Menebar Damai Lewat Denting Guzheng

Oleh: J Anto

SEPERTI musik tradisional lain, guzheng (kecapi Tionghoa) yang dapat berperan sebagai or­kestra mini, harus bersaing meng­hadapi serbuan genre musik baru yang dibawa arus globalisasi. Beruntung di Medan ada Ngartini Huang, yang setia mempromosikan dan melahirkan bibit-bibit muda untuk menekuni guzheng.

Jemari tangan kanan Ngartini berkali terlihat bak tengah menari di atas dawai-dawai guzheng saat lagu Sing-sing So mengalun dari lima alat musik tradisional Tiong­kok di ruang kursus Jade Music School di Jalan Singosari, Medan, Rabu (28/2) sore. Ia bersama lima muridnya, Celia (17), Victoria (14), Natashia (18), dan Celia (17), murid master guzheng Sun Wen Yan, profesor di Universitas Sanghai itu mempertunjukan kebolehannya membawakan  tiga lagu khusus. Selain Sing-sing So, lagu lainnya Tian Chan Pian (Ulat Sutra) dan Chang Hai Yi Sheng Xiao.

Saat mendengar denting dawai guzheng yang melan­tukan Sing-Sing So, seketika bermunculan gam­baran tentang air Danau Toba yang biru dan mengalir tenang, di atasnya sebuah sampan berjalan perlahan membawa sepasang mu­da-mudi yang asyik bersenda gurau dilatari pegunungan Bukit Barisan yang mengijau.

“Alunan guzheng memang mam­­­pu membuat hati yang men­dengar jadi damai, meredakan emosi yang bergolak,”  ujar Ngar­tini Huang (48) pimpinan Jade Music School. Ia adalah seniman guzheng yang mengantongi serti­fikat dari China National Musical Instrumens Artistic Cultivation Performance Examination, Shanghai.

Guzheng merupakanh salah satu alat musik tradisional Tiongkok, serupa kecapi dari Jawa Barat atau siter dari Jawa Tengah. Alat musik petik itu sama-sama memiliki kotak kayu sebagai resonator. Bedanya, guzheng menyuarakan nada penta­tonis yang terdiri dari nada-nada do re mi sol la, khas musik Tiongkok, sedangkan alat musik tradisional Indonesia yang juga kebanyakan mengeluarkan nada pentatonis, terdiri dari nada-nada do mi fa sol si.

Cara memainkan guzheng seper­ti memainkan gitar. Tangan kanan memainkan melodi, sedangkan tangan kiri memainkan akor atau membuat getaran pada nada terten­tu. Bahkan dengan tangan kiri, seluruh diatonis bisa muncul. Nada fa dan si yang tidak ada bisa timbul dengan tekanan tertentu.

Orkestra Mini

Tak seperti suling yang ter­de­ngar “sepi” jika dimainkan tunggal, guzheng bisa difungsikan seperti orkestra mini. Pemain yang sudah mahir mampu memainkan kedua tangannya secara serentak untuk menghasilkan melodi dan bas. Penjiwaan terhadap isi atau cerita dari syair lagu juga terekspresikan lewat musik yang mengalir.

“Pemain tahu kapan harus meng­­­hasilkan tone yang berat dan ringan. Tone berat misalnya digu­nakan untuk mengilustrasikan gunung dan tone  ringan - riang untuk ilustrasi air,” ujarnya yang per­nah tampil dalam Denting Sim­foni 100 Kecapi 2008 di Balai Sarbini, Jakarta. Konser itu diada­kan dalam meme­ringati Hari Ke­mer­dekaan RI. Mereka,  sebanyak 75 merupakan seniman kecapi Indonesia dan 25 orang dari Tiong­kok.

Ngartini Huang, satu-satunya pemain dari Medan, selebihnya seniman kecapi Indonesia berasal dari Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Semarang. Pada 2008, diban­ding kota besar lain Indonesia, popularitas guzheng di Medan memang cukup tertinggal.

Ia bahkan punya pengalaman pahit saat tampil di sebuah kampus. Mayoritas mahasiswanya merupa­kan etnis Tionghoa. Namun ia ke­cele, saat denting dawai kecapi su­dah mengalun, tak banyak mahasis­wa yang tertarik, apalagi memberi apresiasi. Lain waktu ia tampil di depan siswa Medan International School yang siswanya mayoritas orang barat, anak-anak konsulat di Medan. Baru selubung kecapi dibu­ka, siswa-siswa bule itu sudah men­dekat dan berdecak kagum melihat bentuk kecapi. “Wow beatiful….”

