Oleh: Adlin Budhiawan.
Islam sebagai agama Ilahi, telah memberi pedoman bagi manusia agar di setiap aktifitas kehidupannya selalu berada pada kebaikan. salah satu kebaikan yang ditawarkan adalah menjalankan kehidupan dengan berkasih sayang yang terajut dalam satu ikatan bahtera rumah tangga atau yang biasa disebut keluarga. membentuk keluarga merupakan sebuah refleksi diri bagaimana seorang manusia menempatkan dirinya pada porsi dan posisi yang tepat. Dapat dikatakan bahwa keluarga merupakan potret kehidupan masyarakat karena memang keluarga merupakan bagian terkecil dari masyarakat.
Sebagai indikator kebaikan, membentuk keluarga bukan berarti melepaskan diri dari tanggung jawab kehidupan sosial. Berkomunikasi, berinteraksi dan bersosialisasi yang baik merupakan sebuah wadah utama bagi anggota keluarga untuk terus menebar kebaikan diluar sana. Bahkan, proses pendidikan dini juga diawali dari keluarga. Ditambah lagi dalam berkeluarga pun manusia dituntut untuk selalu memenuhi segala kebutuhan yang mengarah kepada kebaikan. Banyaknya aturan-aturan yang belakangan muncul pasca berkeluarga juga harus selalu ditaati oleh setiap anggotanya.
Seiring perkembangan zaman, potret kehidupan keluarga masa kini mulai bergeser ke arah hidup yang kurang harmoni. Berkeluarga hanya menjadi rutinitas kehidupan tanpa memperhatikan hak dan kewajibannya yang menjadi bias kepentingan. Keluarga mulai terjerumus ke arah yang semestinya kebutuhan keluarga merupakan kepentingan bersama, tetapi bergeser menjadi kepentingan individual. Permulaannya bisa disebabkan karena masing-masing anggota keluarga terlalu sibuk memikirkan dunia kerjanya sendiri, merasa tidak butuh dengan anggota keluarga lainnya saat dirumah, mampu mengerjakan segala sesuatu sendirian, hingga merasa lelah dengan rutinitas keseharian yang akhirnya memunculkan perasaan muak terhadap pemenuhan kebutuhan-kebutuhan urgen bagi keluarganya. Kalau dibiarkan, hal-hal tersebut akan memicu permasalahan sosial yang berakar dari keluarga dan menular pada kehidupan bermasyarakat. Sistematika aturan hak dan kewajiban yang diabaikan ini tentu menjadi penyebab rusaknya harmonisasi keluarga yang juga akan merusak sistem tatanan harmonisasi bermasyarakat.
Islam telah menegaskan bahwa menikah dan membentuk keluarga merupakan Sunnatullah (ketetapan Allah). Hal ini disampaikan Allah dalam firmannya: “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah” (Q.S adz-Dzariyaat: 49). Hal tersebut menunjukkan bahwa seseorang menikah bukan hanya ingin melepaskan hasrat nafsunya saja, tetapi ia juga memenuhi ajaran-ajaran syariat Islam. lebih jauh, menikah merupakan tugas peradaban dimana ia dituntut melahirkan generasi kemanusiaan yang semakin mulia dimasa mendatang. Allah berfirman: “Dan orang-oranng yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya. (Q.S. ath-Thur: 21). Jelaslah bahwa Allah tidak akan mengurangi pahala sedikitpun dari orang yang beriman, mulai dari dirinya sendiri, anak, sampai cucunya. Artinya, keluarga sangat di harapkan untuk membangun generasi yang beriman.
Pemenuhan hak dan kewajiban dalam keluarga menurut Islam sungguh sangat banyak apabila dirincikan, baik dari hak dan kewajiban seorang ayah, ibu, suami, isteri, anak, kakak, adik dan lainnya. Setiap anggota keluarga memiliki hak dan kewajiban yang berbeda-beda yang setiap hari harus dipenuhi oleh masing-masing anggota keluarganya satu sama lain. Bersamaan dengan hal tersebut, Islam memberi panduan yang kompleks bagi insan yang ingin mengarungi bahtera rumah tangga dan membentuk ring keluarga yang harmoni. Namun, secara pasti hak dan kewajiban utama yang dituntut kepada keluarga dalam Islam adalah itqun minan naar (menjauhkan diri dan keluarga dari api neraka).
