sudah mencapai 6.394 desa dan 95,04 persen dari semua desa di Aceh sudah terjangkau sinyal internet atau 6.185 desa. (mhd)

()

Baca Juga

Rekomendasi