Mengurai Makna ‘Minal ‘Aidin wal Faizin’

• Oleh: Muhammad Idris Nasution

Di momen Idulfitri, umat Islam Indonesia mempopulerkan sebuah doa yang berbunyi ‘minal ‘aidin wal faizin’. Belakangan doa ini mendapatkan komentar cukup beragam dari berbagai kalangan karena lafaz doa ini disebut tidak bersumber dari tradisi Nabi dan Sahabat. Beberapa penulis cenderung mengungkap bahwa ungkapan tersebut berasal dari petikan syair gubahan Shafi­yuddin Al-Huli pada masa Andalusia, yang menceritakan dendangan kaum wanita pada hari raya, tercantum dalam Dawawin Asy-Syi’r Al-‘Arabi ‘ala Marr Al-‘Ushur.

Meski bukan berasal dari tradisi Nabi dan sahabat sekalipun, doa ini memuat harapan baik yang tidak masalah, justru baik untuk dipan­jatkan dalam berbagai kesempatan. Lalu mengapa doa ini populer di­ung­kapkan di momen Idulfitri, ka­rena harapan yang terkandung di dalam doa ini merupakan hara­pan seorang muslim kepada Allah se­telah sebulan penuh menjalani ber­bagai ritual dan aktivitas, siang dan malam di bulan Ramadhan. “Se­moga Allah menjadikan kita ter­masuk di antara orang-orang yang berhari raya atau kembali fitri (al-‘aidin) dan orang-orang yang berun­tung atau menang (al-faizin)”.

Harapan pertama di dalam doa ini adalah agar Allah menjadikan kita sebagai salah seorang di antara orang-orang yang ‘aid. Kata ‘aid merupakan bentuk isim fail dari kata aada-ya’udu, yang manajuga merupakan asal kata ‘id dalam frasa Idulfitri, sebagaimana dikemuka­kan oleh An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ juz 5 h. 5 dan Ibnu Asyur dalam kitab Tafsir At-Tahrir wa At-Tanwir juz 7 h. 108. Sehing­ga sering sekali para mubal­lig, baik lewat tulisan maupun lisan me­nyam­paikan arti idulfitri adalah kembali fitri, termasuk M. Quraish Shihab sendiri dalam buku fenome­nalnya, Membumikan Al-Quran, meski sebagian kalangan menilai pengartian tersebut kurang tepat, karena dalam bahasa Arab kata ‘id tidak pernah diartikan ‘kembali’ melainkan ‘hari raya’. Kembali dalam bahasa Arab adalah ‘aud bukan ‘id meski berasal dari fi’il yang sama.

Dari paparan tersebut, kata ‘aid dapat merupakan bentuk isim fail dari kata ‘id yang berarti orang yang berhari raya, dan dapat meru­pakan bentuk isim fail dari kata ‘aada-ya’udu-‘aud, yang berarti orang yang kembali. Kedua arti ini sama-sama memuat harapan yang baik.

Tidak semua orang yang menja­lani Ramadhan sampai di penghu­jung sebagai orang-orang yang pan­tas merayakannya. Orang-orang tertentu pada hari ini disindir Nabi lebih baik bersedih karena disinyalir sebagai orang yang me­rugi karena tidak mendapatkan man­faat apa-apa dari fasilitas Ra­ma­dan; ketaatannya tidak me­ningkat, maksiatnya tidak berku­rang, dan dosa-dosanya pun belum terampunkan. Hari raya bukan untuk orang berpakaian baru tetapi untuk orang yang semakin taat. Orang-orang yang pantas meraya­kannya, kata Sayyidina Ali, adalah orang yang diterima Allah, puasa dan qiyamnya.

