Sumut Rawan Longsor, Rawan Likuifaksi

Oleh: M. Anwar Siregar

Tak terasa, hampir lima belas tahun lewat sudah sejak gempa besar mengguncang Aceh 26 Desember 2004 dan empat belas tahun gempa Nias yang terjadi di bulan 28 Maret 2005 yang me­nyebabkan ribuan korban jiwa dan miliaran kerugian harta benda.

Peristiwa ini menjadi sebuah catatan sejarah bagi Indonesia dan seharusnya menjadi pembelajaran tata ruang bagi kota di Indonesia karena ancaman gempa dan tsunami masih setiap saat hadir untuk menguji tata ruang dan test bagi manusia apakah sudah membi­asakan hidup selaras de­ngan bencana. Jika tidak maka untuk se­lanjutnya akan menghancurkan sega­la­nya dan Sumatera Utara di prediksi ter­masuk daerah paling rawan gerakan ta­nah dan likuifaksi serta tsunami.

Seharusnya dalam rentang 10 tahun le­bih sudah seharusnya memiliki ketang­guh­an menghadapi gempa dan tsunami ka­rena ada beberapa daerah sangat rawan menghasilkan bencana tsunami dan juga dapat menghasilkan bencana likuifaksi yang maha dashyat walau kekuatan gempa tidak sehebat gempa tsunami Aceh namun rawan bencana gerakan ta­nah dan gempa bumi.

Dan kejadian gempa lainnya seperti gempa Aceh 2004 dan gempa Flores 1992, 2016 dan gempa Lombok dan palu Dong­­gala 2018, jangan dikenang sebagai pem­belajaran, namun harus diimple­men­tasikan dalam bentuk budaya hidup selaras bersama bencana agar dapat meng­ingatkan kita untuk kembali bahwa wila­yah Sumatera Utara dapat meng­ha­sil­­kan bencana atau di landa gempa.

Gambaran Likuifaksi

Jangan menganggap Sumatera Utara aman dari bahaya bencana likuifaksi, se­bab Sumatera Utara identik dari gera­kan tanah, sebagai gambaran bagaimana terjadinya likuifaksi, daerah yang rentan gerakan tanah merupakan daerah rentan likuifaksi karena ada air di dalamnya belum terkuras habis, masih banyak air di dalamnya sehingga tanah yang mulai padat (solid) mengalami perubahan fisik atau transformasi menjadi atau menuju keadaan cair (liquid), akibat ada peningkatan beban pikul infra­struktur atau tekanan hidrostatik, sehingga beban teka­nan pada siklik yang cukup tinggi berubah secara tiba-tiba menjadi cair “bu­bur” panas yang membuih lalu me­run­tuhkan segalanya yang ada di atasnya, bergerak, lalu tertelan ke dalam bumi.

Daerah di Sumatera Utara umum­nya daerah rentan gerakan tanah, umumnya gerakan tanah lebih banyak disebabkan oleh kondisi tanah mengalami peru­bahan fisik karena adanya rongga yang me­nga­lami “pemutusan” antar kekuatan bu­tir oleh air sebagai “oli pelumas”, maka ter­­jadi gerakan tanah atau longsor, dan gam­­baran ini dapat dilihat pada jalan me­nuju ke neraka yaitu jalan Aek Latong dan Batu Jomba, ada atau tidak gempa se­ring mengalami gerakan tanah mena­hun disebab­kan kondisi geologi bawah permu­kaannya telah mengalami kondisi liquid, dan deformasi material teknis apa­pun diupayakan akan meng­alami peru­bah­an beban siklik karena daya dukung tanahnya sudah sangat rendah sehingga dapat menyebabkan banyak rumah dan pemukiman mengalami penenggelaman.

Selain itu, likuifaksi disebabkan ada­nya gempa yang kuat yang menye­bab­kan efek guncangan berganda sehingga cenderung merusak infrastruktur walau kekuatan gempa tidak begitu kuat jika terjadi di daerah rawan gerakan tanah dan menambah kekuatan daya merusak se­gala yang ada diatasnya, gambaran se­perti inilah seharusnya menjadi pembe­la­jaran bagi tata ruang kota yang ada di Su­matera Utara.

Daerah Rawan Likuifaksi

Daerah rawan likuifaksi di Sumtera Uta­ra antara lain, Tapanuli Selatan, Nias, Ta­nah Karo, Humban Hasundutan, Toba Sa­mosir, Madina, Sibolga, Langkat mau­pun Simalungun, daerah lain memiliki tingkat resiko menangah namun bukan telah aman namun tetap merasakan efek penjalaran, dan suatu saat akan menekan tata ruang yang berdekatan dari wilayah me­miliki kerentanan sangat tinggi, ter­masuk kota Medan yang berdekatan de­ngan pusat gempa di Tanah Karo dan Lang­kat serta Simalungun lalu naik kelas ke kategori sangat rawan.

