Tiga Sikap yang Dibenci Rasulullah SAW

Oleh: H. Rahmat Hidayat Nasution

RASULLAH SAW bersabda, “Siapa yang di pagi hari mengeluh tentang kesulitan hidupnya, maka pada dasarnya dia sedang mengeluhkan Tuhan yang menciptakannya. Siapa yang di pagi hari bersedih tentang urusan duniawinya, maka dia sedang membenci ketetapan yang dibuat Allah untuknya. Siapa yang merendahkan dirinya kepada orang kaya, maka sesungguhnya dia sedang menghapus dua pertiga dari agamanya.”

Hadis Rasulullah SAW ini membe­rikan pesan singkat, tapi padat mana. Dikatakan singkat, karena isinya adalah tentang sikap kebanyakan manusia yang diciptakan Allah. Manusia yang diciptakan tak luput dari suka dan duka kehidupan yang dijalaninya. Ada kebahagiaaan dan ada pula kesedihan yang mesti ditemuinya. Namun semua itu, hakikatnya adalah bentuk skenario kehidupannya yang dibuat Allah SWT.

Oleh sebab itu, Rasulullah sebagai panutan utama umat Islam sudah mengajarkan tentang tiga sikap yang paling dibencinya. Kenapa Beliau membencinya? Sebab, duka yang dialami setiap muslim adalah duka yang pernah juga dirasakan Rasulullah. Jika dirinya saja bisa, maka umatnya juga pasti bisa. Sebab, Rasulullah SAW adalah manusia biasa yang sama seperti dengan umatnya. Rasulullah SAW juga pernah mengalami masa kehidupan yang sulit. Mertuanya Ali bin Abi Thalib tersebut juga pernah mengalami kedukaan yang luar biasa. Beliau juga dekat dengan orang-orang kaya, namun tak pernah merendahkan dirinya di hadapan mereka.

Di dalam literatur sejarah disebut­kan, Rasulullah SAW pernah menga­lami masa kehidupan yang sangat sulit. Tepatnya, di saat-saat awal menye­barkan dakwah Islam. Orang-orang kafir Quraisy menghambat pasokan maka­nan untuk Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Bahkan diriwayatkan, sampai Rasulullah SAW pernah me­ngikat tiga buah batu di pinggangnya untuk menahan rasa laparnya. Tapi Rasulullah SAW tidak pernah menge­luhkan apa yang terjadi. Beliau tidak pernah mengajukan permohonan untuk mengundurkan diri menjadi Rasul Allah.

Artinya, jika kehidupan yang kita alami terasa sulit, kita mesti ingat Rasulullah SAW. Beliau yang kede­katannya kepada Allah SWT tidak ber­jarak lagi tidak pernah mengeluh tentang masalah hidupnya kepada Allah SWT. Sebab Rasulullah SAW sangat meyakini bahwa kesulitan di dunia ini sifatnya sementara. Jika disikapi dengan sabar dan syukur, kesulitan yang dihadapi lambat laun akan menjadi biasa dan berubah menjadi hal yang lebih baik. Makanya, Rasulullah SAW sangat membenci umatnya yang memiliki karakter jika di pagi hari mengeluhkan kesulitan hidup yang ditetapkan Allah SWT untuknya. Sebab, tanpa disadari telah menuduh Allah SWT sebagai pencipta yang tak sempurna. Miskin ataupun kaya adalah perbuatan Allah, dan hak-Nya untuk menjadikan sese­orang menjadi kaya atau miskin.

Di dalam literatur sejarah juga disebutkan, Rasulullah SAW juga per­nah sedih. Beliau sedih ketika paman­nya Abu Thalib dipanggil oleh Allah SWT dan tak lama kemudian isterinya Khadijah juga dipanggil. Keduanya adalah orang-orang yang siap pasang badan membela dan menjaga Rasulullah SAW. Meski Abu Thalib tidak masuk Islam, tetap dengan penuh kecintaannya menjaga Rasulullah SAW. Ketidak­dapatan hidayahnya Abu Thalib juga membuat Rasulullah SAW sedih. Tapi tak sampai Rasulullah SAW membenci ketetapan yang dibuat Allah SWT.