Dua pengalaman ekstrem itu ibarat filosofi yin yang negatif -positif, namun justru memantik anak ketiga dari lima bersaudara itu bekerja keras mengenalkan gu­zheng ke kalangan anak muda, khususnya etnis Tionghoa. Ia tak rela musik tradisional yang diwa­riskan seniman generasi penda­hu­lunya itu tersingkir bersaing dengan musik-musik modern seperti Kpop atau musik barat.

Sejak 2008 ia membuka kursus guzheng dengan mendirikan Jade Music School. Nama “jade” diam­bil dari Bahasa Inggris, artinya batu giok. Itu untuk membangun asosia­si dengan Tiongkok, negeri asal alat musik itu.

Berkat Film Kungfu

Perjuangan Ngartini belajar guzheng penuh liku-liku. Kali pertama mengenal kecapi Tionghoa itu saat masih duduk di bangku SD. Saat remaja, ia sering diajak ayah­nya nonton film-film kungfu di sejumlah bioskop di Medan.

Pada 1980-an banyak film kung­fu Hongkong laris manis di Medan, semisal The Legend Condor of Heroes. Beberapa film yang ia tonton memerlihatkan adegan puteri bang­sa­wan tengah memainkan kecapi. Puteri itu mengenakan pakaian sutera warna-warni yang terlihat indah, artistik, dan eksotik. Wajah sang puteri cantik dan anggun, rambutnya disanggul tinggi atau panjang tergerai ke bahu. Adegan bermain kecapi itu biasanya terjadi di taman kerajaan yang artistik penuh ornamendan ukiran oriental.

Usai menonton film itu, imaji tentang puteri bangsawan cantik bermain kecapi itu memenuhi benak Ngartini remaja. Sejak itu, ia terobsesi ingin meniru jadi puteri bangsawan yang bermain kecapi seperti dalam film-film kungfu itu.

Sayang saat itu mencari infor­masi tentang seniman guzheng di negara kita ibarat orang mencari jarum jatuh di tumpukan jerami. Meski di negara asalnya, guzheng sudah berusia lebih dari 2.500 tahun, namun di negara kita, musik tradisional Tionghoa yang mema­kai instrumen  guzheng, erhu (rebab), dan pipa sempat dilarang dimainkan di depan umum. Terle­bih untuk diajarkan dan dikem­bangkan.

Larangan bukan hanya di bidang seni musik, tarian, olahraga (taiji) saja, tapi juga adat istiadat dan kepercayaan asli orang Tionghoa. Bahasa Mandarin dan berbagai bentuk cetakan beraksara Mandarin juga dilarang diedarkan, terma­suk lagu-lagu Mandarin.

Tahun 2000, represi budaya dan politik terhadap masyarakat Tiong­hoa Indonesia berakhir. Inpres Nomor 14 Tahun 1967 dicabut. Masyarakat Tionghoa Indonesia tak lagi mengalami retriksi saat meng­ekpresikan kebudayaannya di ruang publik. Namun selama 32 tahun, sudah banyak seniman Tionghoa berusia uzur, bahkan sudah banyak yang meninggal dunia. Seniman wayang potehi di Medan misalnya, kini nyaris sudah tidak ada lagi. Opera Tion Ciu Pan setali tiga uang. Sebuah vihara di Medan, kini harus mengundang grup opera itu dari Tiongkok atau Ma­laysia agar bisa ditonton pertun­jukannya.

Pun seniman guzheng. Namun Ngartini tak patah semangat. Ia bahkan berjanji pada diri sendiri untuk belajar guzheng dari guru profesional. Ia tak mau belajar otodidak. Tak lama setelah refor­masi, bersama keluarga ia berlibur ke Shanghai. Di sana ia mencari informasi ke seorang warga di kota itu, sayang ia tak dapat informasi yang benar. Bahkan cenderung menyesatkan.

“Katanya dulu memang ada kursus guzheng, saya telusuri alamat yang ada, ternyata malah bermuara pada gang buntu,” tutur ibu dua anak itu. Tapi ia tak menyerah. Berselang setahun saat liburan ke Singapura ia mendapat informasi tentang sebuah kursus guzheng di sebuah mal.  Sayang setelah ketemu, tak ada kecocokan.

“Gurunya hanya bisa berbahasa Mandarin, sementara saat itu baha­sa Mandarin saya masih terbatas,” tuturnya.  Pulang dari Singapura ia lalu belajar bahasa Mandarin. Tahun berikutnya berangkat ke Kuala Lumpur.  Ia sudah mengan­tongi  informasi tentang kursus guzheng yang diasuh Zhan Hui Xing. Pemilik kursus bisa meng­ikut­sertakan muridnya mengikuti ujian dengan menghadirkan pengu­ji dari sebuah akademi musik gu­zheng di Shanghai.

