Oleh: Jones Gultom. Persoalan galeri hanyalah bagian kecil problem kesenian di kota ini. Semua genre seni mengalami hal serupa. Sementara belum ada tanda-tanda pemerintah mau berbenah. Berharap swasta, rasanya masih terlalu awal. Bila pun ada, itu lebih baik dari pada kondisi saat ini.
Berbicara galeri memang sungguh ironi. Setelah Simpassri (Simpaian Seniman Seni Rupa Indonesia) tak berdaya. Para perupa di kota ini jadi centang perenang. Tak tahu harus memamerkan karyanya pada siapa dan dimana. Alih-alih menyewa hotel, sekedar menyewa ruang 4 x 5 saja mesti berjuang sepenuh tenaga.
Di tahun 90-an ada beberapa galeri yang terbilang aktif menggelar event seni. Selain Simpassri juga ada Galeri Tong Sampah di Jalan Sakti Lubis. Campur tangan dua bersaudara mendiang Ben M Pasaribu dan Mangatas Pasaribu, begitu terasa demi menghidupkan galeri ini.
Sayang, masa itu mesti berakhir di awal tahun 2000. Bisa dibilang tak ada lagi aktivitas yang bombastis, seperti di masa lalu. Belakangan para perupa angkatan 2000 ke atas linglung. Mereka kehilangan tempat untuk karya-karyanya.
Sempat ada Galeri Tondi di Jalan Keladi Buntu, Medan. Galeri ini dibuka oleh Grace Siregar sudah dirintis sejak tahun 2004. Kemudian diperkenalkan kepada publik sejak tahun 2005. Grace adalah seorang perupa yang telah malang melintang di berbagai negara. Dia pulang ke kampung halamannya saat mendengar hidup senirupa yang kritis.
Galeri Tondi menjadi harapan, tidak hanya bagi para perupa. Seniman lintas genre antara lain musisi, sastrawan, tari, foto juga ikut nimbrung di galeri ini. Hampir semua seniman Medan pernah naik panggung di galeri ini. Termasuk dari Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Solo dan dari negara tetangga.
Tidak hanya para perupa yang sudah mapan (professional), tetapi juga mahasiswa. Bahkan juga anak-anak sekolah yang menjalin kerjasama dengan galeri ini. Galeri yang menyulap rumah dengan halaman di depannya, seolah menjadi pelampiasan para seniman yang butuh ruang.
Hampir setiap hari ada kegiatan di sini. Apakah pameran rupa, tari, musik, sastra atau sekedar diskusi kesenian. Kebesaran hati Grace sebagai penyedia tempat tanpa memungut biaya, menjadi daya tarik tersendiri.
Sayangnya galeri ini juga tak bertahan lama. Sekitar 5-6 tahun kemudian, galeri ini pun tutup. Beredar kabar, penyebabnya adalah masalah ekonomi. Grace kembali meninggalkan Medan dengan haru biru yang menyertainya.
Para perupa, umumnya mahasiswa yang belum sempat puas berpameran di galeri ini, kembali kehilangan induk. Beberapa di antara mereka, Anal, Adie Damanik dan kawan-kawan, berinisiatif meneruskan semangat Galeri Tondi. Salah satunya mendirikan Galeri Sahala yang bermarkas di salah satu ruko di Padang Bulan.
Konon ada orang yang bersedia memberi mereka tumpangan di lantai atas. Itu juga tak lama. Galeri Sahala juga bubar. Terbersit kabar, pemilik gedung ingin memberdayakan ruang 4 x 5 itu untuk bisnis.
Kembali para perupa ini linglung. Akhirnya mereka menyulap kos mereka menjadi galeri. Halaman yang sempit dijadikan panggung terbuka. Dinding kamar mereka jadikan kanvas. Kamar mereka dijadikan galeri tempat mereka memajang karya-karyanya. Mereka menamai dirinya “Sotardok”. Sotardok adalah bahasa Batak Toba, yang berarti “tak terkatakan”.
Meski kondisinya yang memprihatinkan, namun mahasiswa rupa makin banyak bergabung di komunitas ini. Salah satunya Fedricho Purba yang kini aktif di Rumah Karya Indonesia. Selain berpameran mereka juga rutin berdiskusi.
