Oleh: Hadhe PK.
Adakah jaminan pelaku tindak kejahatan yang keluar dari penjara karena telah selesai menjalani hukuman benar-benar melakukan pertobatan? Benarkah hukuman kurungan badan akan menimbulkan efek jera bagi pelaku tindak pidana untuk tidak mengulangi perbuatan?
Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin akan mengganggu harapan institusi lembaga pemasyarakatan yang menginginkan penerimaan masyarakat secara ikhlas terhadap mantan narapidana yang keluar penjara. Masyarakat diminta membantu mantan narapidana dalam proses asimilasi di tengah kehidupan sosial dengan cara menerima kehadiran mereka secara wajar. Narapidana yang selesai menjalani hukuman dianggap telah bertobat dan tidak mengulangi perbuatan.
Anggapan itu tidak sepenuhnya benar. Fakta yang ditemukan, masih ada mantan narapidana setelah keluar dari penjara, aksi kejahatannya malah makin menjadi-jadi. Dalam beberapa kasus, aparat kepolisian kerap menangkap penjahat yang sudah berulang kali masuk penjara. Bahkan ada yang baru dalam hitungan hari keluar penjara, tertangkap lagi dalam kasus yang sama. Ini kerap ditemukan dalam kasus peredaran narkoba, pencurian dengan kekerasan dan beberapa aksi kriminal lainnya.
Meski berharap para penjahat itu bertobat, sebagai masyarakat (dengan ditemukannya fakta penjahat kambuhan tersebut) tidak mudah percaya begitu saja pada “pertobatan” yang dijalani dalam penjara. Bagi sebagian kalangan pelaku tindak kejahatan, pernah masuk penjara malahan menjadi lebel atau semacam sertifikasi bagi ‘profesi’ nya. Para pelaku kejahatan yang pernah masuk penjara merasa lebih senior dari pelaku lainnya yang belum pernah masuk penjara.
Kebanggaan ‘pernah masuk penjara’ di dunia kejahatan mengukuhkan anggapan penjara menjadi semacam institusi yang mengeluarkan sertifikat bagi para pelaku tindak pidana. Penjara seolah-olah menjadi semacam sekolah kejahatan saja.
Anggapan itu diperkuat ketika dalam peristiwa berbeda, seorang tersangka mendapatkan pelajaran modus kejahatan baru dari pengalaman sesama teman satu sel. Dalam sebuah wawancara, seorang pembuat pil ekstasi mengaku pada polisi, pengetahuannya diperoleh dari sesama pelaku lainnya dari dalam penjara. Pengetahuan itu dipraktekkan setelah tersangka keluar dari penjara hingga masuk penjara lagi.
Tak Sekadar Sekolah
Stigma penjara sebagai sekolah kejahatan bukan hal baru. Sudah lama hal ini terjadi, sayangnya belum ada rumusan atau kajian serius bagaimana cara memutus rantai kejahatan agar para penjahat di dalam penjara tidak saling mengajari dalam aksi kejahatan mereka.
Lebih parahnya lagi, penjara bukan sekadar ‘sekolah’ bagi para penjahat, tapi menjadi ‘markas’ penjahat mengoperasikan kejahatan. Dalam beberapa kasus yang ditangani pihak kepolisian terungkap, bandar narkoba mengoperasikan bisnis haramnya dari dalam penjara.
Demikian pula dengan sindikat kejahatan minta pulsa dengan beragam modus penipuan. Pelakunya memperdaya korbannya dari balik jeruji penjara. Bagaimana hal ini terjadi merupakan pertanyaan sendiri dan menjadi tugas penegak hukum mengusutnya. Beberapa kali tertangkap tangan keterlibatan orang dalam, semoga pengawasan aktivitas kejahatan dalam penjara diperketat.
Terbaru, aksi kejahatan terorisme yang menyerang petugas di ruang tahanan Mako Brimob, Jalan Kelapa Gading 2 , Depok, Jawa Barat, baru-baru ini. Lima anggota Brimob tewas dalam insiden itu setelah terlibat kericuhan dengan puluhan pelaku tindak pidana terorisme yang ditahan di Mako Brimob.