Ia pun mendaftar di sana. Saat pertama kali melihat dan mende­ngar­kan sang guru melantunkan lagu Guo Shan Lui Shui, tak terasa airmatanya menetes. Ia rupanya terhanyut dengan lagu klasik yang sangat populer di Shanghai itu. Lagu itu berkisah tentang gunung yang mewakili sifat keras dan air yang lembut. Syair lagu itu  meng­gambarkan kemenangan kelem­but­an melawan kekerasan.

“Waktu mendengar lagu itu, saya membayangkan diri sebagai seorang ibu rumah tangga yang harus berjuang sendiri ke luar ne­geri hanya untuk belajar gu­zheng,” tuturnya. Kelak setelah 2 tahun bolak-balik Medan-Kuala Kumpur, ia akhirnya berhasil lulus ujian grade 4 yang semestinya harus dilalui 4 tahun.

Belajar dari Master

Untuk belajar tingkat advance, Ngartini lalu belajar ke master guzheng sohor, Sun Wen Yan, seorang profesor Jurusan Guzheng di Universitas Musik Shanghai yang juga Direktur Perkumpulan Musik Tradisional China. Sejumlah penghargaan telah disabetnya. Bersama suaminya, He Bao Quan, ia menerbitkan buku-buku tentang guzheng dan membuat puluhan album piringan hitam, CD, dan VCD.

Ngartini belajar guzheng secara privat selama 4 tahun dari Master Sun Wen Yan. Ia kenal masteritu lewat Eny Augustien, murid Sun Wen Yan di Jakarta. Pada 2008, di Jakarta diselenggarakan Konser 100 Kecapi, Ngartini dan Sun Wen Yan juga tampil.

Ngartini  harus bolak-balik Medan-Shanghai selama 4 tahun. Ia juga membawa seorang guru yang mahir bahasa Mandarin dari Me­dan. Berhadapan dengan seorang master, terlebih usianya sudah senja, Ngartini paham arti wude, etika berkomunikasi, dan berpe­rilaku menghadapi orang yang lebih tua menurut budaya Tiong­hoa. Meski belajar privat, namun ia ikut ujian di Universitas Musik Sanghai dan Sun Wen Yan bertin­dak sebagai penguji.  Tentu saja tak sedikit waktu dan biaya harus dikeluarkan, termasuk untuk me­ngo­leksi guzheng yang terbuat dari kayu pilihan.

Sejak mendirikan kursus gu­zheng pada 2008, sudah banyak murid yang berhasil dididiknya. Sebagian bahkan kini membantu mengajar di sekolahnya. Sebagian lagi membentuk komunitas musik guzheng. Perlahan masyarakat Tionghoa Medan juga mulai me­ngenal dan mengapresiasi guzheng. Bersama muridnya, Ngartini kerap tampil mengisi berbagai acara Imlek atau hajatan lain. Jelang Imlek, kelompok musiknya bisa tampil di lima tempat dalam waktu berbeda.

Agar masyarakat lebih mudah mengingat bahwa guzheng musik tradisional Tionghoa, saat tampil seluruh pemain menggunakan cheongsam. Riasan rambut dan asesori juga dibuat seperti dalam film-film kungfu.

“Padahal di Tiongkok sendiri, konser tunggal atau grup, pemain­nya memakai busana  modern,” ujarnya tersenyum simpul. Lagu-lagu yang dibawakan dari genre pop Tionghoa atau daerah. Namun jika diundang Konsulat Tiongkok, mereka wajib membawakan lagu-lagu klasik.

“Tingkat kesulitan memain­kannya lebih tinggi,” katanya.

Kini sekolahnya juga memiliki cabang di Perumahan Cemara Asri dengan jumlah total siswanya 100-an orang dari siswa SD, SMP, dan SMA. Pada 2011, murid-murid Jade Music School pernah tampil ber­­sama murid-murid  Sun Wen Yan Music School Shanghai da­lam Konser Kecapi di Graha Methodist dalam rangka Pertukaran Ke­buda­yaan Indohesia-China.

Pada 2014 saat perayaan K­e­mer­­dekaan HUT ke-69 RI, mereka juga menggelar konser kecapi 30 pe­main. Lagu-lagu perjuangan seperti Indonesia Raya,Tanah Airku, Indonesia Pusaka, Hari Merdeka, Si­nang­gar Tulo dilan­tunkan, selain lagu-lagu klasik dan pop Tionghoa.

Bagi Ngartini, bermain guzheng lebih dari sekadar media untuk mengekspresikan jiwa seninya, menghibur publik atau mencari apresiasi. Sebagai seniman musik, ia sadar arti pentingnya usaha merawat dan mengembangkan seni musik guzheng.

Artinya, ia ingin di Medan semakin banyak tumbuh seniman-seniman kecapi lain. “Itu misi budaya yang jadi misi saya,” katanya.

()

Baca Juga

Rekomendasi