Oleh: Misran Lubis.
Mengutip apa yang dikatakan Gunilla Olsson, Kepala Perwakilan UNICEF Indonesia, bahwa Semua perusahaan, baik bisnis keluarga skala kecil maupun perusahaan multina sional skala besar berkontribusi terhadap kesejahteraan anak melalui penciptaanl apangan kerja bagi keluarga mereka atau juga melalui inisiatif-inisiatif yang bersifat filantropi.Namun di sisi lain, praktik bisnis juga dapat berdampak kurang positif terhadap anak-anak.
Pada moment hari internasional menentang pekerja anak yang diperingati setiap tanggal 12 Juni, serta dalam agenda menuju Indonesia bebas pekerja anak tahun 2022 dan agenda global Masa Depan Tanpa Pekerja Anak (Future without Child Labour), penting untuk melibatkan peran dalam posisi yang strategis aktor pengusaha atau dunia usaha. Ada 4 pilar penting dalam menciptakan dunia tanpa pekerja anak yaitu Keluarga, masyarakat, dunia usaha dan pemerintah. Dalam konteks sektor bisnis, perannya telah diatur dalam sebuah pedoman global yakni Children Right's and Business Principle (CRBP) yang di luncurkan pada tahun 2013 lalu. Sektor bisnis tidak hanya mengambil peran dalam kebijakan perusahaan tentang "larangan mempekerjakan anak" namun lebih jauh dari itu sektor bisnis juga penting untuk berkonstribusi dalam mendukung pemenuhan hak-hak anak. salah satunya melalui Skema Children Rights and Coorporate Social Rensponsibilty (CCSR). Tanggungjawab Sosial Perusahaan atau kita kenal dengan CSR didesain dalam konsep program strategis bagi anak menuju bisnis yang berkelanjutan. CSR tidak hanya dilakukan dalam skema-skema charity atau event-event sesaat yang tidak memiliki dampak berklanjutan bagi pembangunan masa depan anak-anak.
Hal lain yang lebih penting dalam penggunakan dana CSR untuk program-program berkelanjutan juga harus mempertimbangkan aspek keadilan bagi masyarakat khusus anak di wilayah operasional perusahaan. Seperti yang disampaikan oleh Wakil Gubernur Sumatera Utara Hj. Nurazizah Marpaung dalam pidato pembukaan Workshop dan Regional Stakeholders Metting CRBP di Medan tanggal 11 Mei 2018 lalu, "terkadang saya kecewa dengan perusahaan, operasional bisnisnya di Sumatera Utara tetapi dana CSR nya di provinsi lain, masyarakat sekitar perusahaan hanya sebagai penonton dan harus menanggung dampak negatif dari perusahaan, ini sangat tidak adil".
Statement tersebut tentu sangat beralasan jika kita melihat beberapa fakta di Sumatera Utara, misalnya saja ada ratusan perusahaan besar di daerah belawan, baik perusahaan swasta maupun BUMN, tapi kenyataannya anak-anak dikawasan pesisir masih jauh dari tingkat kesejahteraan. Tingkat pendidikan yang rendah, kondisi kesehatan buruk karena lingkungan tempat tinggal yang tidak sehat, kriminalitas dikalangan anak-anak juga tinggi dan masing banyak pernikahan di usia anak. Begitu juga situasi dikabupaten lainnya di Sumatera Utara, meski Perusahaan Perkebunan khususnya perkebunan kelapa sawit, luasnya mencapai 1,2 juta Hektar dan tentunya memberikan keuntungan dalam jumlah besar. Pertanyaannya apakah anak-anak di desa perkebunan dan anak-anak di desa-desa lingkar perkebunan telah menikmati masa anak-anaknya dengan bahagia dan sejahtera dengan hasil perkebunan yang melimpah?, sampai saat ini belum, karena ratusan anak jalanan yang ada di Medan sebagian besarnya adalah dari keluarga urban, mereka terpaksa hijrah dari desa ke kota karena sulitnya mencari penghidupan di desa. Banyak ibu yang meninggalkan anaknya di desa dan mereka pergi menjadi tenaga kerja wanita (TKW) ke luar negeri karena didesa tidak ada masa depan yang lebih baik untuk keluarga. Masih banyak contoh-contoh lain, dimana anak-anak hidup dalam kemiskinan dan selalu dibayang-bayangi rasa kekuatiran yang tinggi tidak dapat melanjutkan pendidikan, tidak mampu meraih cita-cita yang di impikan, karena melihat kondisi keluarga dalam situasi sulit.