Melakukan pemberontakan dan perlawanan dengan aparat keamanan pastilah memiliki nyali lebih. Apalagi perlawanan di dalam penjara dengan ruang terbatas dan senjata rampasan dari petugas.
Tulisan ini tidak bermaksud mengadili atau mengevaluasi titik lemah pengamanan penjara Mako Brimob dengan pengawasan ketat dari aparat yang terlatih. Biarlah peristiwa Mako Brimob menjadi tugas tim penyelidik untuk mengungkapnya dan hasilnya menjadikan pelajaran berharga agar kasus serupa tidak perlu terjadi di masa yang akan datang.
Tulisan ini pun sekadar ingin mengingatkan, dari beberapa pengakuan mantan narapidana, dari sejumlah peristiwa dan catatan kepolisian terhadap pelaku kejahatan ternyata lingkungan dalam penjara memiliki andil dalam menambah pengetahuan dan pengalaman pelaku tindak kejahatan.
Demikian pula ihwal keberanian lebih penghuni penjara untuk membangun solidaritas melakukan pemberontakan, menyerang petugas dan melakukan pengrusakan fasilitas penjara. Pastilah keberanian itu tidak tiba-tiba, melainkan ada rangkaian proses yang diawali interaksi sesama penghuni rumah tahanan atau penjara. Mereka melakukan perkenalan kemudian bertukar pengalaman dan membangun semangat kebersamaan satu dengan yang lainnya. Sedikit ada pemicu, mereka kemudian secara bersama-sama melakukan kerjasama dalam aksi penyerangan, bahkan teror dalam penjara.
Momentum Ramadan
Bagaimana menjadikan penjara atau lembaga pemasyarakatan kita benar-benar menjadi institusi pertobatan bagi penjahat dan bukan malah menjadi sekolah kejahatan bagi penghuninya? Tentulah hal ini bukan persoalan sederhana, harus melewati kajian yang melibatkan pakar di bidangnya. Apakah sistem pembinaan yang ada selama ini perlu ditinjau kembali, hal itu menjadi tugas pemangku kepentingan.
Tulisan ini hanya sekadar menitipkan harapan, agar stigma penjara sebagai sekolah kejahatan dan markas kejahatan tidak pernah terjadi lagi di negeri ini.
Sebentar lagi masuk bulan Ramadan. Bagi umat Muslim, bulan ini mengandung makna bulan penuh ampunan. Bulan Ramadan merupakan bulan menempa hati dan perbuatan agar menjadi manusia lebih baik lagi di masa depan.
Momentum Ramadan hendaknya bisa dimanfaatkan warga binaan di lembaga pemasyarakatan untuk benar-benar menjadi bengkel hati dan melakukan pertobatan. Tentu saja, Ramadan juga bisa menjadi inspirasi bagi warga binaan non Muslim agar ikut berlomba kebaikan, menyadari kesalahan dan bertobat.
Peran unsur pembina tentu tidak bisa dilepaskan dalam rangka menjadikan narapidana benar-benar telah siap ketika kembali ke masyarakat. Hukuman badan, bahkan janji hadiah remisi tidak cukup untuk mengembalikan warga binaan kepada jalan yang benar dan tidak mengulangi perbuatannya. Karena itulah selain konsep pembinaan yang telah diatur resmi, dengan menyentuh hati dan iman menjadi alternatif memulihkan hati mereka yang hitam menjadi kembali bersinar membimbing perilaku kehidupan yang lebih baik lagi. Dan bulan Ramadan merupakan momentum bagi rumah tahanan untuk mengubah stigma ‘penjara sekolah kejahatan’ menjadi ‘penjara merupakan rumah pertobatan’ dan sekolah kebaikan. Semoga! ***
Penulis mahasiswa, peminat masalah sosial kemasyarakatan.