Seiring waktu, komunitas beserta galeri Sotardok bubar. Sebagian perupa yang sudah tamat kuliah banting setir. Ada yang menjadi karyawan Indomaret, sales dan agen asuransi. Selebihnya menjadi guru untuk semua bidang studi. Hanya sedikit sarjana rupa itu yang meneruskan keseniannya.
Kini di Medan hanya tinggal Galeri Payung Teduh. Lokasinya berhadap-hadapan dengan Medan Plaza. Keduanya bagai langit dengan bumi. Jika setiap saat Medan Plaza ramai dikunjungi, sebaliknya Galeri Payung Teduh, sesuai namanya “teduh” dari orang-orang.
Sesekali ada anak sekolah yang belajar melukis di galeri yang dikelola Togu Sinambela dan kawan-kawannya. Pelukis Johnson Pasaribu yang ikut membidani galeri ini, memilih merintis di tempat tinggalnya, Tanjung Morawa. Kabarnya dia kerap memanfaatkan Balai Desa untuk berpameran dan menggelar workshop. Begitulah susahnya mendirikan galeri di kota yang multikutur ini.
Masa Keemasaan
Medan pernah menjadi sentra senirupa, khususnya seni lukis Tanah Air pada periode tahun 80-an. Kala itu Galeri Simpassri masih eksis. Simpassri adalah singkatan dari Simpaian Seniman Seni Rupa Indonesia, didirikan pada tahun 1967. Sejak itu, galeri ini menjadi pusat gerakan seni budaya Tanah Air. Tidak tanggung-tanggung. Di galeri itu pelukis-pelukis besar dunia pernah pameran di sana. Sebut saja Affandi, Basuki Abdullah, Joko Pekik dan sebagainya.
Begitu juga dengan pelukis dan perupa generasi sesudah mereka. Galeri Simpassri, berada di tepi Sungai Deli, Jalan Letjend Suprapto, Medan, seolah magnet bagi para perupa. Tidak heran di masa itu, ada credo yang menyebut, “tidak perupa namanya, bila tidak pernah pameran di Simpassri!”
Tidak hanya menggelar pameran, di galeri ini juga kerap digelar workshop dan pelatihan senirupa untuk anak-anak sekolah. Selain perupa dari Medan, instruktur-instruktur yang memberi materi, juga didatangkan dari Jakarta dan daerah sentra seni lain. Semisal, Yogyakarta, Surabaya maupun Bandung. Termasuk Affandi dan Basuki Abdullah. Pameran di galeri ini bisa sampai berbulan-bulan lamanya.
Menariknya lagi, tidak hanya aktivitas kesenian yang digelar di galeri ini. Ada juga diskusi kebudayaan yang melibatkan pejabat pemerintahan, aparat, kolektor seni. Juga pegiat wisata, akademisi, budayawan, tokoh politik, tokoh masyarakat dan bahkan tokoh agama. Kepopuleran Simpassri kala itu telah berhasil menarik para intelektual dan elit birokrat. Salah satu ciri khas dari setiap kegiatan yang dilakukan di galeri ini adalah rasa kekeluargaan. Tidak heran bila setiap kali ada pameran atau diskusi, berbondong-bondong orang yang datang. Hadir dari berbagai latar belakang profesi dan keilmuan ke galeri ini.
Di tahun-tahun 80-an, galeri ini tidak hanya menjadi pusat kegiatan seni dan budaya. Juga sebuah gerakan. Revolusi kebudayaan sudah dimulai seniman Medan di tahun 80-an. Pikiran-pikiran dan gagasan itu dituangkan dalam diskusi maupun karya rupa, jelasnya.
Galeri ini semacam “markas” tempat berkumpulnya para intelektual Medan pada khususnya. Banyak hal yang dibahas. Salah satunya gebrakan untuk meminta pemerintah mempertahankan bangunan-bangunan bersejarah. Seperti lapangan Merdeka dan Titi Gantung. Semua itu sudah disuarakan jauh sebelumnya di galeri ini.
Geliat dan “magnet” Galeri Simpassri sebenarnya mulai memudar salah satunya akibat dampak dari krisis moneter 1997. Sulitnya perekonomian secara umum juga berdampak langsung terhadap dunia kesenian di kota ini. Meski demikian aktivitas di Simpassri terus berjalan. Tahun demi tahun kegiatan di sini pun semakin sepi. Kemudian nyaris mati setelah seniman Ben M Pasaribu tidak lagi memimpin di awal-awal tahun 2000.