Sejarah Gizi Buruk di Papua

Oleh: Fadil Abidin

GIZI buruk dan wabah campak yang melanda Kabupaten Asmat, bukan baru kali ini saja terjadi. Kondisi ini sudah sering terjadi sejak puluhan tahun lampau di beberapa daerah di Pa­pua. Papua mempu­nyai sejarah gizi buruk yang panjang. Keja­dian luar biasa (KLB) ini merupakan permasalahan yang kom­pleks. Penyebabnya beragam, kondisi alam, sumber daya ma­nusia, infrastruktur, fasilitas kesehatan, budaya, hingga ma­salah mental aparat peme­rintah setempat.

Oxfam GB Indonesia In Action, sebuah LSM Internasional yang berpusat di Oxford, Inggris, mencatat di tahun 2003, sebanyak 27,3 % balita di Papua menderita kekurangan gizi. Tahun 2005 ada sekitar 69.883 jiwa menderita gizi buruk di Papua, 58 orang diantaranya meninggal dunia.

Data yang disampaikan Unicef di 2003 lebih mencengang­kan lagi. Unicef menye­butkan, angka kematian bayi dan balita di Papua adalah tertinggi di dunia, yakni men­capai 186/1000 kelahiran hidup dan angka kematian bayi 122/1000 kelahiran hidup. Selain itu, 12% anak-anak balita di Papua menderita kekurangan berat badan yang parah. Untuk angka kesehatan ibu dan anak, Unicef memperkirakan 3.000 orang anak dari 60.000 bayi yang baru lahir meninggal sebelum mencapai usia satu tahun. Sedang­kan untuk balita, dari 1000 anak, 60 di anta­ranya meninggal dunia. Begitu pun ibu, dari 100.000 kelahiran hidup, 500 di antaranya meninggal dunia. Angka kematian ibu dan anak serta masalah kekurangan gizi di Papua ini masih jauh lebih tinggi dari Afrika dan Mongolia.

Yang memprihatinkan, semua kondisi ini terjadi ketika di Papua telah diberlakukan status Otonomi Khusus (Otsus), dengan dana triliunan rupiah setiap tahunnya. Padahal, sta­tus Otsus ini sendiri menekankan angga­ran pada sektor kesehatan, pendidikan, dan peningkatan ekonomi sebagai bidang yang harus diprioritaskan. Tapi, mengapa kondisi buruk ini masih terus terjadi dari dulu hingga kini? Dikemanakan saja dana APBD? Bagai­mana kerja aparat pemerintah daerah di sana?

Pemerintah pusat setiap tahun telah menugaskan dokter dan petugas kesehatan untuk bertugas di Papua dengan perjanjian dan insentif tertentu. Guru-guru muda juga banyak dikirimkan untuk mengajar di sekolah-sekolah, agar SDM Papua dapat meningkat. Semua dana ditanggung peme­rin­tah pusat. Selain Unicef, beberapa LSM Internasional dan lokal juga membantu di beberapa sektor dengan swadaya dan dana sendiri yang tidak sedikit.

Kondisi Papua

Tapi korban terus berjatuhan baik karena gizi buruk, cam­pak, malaria, atau wabah penyakit lainnya. Kasus-kasus ini sebenar­nya harus menyadarkan publik bahwa tanah Papua sedang dicekik oleh situasi yang serba terbatas. Kondisi alam, infrastruktur, dan situasi keamanan di Papua memang harus menjadi perhatian serius.

Ketika KLB di Kabupaten Asmat belum mewabah misal­nya, menurut beberapa lapo­ran,petugas puskesmas setempat sering tidak siaga di tempat. Petugas-petugas kesehatan yang mayoritas warga luar Papua memang tidaklah betah terikat kontrak kerja di Papua. Baik karena terisolir, faktor alam, budaya, hingga keamanan, sering membuat mereka tidak merasa nyaman bekerja di sana. Situasi ini sudah lama terjadi dan sebenarnya mem­bahayakan bagi kehidupan masyarakat.

Wilayah Asmat dan banyak daerah di Papua lain, kebanyak­an tidak punya akses jalan darat. Infrastruktur jalan, jembatan, pelabuhan, hingga bandara masih teramat sedikit. Jarak antara kampung dan puskes­mas jauh dan hanya bisa ditempuh lewat trans­portasi air. Atau melewati rawa-rawa, hutan, gunung, dan lembah. Bantuan obat-obatan, alat kesehatan, vitamin, dan bahan pangan disebar melalui udara dengan helikopter.

Selain transportasi, alat komunikasi nyaris tidak ada. Jangan harap ada sinyal telepon di sana, kecuali di beberapa distrik perko­taan. Hal ini menghambat komunikasi antar masyarakat dan petugas maupun aparat pemerintahan. Sehingga KLB ini bisa terjadi dan baru diketahui memakan korban jiwa yang ti­dak sedikit belakangan, karena ketiadaan transportasi dan ko­munikasi.

Faktor lainnya adalah kurangnya asupan pangan. Makanan pokok asli orang Papua ada­lah sagu, sementara pohon sagu baru bisa dipa­nen setelah berumur 6-7 tahun. Ini tentu mem­butuhkan waktu yang lama, apalagi pohon-pohon sagu tersebut bukanlah hasil budidaya tapi tumbuh liar di hutan sehingga keberadaan pohon sagu di alam semakin menipis.

