Metode Cuci Otak Butuh Penelitian Mendalam

MESKI mendapatkan banyak testimoni positif dari para pasiennya yang merupakah tokoh-tokoh nasio­nal, metode terapi cuci otak melalui digital substraction angiography (DSA) yang dilakukan oleh dr Tera­wan Agus Putranto SpRad membu­tuh­kan penelitian yang lebih men­dalam.

Tidak sedikit pakar dan rekan sejawat dr Terawan yang mengatakan bahwa terapi cuci otak yang diguna­kannya untuk terapi penyakit stroke iskemik maupun kronik masih me­mer­lukan kajian lebih lanjut.

Terapi cuci otak melalui DSA yang ditemukan oleh dr Terawan ini sebe­narnya sudah lama ada dan menjadi polemik di kalangan dunia kedok­teran.

Namun isu tersebut kemudian melebar ke publik sejak bocornya surat rekomendasi dari Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia (MKEK IDI) yang berisi amar putusan untuk memecat dr Terawan selama satu tahun serta mencabut rekomendasi izin praktik.

Ketua Umum Perhimpunan Dok­ter Spesialis Saraf Indonesia (Per­dossi) Prof dr Moh Hasan Machfoed SpS(K) mengungkapkan, terapi cuci otak sebenarnya sudah dilakukan dr Terawan sejak 2011.

Saat itu dr Terawan yang juga merupakan Kepala RSPAD Gatot Soebroto belum memiliki landasan ilmiah dalam melakukan tindakan terapi cuci otak.

Hasan menyebutkan, terapi cuci otak itu bahkan juga digunakan untuk terapi penyakit nonstroke dan non­saraf seperti parkinson dan diabetes melitus.

Dokter Terawan menjawab pada konferensi pers di RSPAD Gatot Soebroto beberapa waktu lalu bahwa metode cuci otak yang dilakukannya telah dilakukan penelitian disertasi dan diuji di Universitas Hassanudin Makas­sar pada 2016 bersama lima rekannya.

Dia menyebutkan, penelitian terse­but menghasilkan 12 jurnal ilmiah dan enam orang gelar doktor. Diser­tasi mengenai terapi cuci otak dengan DSA dan menggunakan heparin itu untuk menjawab pertanyaan tentang tindakan terapinya yang telah lama dilakukan tanpa landasan ilmiah.

Namun menurut sejumlah pakar, hasil penelitian dalam disertasi itu masih memerlukan kajian lebih lanjut karena landasannya kurang kuat.

Dari pihak pemerintah, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Siswanto berpendapat hasil disertasi tersebut masih memerlukan uji klinis tambahan untuk menguatkan bukti-bukti ilmiah agar bisa diterima kolegium profesi.

Banyaknya pembahasan diskusi mengenai metode cuci otak yang dilaku­kan oleh dr Terawan di dunia kedokteran ialah karena terapi dengan menggunakan DSA dan obat heparin sebagai pengo­batan itu pada dasarnya ialah untuk mendiagnosis, bukan bersifat kuratif.

Dokter spesialis saraf Rumah Sakit Universitas Airlangga (RSUA) Sura­baya dr Yudhi Adrianto SpS mengata­kan, tujuan DSA ialah untuk mendiag­nostik dan untuk mengevaluasi pem­buluh darah otak sehingga bisa di­ke­tahui penyakit dari pasien dan me­nentukan pengobatan yang tepat.

Adapun cara kerja DSA yaitu de­ngan memasukkan kateter berukuran kecil dengan panjang sekitar satu me­ter ke dalam pembuluh darah dari paha hingga menuju otak.

Kemudian melalui komputer khu­sus akan terlihat bagian-bagian pem­buluh yang mengalami penyempitan dan hal tersebut dimaksudkan untuk diagnostik pasien.

Sementara, menurut Prof Hasan, obat heparin tidak bisa digunakan se­bagai terapi stroke melainkan hanya ber­fungsi sebagai pencegahan pembe­kuan darah selama tindakan DSA dila­kukan.

