Sengkuni Kampus

Oleh: Siti Maulid Dina

LELAKI itu selalu menebar senyum. Tidak ada yang tahu arti senyumnya pada semesta. Dia ha­nya mengetahui terse­nyum. Palsu. Kakinya terus me­napaki du­nia kampus. Magister­nya ber­hasil menjadikannya sebagai do­sen di salah satu Uni­versitas milik pemerintah. Gaya­nya berjalan pun sudah tidak me­nundukkan ke­pala, dagunya su­dah bisa di­naikannya. Bangga.

“Apa kalian tidak ingin seperti saya, hah?” tanyanya pada pe­ser­ta didik.

“Masih muda sudah jadi do­sen.” Sambungnya dengan suara gagah.

Seluruh peserta didik terpaku mendengar ceramahnya. Entah ka­­gum, entah muak melihat ke­angkuhannya. Dia meminta buku daftar hadir mahasiswa kepada se­kretaris kelas. Tangannya mem­­buka lembaran demi lemba­ran. Berhenti.

Matanya melotot melihat se­lembar kertas. Me­mang­gil sekre­taris. Hanya mere­ka saja yang ta­hu isi pembica­raannya. Pe­rangkat kelas itu di­persilahkan­nya kembali ke tem­pat duduk. Dia menggelengkan kepala. Me­mang­gil nama-nama peseta didik satu persatu. Mengisi data keha­di­r­an mahasiswa-nya.

Usai mengisi absen, celoteh de­­mi celoteh dimuntahkannya pada mahasiswa. Hanya suara­nya yang mengisi ruangan. Selu­ruh mahasiswa hikmat mende­ngar­­nya bercerita. Bukan, bukan men­­dengar ilmu mata kulihah, tetapi mendengar kehebatannya men­ja­lani perkuliahan. Tentang meng­hadapi dosen kejam sampai dosen yang tidak suka memper­sulit. Gila. Menyalahgunakan ke­kuasaan.

Lima belas menit sudah mu­lut­nya berkomat-kamit, hingga dia merasa bosan. Dia mulai mem­be­rikan tugas dan menga­khi­ri per­kuliahan. Keluar dari ke­las, me­nuju kantin. Duduk ber­lama-lama sambil menikmati se­gelas teh dan fasilitas internet gratis dari peme­rintah. Miris.

Tehnya tinggal setengah lagi, ponselnya berdering. Kepala pro­­di menelepon. Dia segera ber­ge­gas, memasukkan semua ba­rang­nya ke dalam tas. Langkah­nya ter­gesa-gesa. Berlari kecil me­nu­ju ruang prodi. Sesekali dia me­­lempar senyum kepada para do­sen lain.

Perlahan membuka pintu, me­lihat seisi ruang. Matanya tertuju pada lelaki berusia setengah abad. Menghampirinya. Dia menawar­kan jasa untuk menuntun kepala prodi tersebut. Mereka berjalan ter­tatih menuju ruang kecil untuk ibadah. Membaringkan badan le­laki tua itu.

“Bapak istirahat saja.” Kata­nya.

Kepala prodi mengangguk. Le­laki tua itu berbaring lemah. Ker­jaannya terhambat karena pe­nyakit asam lambungnya. Ta­ngan­nya terlipat di atas dada. Ma­ta teduhnya memandang do­sen ke­percayaannya itu.

“Sengkuni. Tolong kamu te­ruskan kerjaan saya. Ada bebera­pa laporan data mahasiswa yang belum selesai.” Pinta ketua pro­di.

Sengkuni mengiyakan per­min­taan pada kepala prodi. Hanya Sengkuni yang bisa mela­kukan pe­rintah. Memiliki keah­lian yang sama dengan ketua pro­di, menjadi alasan untuk mene­ruskan peker­jaan lelaki berkumis tebal itu. Men­jadi penghargaan baginya me­miliki kepandaian bidang sta­tistika. Sewaktu-wak­tu, bisa saja dia memanipulasi data.

Dia melangkah ke meja yang disegani mahasiswa. Menatap la­yar, tangannya terus sibuk ber­adu di atas papan keyboard. Ada rasa yang berbeda saat dia duduk di kursi goyang, kenyamanan me­­me­luk hasratnya. Pikirannya mu­lai goyah, ada dorongan da­lam di­rinya untuk memiliki kursi yang dia duduki saat itu.