Sedih adalah sikap manusiawi ketika apa yang diinginkan tak terwujud atau sesuatu yang tak diharapkan terjadi pada diri kita. Tapi jangan sampai kesedihan yang dialami membuat kita membenci Allah SWT. Kita menilai Allah SWT salah dalam menentapkan sesuatu kepada kita. Tidak ada yang salah dan tidak ada yang tak sempurna dari ciptaan-Nya. Meski kesedihan yang kita rasakan, tapi itulah yang terbaik dan yang sempurna diberikan Allah SWT. Kita sedih karena belum tahu akhir dari apa yang dialami tersebut. Kita selalu menghakimi di saat kesedihan tersebut sedang menimpa kita.

Makanya, Rasulullah SAW yang sangat sayang kepada umatnya sudah mengingatkan, untuk tidak boleh ber­keluh kesah dengan apa yang ditetap­kan Allah SWT. Tetaplah untuk terus berbaik sangka kepada-Nya. Ka­rena tanpa pernah diberikan kese­dihan, tak akan pernah tahu nantinya kita tentang kebahagiaan. Malah dengan hadirkan kesedihan kelak kita akan pintar men­syukuri saat Allah hadirkan keba­hagiaan. Makanya, katakan pada diri kita bahwa kesedihan ini sifatnya se­mentara. Bila Allah sudah berkehendak merubahnya menjadi kebahagiaan tak akan ada seorang pun menolaknya. Begitu juga sebaliknya, jika Allah masih menginginkan kedu­kaan atau kese­dihan tetap bersama kita, tak akan dapat seorang pun mendatangkan kebaha­giaan. Artinya, terima dengan lapang dada apa yang diinginkan Allah SWT pada diri kita.

Ketika kesulitan hidup dan kesedi­han sedang ditetapkan Allah, tak sedikit manusia yang menunjukkan betapa buruknya sikapnya sebagai hamba Allah. Cenderung manusia mencari ma­nusia-manusia yang kaya, yang dianggapnya bisa membantunya. Bila sudah dilakukannya, tanpa disadari telah menghilangkan dua pertiga dari agamanya, kata Rasullah SAW. Kenapa suami Aisyah binti Abu Bakar ra mengatakan demikian? Alasannya, orang-orang seperti itu telah menun­jukkan betapa dirinya tidak mengenal Allah SWT. Dia lupa atau malah tak mau tahu bahwa Allah adalah Tuhan yang Maha Kaya. Allah juga yang me­nentukan dan menjadikan sese­orang itu menjadi kaya.

Jika hanya kesulitan hidup dan kesedihan yang dialami sampai menjadikan kita sebagai orang yang suka menghambakan diri kepada orang kaya, maka dapat dikatakan kita belum mengenal Allah SWT. Tidak ada yang terjadi di dunia ini tanpa izin-Nya. Tidak ada yang bisa menghalangi-Nya untuk menetapkan apa yang dikehendaki-Nya di dunia ini. Bahkan, jika pun orang kaya tersebut menolongnya dari kesulitan hidup dan kesedihan yang menimpa dirinya, pada dasarnya adalah semua itu pertolongan-Nya. Jika Allah SWT tidak memberikan kekuatan dan kemampuan kepada orang kaya tersebut untuk menolong, pasti tidak akan ada pertolongan untuknya.

Oleh sebab itu, mari bentengi diri dengan menjauhi tidak sikap hidup yang dibenci Rasulullah SAW. Jika bisa menghindarinya, tanpa disadari kita telah membentuk diri kita memiliki tiga sikap yang disukai Rasulullah SAW. Jauhkan diri dari keinginan menge­luh­kan kesulitan hidup. Jauhkan diri dari membenci apa yang sudah ditetap­kan Allah. Jauhkan segala bentuk perila­ku kita yang bisa membuat kita meng­hambakan diri ke­pada orang kaya. Bentuk diri kita menjadi mukmin yang ridha dengan apa yang ditetapkan Allah dan tak lupa pula untuk tetap dan se­nantiasa melantunkan doa yang diajarkan Rasulullah SAW. “Allahumma lakal hamdu wa ilaika musy­takaa wa antal musta’an wa laa hawla wa laa quwwata illaa billahil ‘aliyyil ‘adzim (Ya Allah, segala puji hanya bagi-Mu dan hanya kepada-Mu kami menga­du. Engkaulah Dzat yang paling berhak dimintai pertolongan. Tiada daya dan ke­kuatan, kecuali dengan pertolongan Allah yang Maha Tinggi dan Maha Agung.

Penulis adalah Penulis buku “Semangat Bangun Pagi, Tahajud, Shubuh dan Dhuha.”

()

Baca Juga

Rekomendasi