Menjawab mengenai hasil peneli­tian dr Terawan yang menyebutkan he­parin dapat menjadi pengobatan untuk penyakit stroke, Hasan dan rekannya melakukan penelitian yang hasilnya telah dipublikasikan di BAOJ Neurology Amerika Serikat bahwa terapi heparin pada stroke tidak memiliki landasan ilmiah kuat.

Prof Hasan dan rekan-rekannya ju­ga mempelajari penelitian ilmiah dr Terawan yang dimuat dalam diserta­sinya. Dari hasil kajian itu, Hasan me­nyimpulkan bahwa hasil penelitian itu tidak memiliki landasan ilmiah.

Hasan menyebutkan salah satu con­toh di mana dr Terawan mengambil re­ferensi dari penelitian Guggenmos yang dianggap keliru karena perbaikan stroke menurut Guggenmos bisa di­lakukan dengan implantasi microelectrodes di kortek.

“Jadi perbaikan stroke bukan kare­na heparin," jelas Prof Hasan. Dia se­ca­ra tegas mengatakan bahwa metode cuci otak yang dilakukan oleh dr Tera­wan tidak memiliki landasan ilmiah yang kuat.

Salah satu syarat inovasi medis agar bisa diaplikasikan pada publik dan menjadi terapi pengobatan ialah harus melalui uji klinis untuk memastikan ke­amanan dan kualitas metode pengo­batan tersebut.

Tentunya metode pengobatan terse­but harus dibuktikan secara ilmiah me­lalui tahapan-tahapan uji klinis.

Yudhi menjelaskan, sebelum se­buah inovasi medis bisa dilakukan pa­da manusia harus terlebih dahulu mela­kukan penelitian. Ada empat fase uji klinis yang harus dilalui untuk me­ngetahui apakah manfaat pengobatan sudah terukur dengan baik sehingga aman digunakan pada manusia.

Penyelesaian ilmiah

Kendati metode cuci otak dengan DSA ala dr Terawan masih diperde­bat­kan secara ilmiah, namun terapi stroke yang dilakukannya sejak lama ter­sebut banyak menuai testimoni positif.

Bahkan testimoni tersebut muncul dari para tokoh nasional seperti Abu­rizal Bakrie, Dahlan Iskan, Prabowo Subianto, dan Mahfud MD.

Semua tokoh tersebut pernah men­jalani terapi cuci otak dan mengaku sangat terbantu dengan metode pe­ngobatan itu yang pada akhirnya mem­buat tubuh bugar hingga saat ini. Tak heran banyak dari para tokoh tersebut yang kemudian membela dr Terawan dari sanksi yang diberikan oleh MKE­K IDI.

Namun kembali pada persoalan me­dis, manfaat sebuah pengobatan bu­kanlah berdasar pada testimoni pasien melainkan dibuktikan secara ilmiah.

Jika hanya menggunakan testimoni pasien tanpa penjelasan ilmiah, sebuah pengobatan medis akan menjadi tidak ada beda dengan pengobatan alternatif yang tak didasari penelitian ilmiah.

Anggota Komisi IX DPR RI yang juga berlatar belakang dokter, Adang Sudrajat, tidak menutup mata dengan inovasi dari dr Terawan yang telah me­nuai banyak testimoni dan dirasakan bermanfaat bagi pasiennya.

Namun Adang tetap memandang dari kacamata dunia kedokteran bahwa sebuah tindakan medis perlu dilandasi dengan penelitian dan bukti ilmiah yang kuat.

Dia mendorong agar metode cuci otak yang selama ini dilakukan oleh dr Terawan dilakukan pengembangan dan penelitian tambahan untuk mengu­atkan dasar ilmiah. Bahkan kalau perlu pemerintah menanggung biaya pene­litian agar pengobatan yang telah me­nyembuhkan banyak orang itu bisa secara resmi dan legal dipraktikan.

Polemik mengenai sanksi pemeca­tan dr Terawan dari MKEK IDI ini se­be­narnya bermula dari persoalan il­mi­ah yang diperdebatkan, maka pe­nye­lesaian paling elegan untuk perma­sala­han ini ialah secara ilmiah pula. (Aditya Ramadhan/Ant)

()

Baca Juga

Rekomendasi