“Hanya orang teliti yang bisa menutup seribu kebohongan” gu­­mamnya dalam hati.

Otaknya mulai melakukan per­mainan untuk merebut kursi itu. Ketidakpuasan merayap pa­danya. Berencana ingin mengge­serkan ketua prodi yang sudah me­­nolongnya untuk dijadikan do­sen. Bagaimana mungkin se­se­orang bisa menjadi dosen di sa­lah satu universitas ternama di kota metropolitan. Sengkuni, bi­sa me­lakukannya dengan wa­taknya.

Akhirnya dia meneruskan pe­kerjaannya dengan buruk. Ke­se­ngajaan terjadi. Dia memani­pulasi data, ada beberapa data yang tidak disematkannya pada la­poran. Terlebih lagi menyang­kut keuangan. Matanya masih me­na­tap layar dengan bibir yang ter­senyum tipis. Dia juga melirik ke sekeliling ruangan, rekan-re­kan­nya sibuk mengerjakan tu­gasnya masing-masing.

“Sengkuni. Apakah sudah se­lesai? Kalau sudah, tolong antar­kan kepada dekan, ya!” Kata ke­tua prodi.

Kegelisahan menari indah di pikiran lelaki separuh baya itu, dia mengangkat tubuh dari tem­pat istirahatnya. Segera meng­ham­piri Sengkuni. Perlahan dia meme­gang meja kerja staf se­bagai pe­nahan tubuhnya. Seng­kuni me­nge­tahui bahwa si ketua prodi akan menghampirinya, ke­panikan menghujaninya. Sebe­lum kepala prodi menghampi­rinya, sigap Sengkuni mendata­ngi kepala prodi dan membujuk­nya agar beristirahat lebih lama sampai kerjaannya selesai.

“Bapak istirahat saja. Kalau sudah selesai, akan saya berikan pada Bapak untuk diperiksa.” bu­juk Sengkuni.

Lelaki berkumis tebal itu me­ng­anggukkan kepala. Hati Seng­kuni bersorak gembira. Keberun­tungan berpihak padanya, si ku­mis tebal itu tidak akan sempat me­meriksa kerjaannya. Sakit, tak akan bisa membuatnya berpikir keras. Jemari Sengkuni semakin giat mengetik sebelum orang-orang mengetahui kejahatannya.

Selesai. Semua data dicetak­nya. Dia mencetak dua rangkap, yang satu berisi kebenaran dan sa­tunya lagi berisi kecurangan. Dia menghampiri kepala prodi un­tuk me­nyerahkan data yang be­nar. Do­sen muda itu mempunyai rasa takut juga. Duduk di sebelah kepala prodi yang sibuk membaca semua data. Entah fokus, entah tidak.

Akhirnya lelaki tua yang me­miliki perangai jujur dan dekat dengan mahasiswa itu mengang­gukan kepala. Kepercayaannya se­makin membulat, karena dia ta­hu Sengkuni berbakat di dunia kampus. Bagaimana tidak, ketika Sengkuni melakukan penelitian un­tuk magisternya, ketua prodi sebagai pembimbingnya. Selain bi­jak berbicara, Sengkuni juga tekun mengerjakan tugasnya.

“Tolong, antarkan sekarang. dekan sudah meminta data ini se­dari tadi.” Lembut tutur ketua pro­di.

“Baik, Pak”

Sengkuni bergegas keluar rua­ngan. Sepatu kilatnya terus me­nemani melangkah. Lagi. Dia me­nebarkan senyum pada semua do­sen, baik dosen muda atau do­sen tua. Dia menuruni anak tang­ga, me­masuki lorong. Melihat tulisan setiap depan pintu. Lang­kahnya ber­henti, tepat di depan ruang de­kan. Mengetuk pintu sambil mem­buka pelan. Staf di ruang mem­persilahkannya ma­suk.

Apo cerito?” Sahut dekan saat melihat Sengkuni.

