Oleh: Dr. Henry Sinaga, S.H., Sp.N., M.Kn.
Salah satu pertanyaan yang mendasar dalam membahas gagasan pencabutan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau dapat disebut juga Undang-Undang Pokok Agraria disingkat UUPA, adalah bagaimana eksistensi prinsip-prinsip yang terkandung dalam UUPA jika UUPA dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) pada tanggal 9 November 2001 yang lalu, mengeluarkan Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, yang di dalamnya tertuang 12 (dua belas) prinsip-prinsip dalam rangka pengelolaan sumber daya alam/sumber daya agraria di Indonesia (12 Prinsip Tap MPR IX / 2001).
12 Prinsip Tap MPR IX / 2001 dalam rangka pengelolaan sumber daya alam/sumber daya agraria di Indonesia itu yakni sebagai berikut :
1.Memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
3.Menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman dalamunifikasi hukum,
4.Mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber dayamanusia Indonesia,
5. Mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan optimalisasi partisipasi rakyat,
6.Mewujudkan keadilan termasuk kesetaraan gender dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan pemeliharaan sumberdaya agraria /sumber daya alam,
7.Memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal, baik untukgenerasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan tetap memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan,
8. Melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat,
9. Meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antar sektor pembangunan dan antar daerah dalam pelaksanaan pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam,
10. Mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria /sumber daya alam,
11. Mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat,daerah provinsi, kabupaten/kota, dandesa atau yang setingkat), masyarakat dan individu,
12. Melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat nasional,daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat, berkaitan dengan alokasi dan pengelolaan sumber daya agraria /sumber daya alam.
Menurut MPR RI pengertian dan ruang lingkup sumber daya agraria sama dengan pengertian dan ruang lingkup sumber daya alam (pengertian dan ruang lingkup sumber daya agraria/alam menurut MPR RI ini merujuk atau mengacu kepada UUPA yaitu meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, selanjutnya pengertian dan ruang lingkup bumi meliputi permukaan bumi (yang meliputi sektor atau bidang pertanahan, termasuk juga di dalamnya sektor kehutanan, perkebunan, pertanian dan lain-lain), tubuh bumi (meliputisektor pertambangan, minyak dan gas bumi, mineral, dan lain-lain) dan bumi yang di bawah air.
Pengertian dan ruang lingkup air meliputi perairan pedalaman dan laut (termasuk di dalamnya sektor perikanan, terumbu karang, dan lain-lain). Pengertian dan ruang lingkup Ruang Angkasa meliputi ruang di atas bumi dan air (sektor tata ruang).
MPR RI (yang mempunyai tugas konstitusionalmenetapkan arah dan dasar bagi pembangunan nasional) menerbitkan 12 Prinsip Tap MPR IX / 2001 dalam rangka memberikan dasar dan arah bagi pengelolaan sumber daya alam/agraria di Indonesia dan sekaligus juga untuk memberikan landasan bagi seluruh undang-undang sektoral pengelolaan sumber daya alam/agraria di Indonesia (yaitu antara lain : undang-undang kehutanan, undang-undang pertambangan mineral dan batubara, undang-undang minyak dan gas bumi, undang-undang sumber daya air, undang-undang perikanan, undang-undang penataan ruang, undang-undang lingkungan hidup, termasuk UUPA).
Dengan lahirnya 12 Prinsip Tap MPR IX / 2001 sesungguhnya semua prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya alam/agraria yang dianut atau dipakai atau yang diatur oleh seluruh undang-undang sektoral pengelolaan sumber daya alam/agraria di Indonesia termasuk prinsip-prinsip yang diatur oleh UUPA, yang tidak sama atau tidak sejalan atau tidak sinkron dengan 12 Prinsip Tap MPR IX / 2001, demi hukum sudah tidak berlaku dan tidak relevan lagi, atau dengan kata lain 12 Prinsip Tap MPR IX / 2001 telah menggantikan seluruh prinsip-prinsip yang dianut/dipakai/diatur oleh seluruh undang-undang sektoral pengelolaan sumber daya alam/agraria di Indonesia termasuk prinsip-prinsip yang dianut/dipakai/diatur oleh UUPA, yang tidak sama/tidak sejalan/tidak sinkron dengan 12 Prinsip Tap MPR IX / 2001.
Terbitnya 12 Prinsip Tap MPR IX / 2001, menimbulkan konsekwensi hukum, perlunya direvisi seluruh undang-undang sektoral pengelolaan sumber daya alam/agraria di Indonesia untuk menyamakan atau menyinkronkan seluruh prinsip-prinsip undang-undang sektoral pengelolaan sumber daya alam/agraria dengan 12 Prinsip Tap MPR IX / 2001.
Penerapan 12 Prinsip Tap MPR IX / 2001 perlu juga dilakukan terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan yang saat ini sedang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), karena RUU Pertanahan (jika disetujui menjadi undang-undang) termasuk dalam kelompok undang-undang sektoral di bidang pengelolaan agraria/sumber daya alamdan materi RUU Pertanahan adalah penyempurnaan dari materi UUPA dalam sektor pertanahan, oleh karena itu kehadiran RUU Pertanahan akan menggantikan posisi UUPA sebagai undang-undang yang mengatur khusus sektor pertanahan.
Idealnya melalui RUU Pertanahan, UUPA harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Jika UUPA dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi melalui RUU Pertanahan, maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari aspek prinsip-prinsip keagrariaan/pertanahan, karena prinsip-prinsip keagrariaan/pertanahan yang dikandung oleh UUPA yang tidak sejalan/tidak sama/tidak sinkron dengan 12 Prinsip Tap MPR IX / 2001, sesungguhnya sudah tidak berlaku dan tidak relevan lagi karena sudah diganti dengan 12 Prinsip Tap MPR IX / 2001. ***
Penulis adalah Notaris/PPAT dan Dosen Program Studi Magister Kenotariatan USU - Medan.