Oleh: Rosni Lim.
Menjadi seorang ibu tidaklah mudah. Karena selain harus berperan layaknya seorang pengasuh/perawat, juga harus bisa sebagai pendidik/guru, pembantu, supir, koki, bodyguard, sampai ke teman curhat/konsultan dan teman bermain bagi anak.
Tapi, walaupun seorang ibu telah berusaha sekuat tenaga/seikhlas hati menjadi ibu yang baik bagi anak, tetap saja ada celah untuk disalahkan.
Kita ambil contoh dua sosok ibu yang sangat kontras. Ibu pertama, ibu rumah tangga biasa. Dari anaknya lahir, dia sudah mengasuh/merawatnya, mengajarinya membaca/menulis dan sopan-santun atau norma-norma tentang apa yang boleh dan tidak, menyucikan bajunya, mengantar jemput ke sekolah, memasak untuknya, menemaninya ke mana-mana di luar sekolah, sampai meluangkan waktu di malam hari mendengar cerita anak plus membantunya memecahkan masalah. Jadi, seharian waktunya habis untuk mengurusi anaknya, sama sekali tak punya waktu untuk ber-chatting-ria di media sosial, apalagi sampai keluar jalan-jalan bersama teman-temannya.
Ibu kedua, seorang ibu merangkap wanita karier, begitu bangun tidur tergesa-gesa mandi dan bersolek sambil melihat pesan yang masuk di hp-nya atau foto-foto yang di-upload teman-temannya di Instagram. Anaknya yang baru bangun tidur, memanggil-manggil ibunya, berniat cerita soal teman sebangkunya yang suka mengganggunya, juga hendak meminta bantuan ibunya mengerjakan PR Matematikanya yang belum selesai.
Si ibu menjawab ligat, “Sini-sini, Ibu cium dulu, cup-cup,” pipi kanan-kiri masing-masing dua kali dan melanjutkan, “PR-mu nanti tanyakan sama guru les saja ya, Sayang? Ibu tidak pintar Matematika. Ibu harus buru-buru nih ke kantor.”
Si anak pun menatap ibunya yang langsung beralih menatap wajahnya sendiri di cermin dan layar hp android-nya, berpindah-pindah tanpa sekali pun lagi menatap wajah si kecil yang ekspresinya telah berubah.
Keluar dari kamar ibunya dengan rasa kecewa, disambut pembantu rumah tangga yang membawanya berjalan menuju kamar mandi, memandikannya, memakaikan seragam sekolahnya, membawanya ke meja makan untuk sarapan, dan menyiapkan tas sekolahnya, sampai ke depan pintu diantar supir ke sekolah ditemani lambaian tangan si pembantu.
Di sisi lain kita intip lagi ada sosok seorang ibu yang bangun pagi-pagi sekali sebelum ayam berkokok, memasak, membereskan segala pekerjaan rumah tangga, membuatkan sarapan dan segelas susu untuk si kecil, membangunkannya, menyiapkan seragam/tas sekolahnya, setelah itu memberinya uang jajan dan ongkos angkot/ongkos becak untuk ke sekolah sendiri, karena ibu itu tidak sempat mengantarkannya, sebab dia harus bergegas ke pasar berjualan demi mencari nafkah menyambung hidup/biaya pendidikan si anak sepeninggal suaminya.
Teman, jika kamu memiliki ibu, tipe ibu seperti apakah yang kamu kehendaki? Ibu yang pertama, yang tampaknya begitu sempurna, ternyata masih kurang di mata anaknya. Anaknya sering bilang, “Mama, jangan antar jemput aku ke sekolah lagi, aku malu sama teman-teman. Belikan aku sepeda motor saja biar aku bisa pakai ke sekolah.”
Ibu itu cuma diam, tidak tahu harus menjawab apa di samping anaknya yang terus meminta dibarengi rengekan. Permintaan itu terasa berat baginya. Bagaimana mungkin ibu itu membelikannya sepeda motor lalu dengan hati tenang membiarkan anaknya membawanya ke sekolah saat si anak belum dewasa alias belum memiliki KTP/SIM?
Si anak yang masih abg/remaja umur 14-15 tahun, meminta ibunya memperbolehkannya keluar bareng teman-teman sekelasnya jalan-jalan ke mall. Lagi-lagi, ibunya tak mengizinkan. Dalam pandangan si anak, ibunya terlalu mengkhawatirkan/melindunginya dan tak memberinya kebebasan bergaul/menguji keberanian.
Saat di media sosial marak isu pedofil dan penculikan anak, ibunya menjadi over protective terhadap segala kegiatan anak. Anaknya harus pulang sekolah tepat waktu, tak boleh bermain ke rumah teman, dan semua akun pribadi anak di media sosial dipantau oleh ibunya sampai-sampai si ibu minta password-nya.
Tindakan ibu yang begitu perhatian pada anak ini disalahkan teman-temannya, dibilang mencampuri privacy anak dan membuat anak tak bisa berkembang/mengambil keputusan sendiri.
Ternyata, memang tidak mudah menjadi ibu (yang baik). Terlalu perhatian dan mencampuri urusan anak, disalahkan. Terlalu tak peduli atau memberi kebebasan kepada anak keluyuran ke mana-mana juga bukan hal yang benar. Seyogianya, menjadi ibu itu memang harus perhatian tanpa mengurangi kebebasan anak atau membuat anak merasa tak nyaman/terkekang karena dicecoki dengan banyak peraturan ketat. Namun, jangan lupa juga untuk memantau/berhati-hati terhadap setiap kebebasan yang diberikan kepada anak dengan menimbang pada umur atau tingkat kedewasaannya.
Dan, bila memang si ibu itu adalah wanita karier yang super sibuk, jangan pernah lewatkan/ketinggalan masa-masa pubertas anak yang memerlukan perhatin lebih. Alasan kemandirian atau membiarkan anak belajar mandiri/melakukan segala sesuatunya sendiri supaya anak cepat pintar atau berkembang, kadang menjadi “kedok” bagi sebagian ibu yang sebenarnya malas memperhatikan atau mengurus anak. Dengan alasan membiarkan anak mengurus diri sendiri/mandiri, ibu pun bebas keluyuran ke mana saja atau ber-chatting-ria dengan teman-temannya di media sosial.
* Medan, Maret 2017