Penegasan utama mengenai hal ini telah ditegaskan Allah dalam firmanNya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu....(Q.S.at-Tahrim: 6). Konteks pada ayat menjelaskan betapa pentingnya keluarga saling menjaga satu sama lain dari luputnya keimanan kepada Allah. Bahkan di dalam ayat dikatakan bahwa keadaan neraka merupakan keadaan dimana manusia adalah salah satu bahan baku untuk pembakaran apinya. Maka sudah sepantasnya bagi setiap anggota keluarga untuk saling menjaga satu sama lain agar menjauhi diri dari siksa neraka. Meskipun keimanan dan ketaatan dengan beribadah kepada Allah merupakan hak prerogatif setiap insan yang tidak dapat dicampuri urusannya oleh siapapun, namun siapa sangka keluarga menjadi pengecualian dan mereka punya hak dan kewajiban dalam hal ingat-mengingatkan mengenai urusan ibadah yang bersifat pribadi ini.
Dahulu, nabi Muhammad saw. diberi risalah oleh Allah untuk berdakwah menyampaikan kebenaran ajaran agama Islam. Setelah mendapat wahyu mengenai ajaran Islam, hal pertama yang beliau lakukan adalah dakwah secara sembunyi-sembunyi yang disampaikan kepada seluruh keluarganya. Dalam hal ini, beliau tahu bahwa inti dari ajaran agama Islam merupakan risalah kenabian terdahulu yang telah ada sejak nabi Adam dan Islam kemudian adalah ajaran yang paling benar dan paling baik untuk dunia dan akhirat, namun beliau juga tahu bahwa hak dan kewajiban atas dirinya terhadap dakwah kebenaran dan kebaikan ajaran Islam harus didahulukan kepada keluarga, bukan kepada masyarakat luas. Meskipun mendapat tantangan dan penolakan yang sangat keras dari keluarganya sendiri, namun beliau tidak menyerah atas perintah dakwah atas risalah yang telah diberikan Allah kepadanya, karena ia yakin ajaran Islam membawa kepada keberkahan dimana yang paling utama agar keluarga terhindar dari siksa Allah di neraka kelak.
Dalam menafsirkan Q.S at-Tahrim ayat 6, Qatadah mengemukakan pendapatnya: ....Yakni, hendaklah engkau menyuruh mereka berbuat taat kepada Allah dan mencegah mereka durhaka kepada-Nya. Dan hendaklah engkau menjalankan perintah Allah kepada mereka dan perintahkan mereka untuk menjalankannya, serta membantu mereka dalam menjalankannya. Jika engkau melihat mereka berbuat maksiat kepada Allah, peringatkan dan cegahlah mereka. Kemudian Adh-Dhahhak dan Muqatil bin Hayyan, mereka mengatakan: Setiap muslim berkewajiban mengajari keluarganya, termasuk kerabat dan budaknya, berbagai hal berkenaan dengan hal-hal yang diwajibkan Allah Ta’ala kepada mereka dan apa yang dilarang-Nya. Selama hak dan kewajiban masih melekat pada diri masing-masing anggota keluarga, maka selama itu pula ia harus tetap menunaikan perintah Allah tersebut.
Urusan hak dan kewajiban dalam keluarga yang bersifat duniawi secara konsisten memang harus dipenuhi setiap saat karena itu wajar dan lumrah dalam setiap keluarga. Akan tetapi urusan hak dan kewajiban keluarga kepada Allah (ukhrawi) jangan sampai luput pula. Begitulah yang diajarkan nabi Muhammad kepada umatnya agar hak dan kewajiban diri atas keluarga yang paling utama jangan sampai terabaikan. Maka awal membina keluarga yang dimulai dengan pernikahan, memang harus melalui prosedur yang syar’i dan tetap berpedoman pada ketentuan-ketentuan syariat Islam agar tidak menyesal dikemudian hari dengan melahirkan ring keluarga yang saling mengabaikan hak dan kewajiban utamanya. Mencari pasangan yang menyenangkan/menentramkan (Q.S. al-Furqaan: 74, ar-Ruum: 21), mendapatkan keturunan yang baik (Q.S an-Nahl: 72), dan bahkan melahirkan keturunan menjadi generasi beriman (Q.S. ath-Thur: 21), merupakan pedoman yang harus dijadikan sandaran bagi setiap insan untuk membangun keluarga. Maka, sungguh disayangkan jika seseorang berkeluarga luput dari keutamaan yang telah disampaikan Allah dalam tuntunanNya. Mudah-mudahan Allah selalu memberi berkah kepada kita dan keluarga kita agar senantiasa berada dalam ridhoNya dan tetap saling mengingatkan satu sama lain dalam kebaikan dunia dan akhirat. Aamiin.
Penulis: Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sumatera Utara.