Sengkuni duduk di hadapan dekan. Menyerahkan berkas pa­da dekan. Berawal pembicaraan ri­ngan, akhirnya pembicaraan mera­nah pada kebohongan. Seng­kuni si lelaki berkacamata men­cari zona aman. Dia ingin meme­gang kepala si dekan untuk mem­berinya kekuasaan di kampus. Ke­boho­ng­an demi kebohongan terlontar dari bibir tebalnya. Mulai dari kehadir­an dosen sampai ki­nerja kepala prodi dan stafnya.

“Bapak bisa melihatnya seka­rang. Pasti beliau sedang tiduran di kantornya,” kata Sengkuni de­ngan intonasi tertekan.

Muka si dekan mulai meme­rah, darahnya mendidih. Berbagai pertanyaan terbesit dalam pikiran lelaki berhidung mancung itu. Ke­mana saja para wakil-wakilku se­lama ini? Apakah mereka juga tidur dalam ruangannya? Bagai­mana ini bisa terjadi? Bagaimana mahasis­waku bisa berkualitas, se­dangkan pekerjaan dosennya tidak di awasi?

“Baik. Nanti, saya sendiri yang akan mengawasi staf-staf di fa­kultas. Dasar tidak berguna.” ce­le­tuk dekan.

Sengkuni berlalu, melangkah ke kantin. Kembali santai bersama teman-temannya. Tiba-tiba, dari be­lakangnya ada dua mahasiswi menghampiri. Kedua mahasisiwi ter­sebut memohon kepada Seng­kuni agar tugas mereka diterima. Sengkuni, dengan bijak berbicara me­mainkan dua mahasiswinya. Se­sekali tangannya mencolek lengan mahasiswi tersebut. Akh, seperti Anak yang sedang pubertas.

“Pak. Terimalah tugas kami,” kata seorang mahasiswi.

“Pergi kalian atau saya beri ni­lai E,” kata Sengkuni.

Sengkuni menggertak ma­ha­­siswinya. Ponselnya berde­ring, ke­pala prodi menelepon. Dia me­langkah dengan cepat dan me­ninggalkan orang-orang di kantin termasuk ma­hasiswinya. Mem­bu­ka pintu, terkejut melihat dekan sudah berada di sana. Pertikaian ter­jadi.

“Mengapa terjadi kesalah­an da­lam data yang kalian be­ri?” ka­ta dekan.

“Tanya pada Sengkuni saja, Pak,” kata ketua prodi.

“Mengapa saya harus berta­nya pada Sengkuni? Bukankah ini tugasmu, hah? Dasar tidak ber­guna,” kata dekan.

“Saya sedang sakit, Pak,” ke­­tua prodi memelas.

“Alasan saja. Kalau mau ber­malas-malasan, tidak usah beker­ja. Tidur di rumah,” ben­tak de­kan.

Sengkuni tertunduk. Semua staf di ruangan ikut menyertai Sengkuni, tertunduk dan diam. Hati Sengkuni bernyanyi lagu ke­menangan. Kekuasaan akan ber­sahabat padanya. Dia sema­kin mem­banggakan diri, terle­bih di kam­pungnya. Orangtua­nya pasti mempunyai banyak bahan cerita tentang anaknya. Usia muda punya kekuasaan di universitas.

*  *  *

Satu semester berlalu, Seng­­kuni memiliki jabatan se­bagai se­kretaris prodi. Semua program kerja, dia yang meng­atur. Kepala prodi yang baru ter­bius dengan ka­limat bijak­nya. Dekan naik ja­batan seba­gai wakil rektor dan se­makin dekat hubungannya de­ngan Sengkuni.

“Terima kasih, Sengkuni,” kata wakil rektor baru.

“Terima kasih buat apa, Pak?” kata Sengkuni.

“Jabatanku naik karena kau.”

“Akh, saya juga berterima ka­­sih, Pak. Kalau bukan Bapak ambil keputusan otoriter, dia ti­dak akan mengundurkan diri.”

Sengkuni dan wakil rektor ber­jalan bersamaan, sembari tangan kanan wakil rektor merangkul ba­hu Sengkuni.

“Orang sepertimu, wajib ku­­pelihara” gumam wakil rek­tor da­lam hati.

()

Baca Juga

Rekomendasi