Oleh: Riduan Situmorang. Siapa pun mengakui bahwa negara kita adalah negara kaya. Sebuah syair menyebutnya dengan gamblang: negeri kolam susu. Sebuah negeri dongeng, yaitu Atlantis, dalam hikayat Timaeus dan Critias karangan Plato pada 428 SM-348 SM, bahkan disebut-sebut adalah Indonesia saat ini. Dengan kata lain, negeri dongeng yang penuh dengan kemuliaan itu adalah Indonesia. Adalah Arysio Santos, seorang pakar fisika dan nuklir dari Brazil, yang mengklaimnya demikian. Bukan hanya Arysio Santos, Stepphen Oppenheimer, ahli genetika dari Oxford, juga mengklaim hal yang sama dengan Arysio Santos.
Jelas saja, Amerika Serikat tidak jauh lebih kaya daripada Indonesia. Israel, negara kering kerontang itu, jauh ketinggalan dari segi demografi dibanding Indonesia. Jerman, bekas negara kelahiran "monster" perang Hitler itu, juga tak menang dari kekayaan alam Indonesia. Finlandia, negeri dingin seribu danau itu, seakan-akan tak menjanjikan kehidupan, kecuali rusa-rusa Natal, jelas-jelas iri pada Indonesia. Jika harus dicari, ada banyak negara lain yang membuat kita geleng-geleng kepala. Mari tak usah jauh-jauh, negara Singapura yang mungil itu jelas-jelas kalah dari segi demografi jika dibandingkan dengan Indonesia.
Namun, jika melihat kenyataan saat ini, dibandingkan dari negara-negara tersebut di atas, Indonesia kalah, bahkan terpaut jauh. Kebetulan, tak lama ini, saya berkesempatan mengitari negara Singapura. Maka, pada tulisan ini, izinkan saya lebih memakai "data emosional" daripada data-data angka statistika. Pasalnya, dari data-data statistika, kita sudah sama-sama tahu, Indonesia dominan kalah, kecuali dari segi jumlah penduduk dan luas wilayah. Maksudnya, saya akan lebih menggunakan perasaan dari hasil pengamatan dan pengalaman sendiri.
Paradoks yang Sempurna
Baiklah, mari kita mulai. Sebelum berangkat ke negara mungil itu, desas-desus pertengkaran di negara kita masih tak kunjung berhenti, justru semakin berkecambah. Terjadi polarisasi yang semakin tajam di antara masyarakat. Bahkan, polarisasi karena beda politik itu sudah memakan korban melalui persekusi hingga eksekusi-mati. Saling mengancam di media sosial dengan menggunakan foto pisau dan pistol, pada akhirnya, mereka saling menyerang di dunia nyata dan dor, satu orang anak bangsa tewas di tangan saudaranya sendiri.
Karena dorongan politik pula, maka tiba-tiba, bangsa kita rindu pada masa lalu. Ya, rindu. Tetapi, rindu ini bukan tentang bagaimana masa lalu kita yang penuh dengan keharmonisan, penuh pengertian, penuh tepa selira. Rindu itu ternyata rindu yang beraroma politis. Kita rindu pada sebuah orde dengan sebuah kalimat enak zamanku, to di mana gambar latar belakangnya ada seorang pria tua dengan senyuman (sinis?). Sungguh senyuman itu menyimpan ancaman dan ketakutan, bahkan trauma bagi beberapa orang.
Betapa tidak, lelaki yang senyum itu merebut kekuasaan dengan cara yang tidak lazim jika dibandingkan dengan situasi masa kini. Masa kekuasaannya juga tak lazim jika titik tolaknya berpijak pada demokrasi. Banyak orang menyebutnya sebagai pemimpin tangan besi, otoriter, bahkan korup. Dan, sudah bukan rahasia lagi, pada masa itu, kita hidup dengan sangat sederhana: satu televisi untuk satu kampung, jalan masih berdebu dan setapak, buku-buku sekolah itu-itu saja. Namun, entah mengapa, kita malah merindukan zaman seperti itu.
Sungguh paradoks yang sempurna. Begini, apa pasalnya sehingga kita harus merindukan zaman otoriter di mana mengkritik pemerintah sama dengan bertaruh nyawa? Apa dalilnya sehingga kita mendewakan bahwa zaman itu adalah zaman paling indah, padahal, di zaman itu, negara kita diperjualbelikan, lalu dibagi rata ke kroni-kroni? Jelas, dalam Roerganizing Power in Indonesia (2004), Richard Robison dan Vedi Haditz mencatat bahwa selama tiga dekade pemerintahan lelaki senyum itu, sekurang-kurangnya 61 juta hektare hutan diberikan kepada konglomerat, dan lain-lain, dan lain-lain?