Pemerintah Orde Baru kemudian mema­sya­ratkan program makan nasi di Papua. Padahal di Papua walaupun banyak rawa-rawa, ternyata tidak cocok ditanami varietas padi yang biasa ditanam di Pulau Jawa. Akibatnya, Papua pun mendatangkan beras dari luar daerah. Dan ketika pasokan ini terhambat, maka ancaman kurang pangan pun terjadi. Masyarakat harus di­edukasi, makanan pokok selain sagu, tidak harus nasi, tapi bisa juga singkong, ubi, jagung, sorgum, dan sebagainya. Hal ini tantangan bagi para pakar pertanian untuk mengembangkan budidaya apa yang cocok di tanah Papua. Atau bisakah mencip­ta­kan varietas sagu yang bisa dipanen ketika usia pohon ber­umur 1 tahun?

Program imunisasi saat ini belum men­jang­kau masyarakat secara merata di distrik pedalaman. Banyak anak di pedalaman yang menjadi korban penyakit karena tidak ter­jangkau program imunisasi dari peme­rintah. Faktor infrastruktur transportasi, kondisi alam, dan kekurangan petugas kese­hatan menjadi masalah laten yang belum teratasi.

Masalah budaya juga turut berperan. Ketika masyarakat masih terikat dengan budaya nomaden, ladang berpindah, atau masih tergantung dari kekayaan hasil hutan, maka kelangsung­an pangan sangat rentan terancam. Walaupun telah menjadi budaya leluhur yang sulit diubah, maka butuh kesabaran untuk mengganti ke budaya pertanian yang lebih maju.

Mentalitas

Masalah krusial lainnya adalah sosial, politik dan keamanan. Situasi sosial ekonomi masyarakat lokal yang masih tertinggal kerap harus berhadapan dengan warga pendatang atau korpo­rasi yang mengeruk kekayaan bumi Papua. Kondisi ini sering menimbulkan kecemburuan sosial, bahkan gerakan sepa­ratis hingga gerombolan sipil bersenjata dilatarbelakangi oleh faktor ini.

Penembakan terhadap para pekerja peru­sahaan penambang­an kerap terjadi. Bahkan para pekerja konstruksi yang mem­bangun Trans Papua, infrastruktur jalan dan jembatan, yang notabene untuk kepentingan rakyat Papua sendiri tak terlepas dari gangguan teror gerombolan bersenjata. Kondisi keamanan inilah yang kerap mem­buat dokter, tenaga medis, guru, pekerja konstruksi, dan sebagai­nya enggan bertugas ke Papua. Bahkan bagi sebagian anggota TNI/Polri, Papua bukanlah tempat tugas yang diidamkan.

Mentalitas aparat pemerintah dan kepala daerah setempat juga patut dipertanyakan. Setiap pemilu dan pilkada, Papua selalu disebut sebagai daerah rawan konflik. Pemilu atau pil­kada sering "berdarah-darah" menim­bulkan kerusuhan massa. Keputusan KPU atau MK sekalipun terkadang tidak bisa mere­dakan konflik yang ada.

Apakah setelah terpilih menjadi wakil rakyat atau kepala daerah akan benar-benar berpihak kepada rakyat? Berapa ba­nyak wakil rakyat dan kepala daerah yang kemu­dian terjerat ka­sus korupsi. Dana-dana dari pusat kerap diselewengkan, rak­yat pun se­makin jauh dari kata sejahtera. Papua adalah otonomi khusus, sehingga kepala daerah harus berasal dari putra daerah setempat. Status kepala daerah yang harus putra daerah ternyata tidak menjamin keberpihakan ke­pada masyarakat setempat.

Semestinya semua pihak berbesar hati mengakui tingkat kese­hatan anak-anak balita di Papua sangat memprihatinkan jika diban­dingkan dengan daerah lain. Perma­salahan gizi buruk dan wabah penyakit mem­punyai akar permasalahan yang sangat kompleks, baik masalah internal Papua sendiri hingga kebijakan eksternal dari pemerintah pusat. Jadi tidaklah bijaksana jika semua kesalahan ditimpakan kepada pemerintah pusat, dan kemudian dijadikan isu-isu politik.

KLB campak dan gizi buruk yang menye­babkan kematian puluhan anak di Kabupaten Asmat, sebenarnya sangat ironis. Pasalnya, kabupaten yang berada di wilayah Selatan Papua ini tiap tahunnya selalu mendapat ku­curan dana cukup besar di bidang keseha­tan. Bahkan, selama beberapa tahun terakhir, Kabupaten Asmat selalu mendapat opini Wajar Tanpa Penge­cualian (WTP) dari BPK dalam hal pela­poran keuangan. Pihak-pihak terkait seharusnya mempertanyakan dana-dana tersebut dipergunakan untuk apa saja.

Kenyataan-kenyataan seperti ini seharus­nya tak perlu disembuyikan.Kebijakan otonomi khusus bukan jaminan membangun kesejahteraan masyarakat Papua secara cepat dan tepat. Papua masih butuh uluran tangan dan pikiran cemerlang dari orang-orang di luar Papua. Komitmen, pengorbanan, keju­juran, keadilan, integritas pribadi pejabat, dan semangat berpar­tisipasi dalam pemba­ngunan oleh masyarakat menjadi kunci keberhasilan di Papua. Gizi buruk dan wabah penyakit di tanah Papua hendaknya tinggal sejarah saja, bukan menjadi sejarah yang kembali terus berulang setiap waktu. ***

Penulis adalah pemerhati masalah sosial-kemasyarakatan

()

Baca Juga

Rekomendasi