Oleh: M. Anwar Siregar
TAK terasa, 13 tahun (hampi) lewat sudah sejak gempa besar mengguncang Nias 28 Maret 2005. Yang menyebabkan ribuan korban jiwa dan miliaran kerugian harta benda, menguatkan kita untuk kembali mengingat wilayah Indonesia yang sering dilanda gempa terutama di wilayah pantai barat Sumatera khususnya Nias.
Kearifan Nias
Kondisi geologi gempa Nias yang berada di bagian barat pantai Sumatera di Samudera Hindia membuat kepulauan ini memiliki resiko aktivitas tektonik yang tinggi dan karena terbentuk oleh busur vulkanik dari pembenturan lempeng bumi yang memanjang dari kaki pegunungan Himalaya hingga melingkar ke Kepulauan Maluku, guncangan gempa kuat yang dapat mengakibatkan tsunami karena faktor aktivitas gerak lempeng Hindia-Australia ke lempeng Eurasia, dasar samudera di sepanjang sisi samudera hindia terdapat pusat-pusat pembenturan lempeng atau zona subduksi, merupakan pusat rangkaian pembentuk pulau-pulau vulkanik, dan terdapat gejala arus panas yang mendesak kearah pulau-pulau vukkanik sehingga menyebabkan arus pendesakan sangat membutuhkan ada ruang untuk "bernafas" dan Nias adalah salah satu Kepulauan yang pertama mengalami pendesakan untuk menghasilkan serangan kilat gempa sebelum ke daratan pulau Sumatera.
Bertitik tolak dari kondisi tersebut, kearifan lokal Nias tidak boleh diabaikan dalam bentuk pembelajaran dalam building code yaitu pemahaman konstruksi bangunan tahan gempa terutama pemahaman pondasi bangunan yang tahan gempa dan pembelajaran budaya Nias yang masih bisa bermanfaat di era modern ini.
Pembangunan fisik di Pulau Hulo Solaya-laya atau pulau yang sering mengalami gempa baik besar maupun kecil saat ini sudah maju pesat dihampir kota-kabupaten pemekaran namun bangunan yang dirancang tahan gempa dengan mengikuti kearifan rancang bangunan lokal semakin berkurang dengan berganti dengan model bangunan fisik modern namun tidak dirancang tahan gempa termasuk sarana umum masyarakat dan pemerintahan yang sangat vital, konstruksi bangunan rumah kuno Nias dalam bentuk rumah adat kini jumlah itu cenderung menurun karena kerusakan atau berganti rumah tembok. Seiring dengan itu, kayu pun berkurang. Masyarakat telah malas menanam kayu di hutan. Hutan beralih menjadi kebun nilam, cokelat, atau sawit dan hasilnya Nias sempat mengalami banjir.
Pemilihan kampung di atas bukit, pembuatan rumah adat berbahan kayu dan tiang rumah beralaskan batu gehomo adalah cara mitigasi bencana gempa dan tsunami yang tepat. Ribuan kali sejak zaman dulu, kampung-kampung mereka di Nias sering diguncang gempa yang mungkin diikuti tsunami, namun sebanyak itu pula mereka dan rumahnya selamat. Kehancuran rumah yang terjadi karena sebab lain, seperti tidak mengikuti standar konstruksi bangunan tahan gempa, jembatan kehilangan pilar penopang dan jalan raya mengalami flexsure akibat dibangun di daerah garis patahan.
Pelajaran gempa Nias adalah sangat berharga bagi Sumatera Utara dalam mempelajari tata ruang bahaya gempa yang sangat dekat di daerah rawan gempa untuk selalu mengacu dan berbasis pada peta bahaya dan konstruksi bangunan terutama menyangkut kekuatan bangunan yang telah tergambar dalam rancangan bangunan kuno di Nias dapat diaplikasikan kedalam bangunan modern untuk mengendalikan kehancuran sarana fisik dan dapat juga menekan kerugian harta benda dan jiwa.
Selain itu, gempa Nias adalah pembelajaran bagi semua untuk membudayakan kearifan lokal tiap daerah yang telah di "rancang" nenek moyang dalam menghadapi berbagai elemen bahaya sehingga Sumatera Utara akan tangguh menghadapi serangan kilat gempa dan tsunami.