CSR untuk Desa/Kelurahan Layak Anak
Pembangunan kesejahteraan anak melalui pemenuhan hak dan perlindungan anak melalui konsep pembangunan yang inklusif dan terintegrasi telah dicanangkan oleh pemerintah Indonesian sejak tahun 2010 melalui konsep Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) menuju Indonesia Layak Anak (IDOLA). Selanjutnya pembangunan KLA diarahkan pada lingkung yang lebih kecil dan berbasis di masyarakat yaitu pembangunan Desa/Kelurahan Layak Anak, karena lingkungan terdekat anak-anak adalah ditingkat komunitas.
Lalu apa hubungannya CSR perusahaan dengan pembangunan Desa/Kelurahan Layak Anak?, secara yuridis kita melihat defenisi dari pembangunan desa/kelurahan layak anak "Desa/Kelurahan Layak Anak adalah: pembangunan desa/kelurahan yang menyatukan komitmen dan sumberdaya pemerintah desa/kelurahan yang melibatkan masyarakat dan dunia usaha yang berada di desa/kelurahan dalam rangka mempromosikan, melindungi, memenuhi dan menghormati hak-hak anak, yang direncanakan secara sadar dan berkelanjutan" (diktum 6, pasal 1, Permen KPPPA No.13/2010). Karena pemerintah tidak mungkin mampu menyelesaikan pembangunan di desa secara sendiri, maka satu keharusan untuk melibatkan peran penting masyarakat dan dunia usaha.
Disisi lain, dunia usaha memiliki kewajiban membangun desa setempat, hal ini terkait dengan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) atau Corporate Social Responsibility(CSR). TJSL tidak hanya mengenai kegiatan yang dilakukan perusahaan dimana perusahaan ikut serta dalam pembangunan ekonomi masyarakat setempat, tetapi juga terkait kewajiban perusahaan dalam melestarikan lingkungan. Mengenai TJSL diatur dalam banyak regulasi nasional seperti dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas ("UUPT") serta Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan Perseroan Terbatas ("PP 47/2012"). Selain itu pengaturan TJSL juga tercantum dalam Pasal 15 huruf b UU 25/2007 diatur bahwa setiap penanam modal wajib melaksanakan TJSL. Yang dimaksud dengan TJSL menurut Penjelasan Pasal 15 huruf b UU 25/2007 adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat.
Tentang bagaimana bentuk dan jenis pemanfaatan CSR atau TJSL yang benar, perusahaan dapat melakukan inovasi dan belajar dari sejumlah perusahaan yang terlah berhasil memanfaatkan dana CSR nya untuk kesejahteraan masyarakat. Misalnya saja model yang diterapkan perusahaan JICT (Jakarta International Container Terminal), merancang sebuah konsep CSR yang sistematis, terstruktur dan berkelanjutan dibidang pendidikan yang disebut dnegan "GREEN DOCK SCHOOL" mengembangkan sekolah yang nyaman, sehat dan berkualitas. Dan masih banyak praktik-praktik baik lainnya yang inovatif dalam mengembangkan program CSR yang berkelanjutan, seperti perusahaan-perusahaan perkebunan.
Penutup
Saat ini masih ada sekitar 44 juta lebih anak-anak Indonesia yang hidup dalam kemiskinan, sekitar empat juta anak yang terlibat sebagai pekerja anak, termasuk dua juta yang bekerja dalam kondisi berbahaya. . Dengan gambaran situasi tersebut maka sudah seharusnya para aktor pemangku kewajiban "negara" dan pilar pembangunan lainnya "sektor bisnis" melakukan langkah-langkah segera dan strategis untuk memberikan kehidupan yang layak bagi anak dalam masa tumbuh kembangnya hingga ia dewasa. Kehadiran sektor bisnis disuatu wilayah yang tidak memberikan dampak kesejahteraan bagi masyarakat sekitar termasuk anak-anak, maka hal itu telah mencederai rasa keadilan sosial dan ekonomi. Perusahaan yang demikian tidak layak ada diera modern ini, dimana perusahaan-perusahaan global telah mentransformasi konsep "sustanability bisnis" dengan menempatkan masyarakat lokal adalah salah satu aktor penting dari keberlanjutan bisnis itu sendiri.
Diakhir tulisan ini, penulis ingin menawarkan sebuah pendekatan komprehensif dalam membangun relasi bisnis yang adil bagi kehidupan anak-anak dengan penerapan prinsip-prinsip bisnis dan hak anak.***
Penulis adalah Senior Program Officer-Yayasan PKPA. Ketua Harian Forum Komunikasi PUSPA Sumatera Utara.