Semua daerah tersebut memi­liki ka­rak­teristik tatanan geo­logi gempa dan ge­rakan tanah yang tinggi dan likuifaksi ada­lah proses akhir dari bencana yang akan terjadi berupa keluarnya lumpur di dalam permukaan tanah yang tersusun dari material sedimen yang banyak “membungkus” lapisan tanah di daerah tersebut sehingga memiliki gambaran kerentanan likuifaksi tinggi di masa mendatang jika terjadi guncangan gempa,

Atau pada skala jangka pendek dengan ada perubahan efek penambahan beban pikul pem­bangunan infrastruktur berat akan mengubah perilaku tanah menga­la­mi deformasi geser dan menjadikan tanah se­makin lunak, dan ini akan menambah gaya amplifikasi semakin besar akan me­nyebabkan tanah bercampur air menjadi lum­pur sedang gaya gempa a-seismik (gem­pa bergerak lambat dalam pengum­pul­an kekuatan yang membesar dalam pu­luhan tahun) dan itu akan meneruskan re­sonasi getaran ke bangunan diatasnya se­hingga akan menyebabkan kehancu­ran.

Karakteristik Likuifaksi

Daerah yang memiliki likuifaksi umum­nya di lewati oleh jalur patahan aktif dan melewati ketataruangan daerah ter­sebut atau di belah oleh patahan, gu­nungapi, dan sungai-sungai besar atau­pun juga berbatas langsung ke zona pantai dan bencana banjir turut “membantu” pe­ngikisan kekuatan tanah dan gempa ke­cil mencacah menjadi bubur.

Patahan aktif seperti segmen Patahan Re­nun-Toru-Toba-Angkola-Asik yang ba­nyak membelah tata ruang kota di Su­matera Utara, patahan menyilang di Si­malungun dan Langkat dengan lembah tek­tonik yang telah mengalami pencaca­han tanah sehingga memudahkan tanah bergerak atau likuifaksi,

Sebagai contoh misalnya Tapanuli Se­latan, tata ruangnya dikelilingi patahan Ang­kola dan Renu Toru, lalu terdapat gu­nungapi tipe A dan B serta terdapat Da­nau Vulkanik yaitu Danau Siais, yang dapat menghasilkan Seische atau “tsu­nami danau” dalam wilayah Tapsel jika terjadi sumber gempa kuat di daratan atau gempa megathrust dari pantai barat dapat memutuskan jalinsum tengah dan timur di Tapanuli Selatan, maka likui­faksi berjalan semakin jauh dan silahkan juga membayangkan tsunami di Palu-Donggala untuk perbandingan jika luapan air keluar dari Danau Siais, karena ada sungai yang membelah Tapsel me­nuju Padangsidimpuan.

Selain itu sebagian wilayah daratan Tap­sel terdapat daerah yang berbatas de­ngan samudera dimana material tanah­nya tersusun oleh pasir dan lempung yang mudah mengalami pengikisan men­jadi bubur untuk menghasilkan likuifaksi.

Begitu juga di daerah Humbahas, Ta­nah Karo, Simalungun dan teraktual long­sor Toba Samosir, berada di garis patahan Re­nun-Toru dan bersambung menyilang ke wilayah Langkat, berdekatan dengan zona gunung berapi dengan karakteristik tanah sedimen vulkanik dan berpasir, serta berdekatan dengan danau vulkanik terbesar di Asia Tenggara yaitu Danau Toba, dan di Langkat juga diapit bahaya gem­pa dari zona patahan Burma yang m­e­nerus dan berbatas dengan pantai ke Se­lat Malaka .

Karakteristik daerah pantai juga di­miliki Madina dan Sibolga, seperti halnya Tap­sel, berdekatan dengan patahan Re­nun Toru dan Angkola-Asik yang masih ba­gian dari Patahan Besar Sumatera, telah mencacah wilayah Madina dan ter­dapat daerah gunung berapi tipe A dan banjir tiap tahun telah menambah tekanan amplifikasi karena tanah semakin lunak, sedang Sibolga langsung berha­dapan de­ngan tsunami dan wilayah daratannya ter­susun oleh material pasiran dan di­keling morfologi terjal, dengan kondisi se­makin tidak stabil akibat serangan gem­pa dari Nias.

Nias juga termasuk daerah rawan likuifaksi sangat tinggi karena sumber utama gempa bagi daerah yang akan di “se­rangnya” namun juga ikut merasakan dam­paknya karena di titik tengah daerah Nias tersusun material tanah berpasir yang mudah mengalami perubahan bentuk ke bentuk liquid.

Begitu juga sisi luar yang mudah me­ngalami pelapukan dan memudahkan am­plifikasi seismik, lalu meneruskan ge­taran ke permukaan sehingga beban in­frastruktur akan mengalami penurunan, ka­rena sumber pusat gempa sangat dekat akan menyebabkan bahaya terjadinya penurunan pantai bisa mencapai satu me­ter dan jalan raya akan mengalami flex­sure yang sangat panjang karena berada di atas garis patahan dan efek guncangan berganda akan menambah daya rusak bangunan. Jadi, Sumatera Utara memang daerah bencana.***

Penulis, Enviromentalist Geologist, pemerhati Tata Ruang Lingkungan.

()

Baca Juga

Rekomendasi