Kalau demikian, mengapa kita masih merindukan zaman itu, padahal, saat ini, pemerintah tidak lagi otoriter? Bahkan, saat ini, setiap orang sepertinya sudah bebas untuk menyebutkan label dan gambar apa saja pada pemerintah cum kepala negara? Kadang membuat gambar pemerintah dengan, maaf, babi, anjing, kodok, dan sebagainya? Kita tertawa melihat seorang pemuka agama yang menyebut kepala negara sebagai banci? Bukankah kita sudah mendapatkan kebebasan yang sempurna? Lantas, mengapa kita masih merindukan zaman ketidakbebasan itu?
Setiba di Singapura, setelah melewati pemeriksaan imigrasi, kami langsung menginjakkan kaki di aspal-aspal yang mulus. Tidak ada lobang, gundukan, apalagi penggalian membabi buta. Bangunan megah tegak dan kokoh berdiri. Tidak ada kemacetan yang membosankan, apalagi bunyi klakson dan teriakan-teriakan serapah para pengendara. Pohon-pohon mekar ditata dengan indah. Tak ada debu, apalagi sampah yang berserakan. "Jangan membuang sampah dan meludah, nanti didenda," kata pemandu kami.
"Lihat di sebelah kanan kita, itu adalah laut yang sangat dalam. Mereka sedang melakukan penimbunan. Jalan ini juga dulunya lautan, tetapi mereka timbun," kata supir kami. Saya tiba-tiba teringat pada proyek reklamasi yang kemudian menjadi berita politisasi berkepanjangan. "Dan, kalian tahu, tanah untuk menimbun laut ini, tanahnya diambil dari Indonesia. Sudah habis satu pulau dari Indonesia untuk menimbun laut ini," sambungnya lagi. Perjalanan masih melaju. Di sekitar, kami menyaksikan sendiri bagaimana negara ini tak pernah berhenti berbenah. Pembangunan di sana-sini tetap gencar dilakukan.
Siap-Siap Berkelahi
Kami akhirnya tiba di kebun Gardens by The Bay. Kebun ini sangat indah, bersih, dan sejuk. Segala kecanggihan teknologi diintegrasikan dengan keindahan seni masa silam. Semua tertata. Sekali lagi, tidak ada sampah. Saya tiba-tiba terbayang pada negara asal, bahwa jika saja ini sedang di Indonesia, oknum-oknum pemuda setempat akan melakukan pemungutan bernada pemalakan, jualan bebas akan tersua di mana-mana, dan tentu saja: sampah akan berserakan di mana-mana. "Saat ini, Singapura sedang membuat jalan hingga dua puluh tingkat ke bawah tanah," kata pemandu itu melanjutkan. Wow!
Semua pemandangan ini benar-benar membuatku terkesima. Bukan soal terkesima semata karena Negara Singapura maju. Karena memang, begitulah lazimnya negara maju. Saya sudah melihat pemandangan yang sama di Jerman hingga Prancis. Namun, yang membuat saya terkesima kali ini adalah, mengapa Singapura yang sebenarnya sangat dekat dengan Indonesia melalui Batam malah terlihat jurang perbedaan yang benar-benar nyata? Berlayarlah ke Singapura melalui Batam. Di Batam, Anda akan menyaksikan puluhan kapal-kapal besar. Tetapi, di Singapura, Anda akan melihat ratusan kapal-kapal yang jauh lebih besar.
Pada siang hari, kami makan di jantung kota di negara itu. Kebetulan, saya duduk di meja yang sama dengan pemandu. "Kapan Indonesia seperti ini?" tanyaku. Pemandu, yang juga berasal dari Indonesia itu, tertawa kecil setengah sinis. Dan, dia pun menjawab dengan enteng, "Indonesia tidak akan bisa seperti ini. Indonesia sukanya berkelahi dan membuat masalah. Energi pemerintah teralihkan untuk mengatasi percekcokan sehingga lupa untuk membangun." Saya melihat wajahnya. Dia sinis pada negaranya sendiri. Dia pesimis pada negaranya sendiri.
Saya tak menyalahkan pesimismenya. Saya hanya melihat, betapa kita ternyata sangat jijik pada perkelahian. Sayangnya, kita tak kunjung berhenti. Kita mendukung pemerintah. Sayangnya lagi, pada saat yang sama, kita mencaci pemerintah. Karena itulah, saya juga sebenarnya pesimis. Untunglah saya melihat masih ada harapan karena kini Surabaya sudah mulai maju. Tetapi, di tengah harapan itu, berita di time line media sosial saya kembali penuh perkelahian. Sinyal ternyata sudah masuk setelah dari kemarin roaming. Kebisingan pun terjadi. Dan, ternyata saya sudah di Indonesia. Terbukti, jalanan penuh dengan gundukan, lobang, dan sampah.
* Penulis seorang Pendidik di Medan, Pengajar Bahasa Indonesia di Prosus Inten, Pegiat Literasi dan Kebudayaan di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) Medan dan di Toba Writers Forum (TWF)