Oleh : Adelina Savitri Lubis.
Kota Medan memang begitu plural. Beragam etnis berpijak pada dataran Sumatera Utara yang sama, menghirup udara dari sumber yang sama. Saling bertoleransi dengan nilai-nilai budaya yang macam jenisnya. Etnis Tionghoa, India, Melayu, Batak, dan Jawa saling berbaur. Kini entah apa sebab, komunikasi yang terjadi bak seni panggung. Saling berbalas pantun. Tidak begitu tegas, namun tersirat arti dari yang terucap. Kota Medan darurat komunikasi.
Media sosial menjadi alat untuk mendukung keabsahan pembenaran atas apa yang ingin disampaikan. Ketika itu sudah tersiar, menjadi makanan publik, maka sumber pembenaran itu diyakini sebagai kebenaran. Orang-orang berlomba-lomba untuk menjadi yang paling benar. Orang-orang saling mengelompokkan diri untuk membentengi kelompoknya.
Pada tingkat elite masyarakat yang berpendidikan tinggi, cara-cara ‘berbalas pantun’ dilakukan secerdas mungkin, tanpa menyakiti harga diri, tanpa mencoreng gelar pendidikan tinggi yang diraih. Ada yang bersuara lantang, ada yang diam menyimak. Begitupun miskomunikasi tetap saja terjadi.
“Di mana?” tanya Manda
“Sudah di sini, kamu di mana posisi?” balas Sarah.
“Sudah dekat, tinggal belok kanan dan masuk ke halaman parkir,” sahut Manda.
Empat piring kertas makanan cepat saji telah tersedia di atas meja. Kali ini keempatnya sedang malas menyantap makanan normal. Mereka memilih makanan instan. Maka restoran cepat saji menjadi pilihan pada Kamis ini, mengawali bulan terakhir pada 2018.
“Maaf, terlambat, ada masalah sedikit di kantor suami tadi,” bilang Manda.
“Kantor? Bukannya tadi dari rumah?” ucap Sarah.
“Saya penasaran Man, masalah apa?” potong Ira.
“Begitulah soal sudut pandang yang berbeda, lalu dua orang pegawai di kantor suami saling adu argumen, semakin besar karena dua orang itu membawa kelompoknya masing-masing untuk saling menguatkan argumen itu,” beber Manda.
“Lalu siapa yang menang Man?” tanya Nona.
“Tunggu dulu Man, inti masalahnya tentang apa?” tanya Sarah.
“Komunikasi,” jawab Manda.
“Spesifik Man, kalau bercerita, kok seperti main tebak-tebakan,” sahut Ira.
“Aduh kalian ini. Setiap kali aku hendak bercerita, kalian bertanya terus. Aku bingung, antara mau cerita atau menjawab pertanyaan kalian,” keluh Manda.
“Sorry Man,” sahut Sarah.
“Iya maaf ya Man,” timpal Ira.
“Sebut saja si A dan B ya. A ngotot kalau komunikasi yang baik itu dilakukan secara berimbang. Jika tak berimbang, maka itu bukanlah sebuah komunikasi yang sempurna. Sementara B berpikir, kesempurnaan komunikasi tidak terletak pada keseimbangan itu, namun bagaimana isi pernyataan yang disampaikan sesuai dengan maksud sang penyampai,” jelas Manda.
“Lalu mereka mulanya ngobrol, hingga akhirnya berargumen, kemudian jadi bertengkar, begitu Man?” tanya Ira.
“Benar. Padahal menurutku keduanya benar, mereka hanya tinggal menggabungkan pendapat mereka, dan akhirnya menjadi sebuah teori baru dalam khasanah pikiran mereka, karena dua-duanya menurutku benar,” kata Manda.
“Lalu apa yang terjadi Man?” tanya Nona penasaran.
“Si A memanggil teman-temannya, kemudian B juga melakukan hal yang serupa, dan akhirnya mereka persis seperti berbalas pantun. Sebetulnya aku sangat menikmati perdebatan itu, namun karena keduanya tak ada yang mengalah, akhirnya saling emosi,” ucap Manda.
“Jadi maksudmu mereka berantam, pukul-pukulan?” tanya Sarah.
“Tidak ada kekerasan fisik dalam hal ini, tapi kekerasan verbal,” sahut Manda.
“Maksudnya, mereka adu argumen bukan secara nyata? Maksudku tidak saling face to face? Saya kok jadi bingung,” timpal Ira.
“Memangnya mereka lakukan itu di mana Man? Lapangan kantor? Atau di ruangan kantor?” tanya Nona.
“Semuanya itu terjadi di media sosial lho, di whatsapp,” jawab Manda polos.
“Apaaaaaa?” serentak ketiganya pun berteriak.