Oleh: M. Anwar Siregar
MUSIBAH gempa dan banjir terus menghantui negeri ini, susul menyusul bergantian datang melanda sejumlah kota-kota besar dan kecil di Indonesia. Belum selesai bencana letusan gunungapi Sinabung di Tanah Karo lalu gempa berpindah lagi ke sekitar wilayah Tapanuli Utara dengan kekuatan 5.0 SR terjadi akibat sesar aktif dan tekanan pergeseran lempeng dan gempa tabagsel di laut dekat megathrust Nias, dengan magnitude 5.7 SR
Betapa pentingnya etika ilmiah bangunan dalam tata ruang wilayah di daerah rawan gempa dan gunung api untuk mengurangi dampak bencana walau kekuatan gempa sangat kecil namun daya mematikannya sangat tinggi jika bangunan tidak mengikuti kaidah standar konstruksi.
Tanah-tanah telah tercacah-cacah menjadi bubur yang mudah terurai, longsor di jalan raya menuju lokasi wisata Brastagi adalah bukti dari kejadian tersebut dan semakin membahayakan karena BMKG menyebutkan ada patahan baru yang telah terbentuk di wilayah Karo dan dipastikan akan mengakumulasi “seismik gap” yang membahaya suatu saat nanti “meledak’.
Investasi Rt rw gempa
Bencana adalah bahaya yang mengancam kehidupan, yang dapat terjadi melalui proses panjang dan bisa terjadi secara tiba-tiba seperti bencana gempa bumi. Paradigma pembangunan tata ruang yang berbasis bencana gempa bagi tata ruang investasi ekonomi di Sumatera Utara sangat mendesak. Mengingat Sumut membutuhkan sinergitas dalam tata ruang investasi lingkungan yang aman terhadap ancaman bencana alam, salah satu yang harus diperhitungkan adalah etika building code bangunan dan RT RW yang berbasis gempa.
Penyusunan RT RW yang berbasis investasi rawan bencana gempa sangat penting bagi Sumatera Utara mengingat arus deras investasi dalam pembangunan fisik yang sangat kencang, gempa bumi yang berada di ruas Deli Serdang saja sudah cukup mampu menghancur separuh wilayah investasi di Mebidang jika kekuatan gempa mencapai 6.5 SR dan gempa 5.6 SR saja sudah terasa kuat di Medan dan Deli Serdang dan cukup membuat beberapa bangunan platfonnya rusak, apalagi jika kekuatan gempa mencapai 7.5 Skala Richter, bayangkan saja kehancuran itu dengan perbandingan gempa Pidie Desember 2016 jika pemerintahan di wilayah ini tidak cepat bergerak dalam menyusun RTRW berbasis gempa untuk menekan kerugian dan kehancuran investasi tata ruang dan sebagaimana juga yang di amanatkan oleh aturan yang tercantum di dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yaitu untuk mewujudkan Penataan Ruang Wilayah yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan; merupakan amanat yang wajib dituangkan di dalam RTRW Kota-kota dalam Mebidang Karo dan Sumatera Utara keseluruhan karena geografis bencana gempa di Sumatera Utara sangat luas dan saling memberikan dampak bagi provinsi tetangganya baik di Utara maupun ke arah selatan dan Tengah sehingga Sumut harus tangguh dalam menghadapi bencana dan bebas dari ancaman gempa bumi dan bencana alam lainnya.
Untuk menegaskan hal tersebut sangat penting, dapat juga dilihat amanat pencegahan bencana selain UU No. 26 Tahun 2007 tersebut, perlindungan masyarakat dari kebencanaan, juga tercantum di dalam UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana di dalam Pasal 24 ayat 1 yang menyebutkan, “Pelaksanaan dan penegakan tata ruang dilakukan untuk mengurangi resiko bencana yang mencakup sanksi terhadap pelanggaran”. Berdasarkan dua landasan hukum tersebut, maka Pemda bergerak cepat menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang mengakomodir isu adaptasi dan mitigasi bencana yang bertujuan agar pola pengembangan ruang ke depannya dapat menjamin keamanan, kenyaman, dan menyediakan ruang sebagai jalur, maupun area penyelamatan penduduk ke tempat yang lebih aman apabila terjadi bencana gempa.
