Pharos Indonesia Tarik Albothyl dari Pasaran

Jakarta, (Analisa). Direktur Komunikasi Perusahaan PT Pharos Indonesia, Ida Nurtika menyatakan segera melakukan penarikan Albothyl dari pasaran di seluruh wilayah Indonesia, menyusul pembekuan izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

"Kami akan terus berkoordinasi dan berkomunikasi dengan BPOM terkait dengan penarikan itu," kata Ida melalui siaran pers diterima di Jakarta, Sabtu.

PT Pharos Indonesia menyatakan meng­hormati keputusan BPOM yang membe­kukan izin edar Albothyl hingga ada perse­tujuan perbaikan indikasi.

Menurut Ida, Albothyl adalam produk yang sudah lebih dari 35 tahun beredar di Indonesia. Produk tersebut berada di bawah lisensi dari Jerman yang kemudian dibeli oleh perusahaan Takeda dari Jepang.

"Selain di Indonesia, Albothyl juga digu­na­kan di sejumlah negara lain," ujarnya.

Ida menjamin PT Pharos Indonesia sela­ma ini menerapkan cara pembuatan obat yang baik (CPOB) dalam seluruh rang­kai­an produksi mulai dari pengujian bahan baku hingga produk jadi yang dihasilkan.

Sebelumnya, BPOM membekukan izin edar Albothyl yang selama ini biasa digu­nakan sebagai antiseptik dan obat sariawan.

Albothyl merupakan obat bebas terbatas berupa cairan obat luar yang mengandung policresulen konsentrat dan digunakan untuk hemostatik dan antiseptik pada saat pembedahan, serta penggunaan pada kulit, telinga, hidung, tenggorokan (THT), saria­wan, gigi dan vaginal (ginekologi).

Dalam dua tahun terakhir, BPOM me­neri­ma 38 laporan dari profesional kesehatan yang menerima pasien dengan keluhan efek samping obat Albothyl untuk pengobatan sariawan, yaitu sariawan semakin membesar dan berlubang hingga menyebabkan infeksi.

BPOM, ahli farmakologi dari universitas dan klinisi dari asosiasi profesi terkait telah melakukan pengkajian aspek keaman­an obat yang mengandung policresulen da­lam bentuk sediaan cairan obat luar konsentrat.

Kajian itu memutuskan policresulen da­lam bentuk sediaan cairan obat luar kon­sentrat tidak boleh digunakan sebagai he­mostatik dan antiseptik pada saat pembe­dahan serta penggunaan pada kulit, THT, sariawan dan gigi.

BPOM mengimbau profesional kesehat­an dan masyarakat menghentikan penggu­na­an obat tersebut. Masyarakat yang terbia­sa menggunakan Albothyl guna mengatasi sariawan dapat menggunakan obat pilihan lain yang mengandung benzydamine HCl, povidone iodine satu persen atau kombinasi dequalinium chloride dan vitamin C.

Kepada PT Pharos Indonesia selaku produsen Albothyl dan industri farmasi lain yang memegang izin edar obat meng­andung policresulen dalam bentuk sediaan cairan obat luar konsentrat, BPOM meng­instruksikan untuk menarik obat dari pere­daran selambat-lambatnya satu bulan sejak dikeluarkannya Surat Keputusan Pembe­kuan Izin Edar.

Kecolongan

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia menilai Badan Pengawas Obat dan Makanan kecolongan dalam kasus Albothyl yang telah dibekukan izin edarnya.

"Semua jenis dan merek obat harus didaf­tarkan terlebih dahulu ke BPOM sebelum diproduksi dan diedarkan. Proses itu melalui berbagai uji yang dilakukan BPOM," kata Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi yang dihubungi di Jakarta, Sabtu.

Dengan berbagai proses uji yang dilakukan BPOM, Tulus menilai seha­rusnya kejadian tersebut tidak terjadi.

Kejadian itu, katanya, menunjukkan bahwa BPOM belum melakukan penga­wasan secara ketat terhadap obat dan ma­kanan."Berbeda dalam masalah kehalalan suatu obat atau makanan yang bisa saja di­salah­gunakan setelah didaftarkan ke BPOM," tuturnya.

Selain menyoroti pengawasan BPOM, Tulus juga menilai bisa jadi permasalahan yang dialami PT Pharos Indonesia, pembuat Albothyl, ada unsur persaingan usaha yang tidak sehat.

Oleh karena itu, BPOM juga harus memeriksa kembali merek obat dari pembuat lainnya serta melakukan penga­wasan pascaedar secara lebih ketat dan serius. "Jangan sampai BPOM terjebak irama gendang produsen untuk persaingan usaha yang tidak sehat," ujarnya. (Ant)

()

Baca Juga

Rekomendasi