Standar mitigasi Nias
Pelajaran yang dapat di petik dari kejadian gempa Nias lainnya adalah standar rekonstruksi dan rehabilitasi yang harus dapat dipulihkan dengan menguatkan penguatan konstruksi bangunan yang berbasis building code dua kali lipat dan pemetaan seismotektonik lokal dengan mengacu pada peta bahaya (hazard map).
Peta bahaya wajib menjadi acuan bagi pemerintahan di Nias jika ingin membangun gedung dan sarana infrastruktur di daerah rawan gempa bumi dan gerakan tanah dan namun kenyataan ini belum membumi dan perlu mengubah paradigma dalam membangun sarana fisik ringan maupun berat di Sumatera Utara agar kejadian bencana pembangunan infrastruktur Tol Becakayu tidak terulang walau tidak ada serangan gempa sekalipun, dan Nias perlu standar mitigasi konstruksi yang tinggi dengan belajar pada standar konstruksi Kobe-Jepang dan jangan mengabaikan penelitian amdal (analisis dampak lingkungan) agar tidak menemukan kendala yang terjadi setelah pembangunan fisik selesai.
Nias dan Sumatera Utara harus menjadi daerah di Indonesia sebagai pioneer dalam merancang bangunan gedung mereka yang berlandaskan peta bahaya dan peta konstruksi bangunan tahan gempa dan sebagai contoh pembelajaran bagi masyarakat untuk membangun tempat tinggal mereka yang berketahanan bencana.
Secara ringkas standar kobe dapat di terapkan dalam standar mitigasi bangunan dan tata ruang di Nias yang dibagi beberapa acuan basis, yaitu pertama, penguatan bangunan yang telah ada terbangun dengan penguatan kembali bangunan dua kali lipat untuk setiap bangunan berlantai dua ke atas dengan mengacu pada peta bahaya (hazard). Kedua, berbasis peta bahaya, yaitu gerak dan letak pusat episentrum gempa ke pusat kota agar mempersiapkan gedung berbasis tahan gempa. Ketiga, peta karakteristik gerakan tanah, yaitu memperhatikan bahaya percepatan pergerakan tanah di batuan dasat akibat energi gempa yang menyebabkan gerakan tanah terhadap bangunan, likuafaksi dan efek guncang berganda dari zona patahan, Keempat, peta struktur fisik lapisan batuan ke lokasi kota yang terbangun yaitu aspek keberadaan sesar atau patahan mikro yang aktif, kekar atau retakan lapisan batuan dasar dan kelima, jarak posisi kota ke zona subduksi, penting sebagai upaya untuk melakukan rekonstruksi dan rehabilitasi kota di masa mendatang karena kota yang telah terbangun masih selalu dalam ancaman bahaya yang sama dengan intensitas kekuatan bahaya yang berbeda.
Hikmah pelajaran
Belajar dari gempa Nias, kita juga harus memperhitungkan tiga aspek yang mendesak bagi tata ruang Sumatera Utara dan Indonesia yaitu pertama, aspek percepatan puncak pergerakan gempa atau zona seismotektonik (tingkatan zona bahaya, apa merah, kuning, hijau dengan level tertinggi tingkatan zona 6 atau zona sangat berbahaya sekali terhadap gempa, diatas 9.0 SR). Kedua, aspek building code bangunan, setiap bangunan yang berlantai dua ke atas seharusnya sudah berbasis gempa yaitu harus ada penguatan dua kali lipat pilar-pilar antar bangunan dan setiap gedung besar berlantai lebih lima sudah harus menyertai sistim peredam goyangan gempa atau buntalan karet, serta letak bangunan infrastruktur tsunami ke pusat gempa harus ada sistim peredam alamiah dan tidak boleh diganggu gugat untuk kepentingan apapun dan ketiga, tata ruang seharusnya berlandaskan pada Peta Bahaya Gempa Bumi, yang bertujuan dapat merekonstruksi dan merehabilitasi kota dalam jangka cepat.
Pelajaran dari gempa Nias, sangat penting, tidak boleh mengabaikan kearifan lokal dari kemajuan ilmu pengetahuan dan keduanya dapat dipadukan untuk membangunan tata ruang kehidupan yang lebih baik. Gambaran sudah sangat jelas dari kearifan lokal Nias yang telah ditujukan nenek moyang bangsa Nias dalam ribuan kali menghadapi serangan kilat gempa sekalipun dengan kondisi tradisional namun mampu eksis hingga ke era modern, kenapa kita tidak belajar sejarah sendiri?***
* Penulis Geolog, Pemerhati Tata Ruang Lingkungan dan Energi Gosfer