Saat ini konsentrasi investasi pembangunan tata ruang di kota di Sumatera Utara justrunya ke arah pantai dan bukannya menjauhi lokasi pantai, terlihat tata ruang kota di pesisir barat Sumatera Utara yaitu Kota Sibolga, Tapanuli Tengah, dan kota-kota di Nias, begitu juga di Selatan Medan dan Batu Bara, Tanjung Balai dan Langkat yang menuju timur dari Pantai Timur Sumatera tanpa mitigasi struktural fisik.
Selain itu, pertumbuhan penduduk di lokasi sekitar pantai terus meningkat seharusnya sudah juga dibatasi dan tanpa sebaran peta papan informasi tingkat kerawanan gempa dan tsunami maupun peta percepatan pergeseran puncak batuan dasar, hanya penduduk yang bekerja sebagai nelayan saja yang bermukim di daerah sekitar pantai. Jalur-jalur hijau harus berfungsi sebagai buffer pantai direncanakan untuk menahan deburan ombak yang kencang. Perencanaan jalur-jalur evakuasi yang letaknya tegak lurus dari wilayah pantai harus terlihat pada peta pola ruang RT RW di beberapa kota di Sumatera Utara.
Etika tata ruang
Terdapat tiga faktor yang harus menjadi rujukan etika ilmiah bagi pembangunan RTRW di Sumatera Utara agar dapat menekan jumlah korban, tiga faktor yaitu kaidah building code untuk semua sarana dan prasarana, peta tata ruang berbasis seismotektonik dan konsistensi penegakan aturan zonasi tata ruang.
Posisi wilayah Mebidang-Karo sebagai tantangan untuk hidup berdampingan selaras dengan alam. Dari beberapa fakta kejadian gempa yang sering terjadi, masyarakat dan para investor sering mengalami kerugian tak sedikit, bukan karena bangunan umum dan tempat tinggal rata dengan tanah tidak dirancang tahan gempa melainkan kurangnya data peta seismotektonik yang menyangkut data dukungan untuk keberlanjutan investasi. Lokasi investasi yang baik harus sesuai dengan panduan perencanaan dan perancangan desain untuk kawasan rawan tsunami dan gempa tektonik dan Mebidang-Karo adalah pusat investasi terbesar saat ini.
Dalam panduan daerah rawan tsunami atau national tsunami hazard mitigation terdapat tujuh prinsip-prinsip yang harus di penuhi dalam etika pembangunan tata ruang RTRW mitigasi tsunami bagi daerah yang rawan tsunami dan gempa tektonik untuk mencegah bencana risiko dan membangun daerah yang baru yaitu mengenal risiko tsunami (Nias, Tapsel, Madina. Tapteng dan Sibolga), menghindari pembangunan baru didaerah terpaan tsunami (RTRW kota di Nias), merancang bangunan baru untuk mengurangi risiko kerusakan (seluruh kota di Sumatera Utara), mengatur pembangunan baru di daerah terpaan tsunami (Kota di Nias dan pesisir pantai barat dan timur Sumatera Utara), memanfaatkan kembali lahan untuk melindungi pembangunan yang sudah berjalan (RTRW Sumut), merancang infrastruktur untuk meminimalisasikan kerusakan dan merencanakan evakuasi (seluruh kota di Sumut).
Panduan etika konstruksi sangat penting bagi pengembagan investasi untuk menekan bencana kerugian, memahami kondisi fisik bangunan, dan tata ruang fisik, untuk menekan tertimpa runtuhan bangunan rumah tinggal dan gedung, toko dan infrastruktur jembatan harus tahan gempa dengan mengikuti kaidah ilmiah tentang desain bangunan tahan gempa dan seharusnya ini menjadi renungan atau introspeksi bagi pembangunan tata ruang kota, rumah tempat tinggal serta tantangan ilmiah bagi para ahli di bidangnya untuk terus mengupayakan tata ruang tahan bencana.
Budayakan tata ruang tangguh gempa dengan membuat peta seismotektonik RT RW berbasis gempa lokal di kota-kabupaten di Sumatera Utara dalam rangka menekan aspek kebencanaan dan kerugian investasi karena investasi pembangunan di daerah rawan gempa akan menjadi sangat mahal dan bangunan yang boleh didirikan harus cukup kuat dan Sumut termasuk kategori merah yang terdampak gempa besar.
Penulis adalah Geolog, ANS Pemprov Sumatera Utara