Dari sini, doa di atas dapat diarti­kan sebagai harapan agar kita dija­dikan sebagai salah seorang yang pantas merayakan Idulfitri, yakni diterima puasa dan qiyam­nya, ber­tambah taatnya, berkurang mak­siat­nya dan diampunkan dosa-dosanya.Sementara jika diartikan sebagai orang yang kembali, hara­pan kita adalah kembali kepada fitrah kemanusiaan kita. Manusia pada dasarnya adalah suci, tidak berdosa. Maka kita berharap agar Allah menyucikan kita dari noda dan dosa kita setelah menjalani Ramadhan. Manusia pada dasarnya adalah orang baik, tidak ada manu­sia yang terlahir sebagai orang jahat. Maka kita meminta agar dijadikan sebagai orang yang baik.

Harapan kedua dari doa minal ‘aidin wal faizin adalah agar dijadi­kan sebagai salah seorang di antara orang-orang yang menang dan beruntung. Menilik informasi Al-Quran, orang yang menang adalah mereka yang menjadi penghuni surga. Ashhab al-jannah hum al-faizun (QS Al-Hasyr: 20) Dengan demikian doa ini berarti permoho­nan kepada Allah agar dijadikan sebagai penghuni surga.

Menarik untuk menelaah pemi­li­han kata al-faizindalam doa ini dan kaitannya dengan ibadah puasa yang dijalankan sebelum Idulfitri. Al-Quran, paling tidak menyebut kata al-faizun, bentuk marfu’ kata al-faizin, sebanyak empat kali; QS At-Taubah: 20, QS An-Nur: 52, QS Al-Hasyar: 20 dan QS Al-Mu’minun: 111. Dalam versi QS At-Taubah: 20, disebutkan paling tidak ada tiga ciri orang-orang yang menang.

“Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.”

Ciri pertama versi ayat ini adalah orang-orang yang beriman. Orang yang dikategorikan menang di Idulfitri adalah orang-orang yang tumbuh keimanan di dalam dirinya. Puasa yang dijalankan selama sebulan penuh di bulan Ramadhan adalah tarbiyah bagi seorang muslim untuk menumbuhkan dan meningkatkan keimanan, karena itu puasa secara khusus diserukan kepada orang-orang yang beriman. Ketika berpuasa, kita dituntut secara sadar melakukannya sema­ta-mata karena Allah; kita makan dan minum di waktu di mana Allah mempersilakannya saja. Kita bisa saja membatalkan puasa kita tanpa sepengetahuan orang lain, tetapi puasa mengajarkan kita bahwa bagaimana pun kita bersembunyi, Allah tetap akan melihat dan mengawasinya.

Ciri kedua adalah orang-orang yang berhijrah. Nabi Saw punya penjelasan sendiri siapa yang disebut orang yang berhijrah. Nabi bersabda: wal muhajir man hajara ma naha Allah ‘anh, hakikat orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan larangan-larangan Allah. Puasa, sesungguhnya adalah ibadah tarkiyah, ibadah mening­galkan. Dalam berpuasa kita dibina agar memiliki ketahanan diri untuk meninggalkan. Ketika kita lapar dan sangat ingin makan, puasa melarang sampai berbuka. Ketika kita haus dan sangat ingin minum, puasa menahan sampai berbuka. Ketika lidah gatal untuk membalas caci-maki, menebar fitnah, menga­du-domba, atau menggosip orang lain, puasa mengajarkan kita untuk menahan diri karena akan mem­batalkan pahala puasa. Semangat inilah yang hendak ditularkan puasa ke dalam pribadi kita sehingga dapat memenuhi salah satu kriteria orang-orang yang menang, yakni orang yang berhijrah.

Sedangkan ciri ketiga adalah orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa mere­ka. Puasa mengajarkan kita untuk mengorbankan kepentingan priba­di dan syahwat kita masing-masing demi mendahulukan perin­tah Allah. Semangat jihad adalah sema­ngat berkorban, baik mengor­ban­kan harta maupun jiwa kepada Allah. Dalam surah At-Taubah Allah menegaskan semangat ini sebagai alat barter Allah bagi siapa­pun yang ingin diberikan surga.

Demikian. Semoga harapan dan doa kita dalam kalimat minal aidin wal faizin yang kita lantunkan di hari raya ini diterima oleh Allah SWT. Wallahu a’lam.

()

Baca Juga

Rekomendasi