BUDAYA Suku Mosuo adalah budaya matrilineal, di mana posisi wanita lebih dominan dalam masyarakat dan di mana seorang anak akan mewarisi nama dari ibunya.
Adalah sebuah daerah terpencil di perbatasan Tiongkok dan Tibet, tinggal sekelompok masyarakat etnik minoritas penganut matrilineal dan sekaligus pelaku poliandri yang legal dan sah, suku minoritas tersebut adalah suku Mosuo, yang merupakan suku dari minoritas etnik Naxi, yang juga adalah salah satu dari 55 suku minoritas yang ada di Tiongkok. Sampai sekarang sistem matrilineal masih dipraktekkan di suku tersebut.
Suku terasing ini tinggal di sekitar wilayah danau Lugu kira-kira 2,700 meter di atas permukaan laut. Danau yang maha indah dan masih sangat perawan ini dikelilingi oleh hutan lebat dan gunung-gunung. Masyarakat masih berpegang teguh adat turun temurun selama ribuan tahun.
Penduduk Mosuo juga merupakan penganut salah satu sekte agama Budha yang menganggap Lama sebagai pimpinan tertinggi, Lamaism. Peran Dalai Lama sangat penting di dalam kehidupan sehari-hari mereka. Yang menarik di suku Mosuo adalah peran utama kaum wanita.
Peran perempuan di suku Mosuo ini sangat berat, erat dan kental, wanita berperan sebagai kepala rumah tangga yang mengatur segala tetek bengek urusan domestik. Biasanya di setiap keluarga terdiri dari sepuluh anggota, walau tidak jarang satu keluarga terdiri dari 20 atau 30 orang.
Sang kepala keluarga merupakan wanita yang sangat dihormati dan dituakan oleh segenap anggota keluarga. Seluruh keputusan yang berurusan dengan keluarga di tangan sang ibu kepala rumah tangga. Jumlah keseluruhan masyarakat suku Mosuo sekitar 50 ribu orang dan semua tinggal di sekitar danau Lugu.
Rumah suku Mosuo sangat khas dan hampir di setiap rumah mereka menyediakan ruangan khusus sebagai balai pertemuan keluarga atau juga berfungsi untuk ritual-ritual agama. Rata-rata rumah suku Mosuo beratap rendah dan tidak ada ventilasi sama sekali sehingga memberi kesan sangat akrab dan intim antar keluarga sangat terjaga.
Salah satu cahaya yang masuk ke dalam rumah berada di sebuah kamar khusus dimana sebuah perapian selalu menyala dan sebuah altar pemujaan berada. Altar berupa batu ini merupakan simbol leluhur sebuah keluarga. Dipercaya arwah para leluhur masih menempati batu tersebut sehingga api harus tetap menyala untuk menghangatkan mereka para arwah.
Api yang dibiarkan terus menyala juga sebagai lambang kesejahteraan suatu keluarga.
Menarik
Kehidupan perkawinan suku Mosuo sangat menarik dan langka, dan saking langkanya, menarik banyak minat para peneliti dari berbagai belahan dunia dan sekitar dua dekade terakhir membuat nama Mosuo menjadi terkenal di seluruh dunia. Daerah mereka yang perawan yang alami, kini mulai banyak dikunjungi turis dari Amerika, Eropa, dan juga negara-negara Asia lainnya juga masyarkat Tiongkok sendiri.
Perempuan Mosuo masih memegang tradisi turun temurun mereka, salah satunya adalah dalam hal perkawinan, ada tiga jenis perkawinan, yang pertama sistem Axia yang berarti visiting marriage, kedua adalah : axia cohabitation dan yang terakhir adalah monogamy.
Visiting Marriage berupa kunjungan lelaki ke kamar sang perempuan. Garambarannya, malam telah turun, gelap dan sunyi. Hanya suara binatang malam yang sekali-kali terdengar. Gadis muda itu diam-diam membuka jendela kamarnya, dan membiarkan angin malam menyusup ke dalam kamarnya yang sempit. Dihirupnya udara malam dalam-dalam. Hatinya mulai deg-degan, tubuhnya sedikit gemetar. Sebentar-sebentar pandangannya di arahkan ke jendelanya yang sedikit terbuka.
Rasa penat tubuhnya akibat pesta seharian tidak membuatnya ingin segera tidur, malam inilah malam istimewa baginya. Hatinya makin tambah deg-degan. Suara halus sedikit saja mampu membuatnya terlonjak. Penantaian gadis tersebut tidak lama, karena sekitar sepuluh menit kemudian telinganya mendengar langkah-langkah halus menuju ke arah jendelanya.
Kekasihnya sudah datang, dan dengan isyarat ketukan khusus, minta ijin untuk masuk kamarnya. Tanpa menunggu waktu, dia segera membalas dengan isyarat khusus pula, sejenak kemudian dua makhluk berbeda kelamin itu sudah berada dalam satu ruangan dan seterusnya.
"Apabila mereka sampai mendapat keturunan, anak-anak yang lahir tersebut adalah diri mereka sendiri, sementara sang ayah biologi mereka tidak punya peran apapun.“
Tradisional
Monogamy hanya ada di masyarakat urban suku mosuo artinya mereka yang melakukan pernikahan dengan sistem monogamy adalah mereka yang sudah terpengaruh oleh kaum urban yang datang ke daerah tersebut. Sementara itu, etnik-etnik Mosuo lainnya masih mempraktekkan pernikahan tradisional Axia marriage terutama di daerah Yongning dan danau Lugu.
Perkawinan Axia adalah perkawinan yang bersifat bebas tanpa ikatan. Kaum lelaki Mosuo menyebut para perempuan mereka Axia yang berarti : teman intim dan para perempuan menyebut kaum lelaki atau kekasih sebagai Azhu.
Mereka tidak terikat dengan perkawinan seperti pasangan-pasangan di belahan bumi manapun, namun mereka tetap tinggal di rumah sendiri dan biasanya di rumah ibu mereka, sepanjang hayat.
Setiap gadis yang sudah dianggap akil balig biasanya mempunyai seorang Azhu. Mereka mempunyai kamar tersendiri dimana sang kekasih bisa berkunjung setiap saat. Kunjungan rahasia ini dilakukan saat malam hari. Dan keesokan harinya di pagi yang masih buta sang kekasih harus meninggalkan rumah sang gadis.
Jika seorang gadis sudah mulai bosan dan tidak ingin melanjutkan hubungan dengan kekasihnya, sebagai tanda penolakan, dia akan menutup pintu kamarnya atau pintu jendela, dan kekasihnya begitu tahu si gadis menutup pintu, akan berhenti mengunjunginya. Di sini tidak ada ikatan apapun, semua bebas merdeka.
Hubungan lebih bersifat mutual dan kasih sayang, keinginan atau hasrat seorang perempuan sangat dihormati. Jika hasil dari cohabitation ini menghasilkan anak, maka anak tersebut akan menjadi milik keluarga sang ibu dan mewarisi nama keluarga si ibu. Anak ini dibesarkan dan di asuh oleh keluarga besar si gadis dan tidak diperkenalkan dengan ayah kandungnya sampai menjelang upacara akil baliq.
Upacara akil balig seorang gadis dilangsungkan ketika seorang anak mencapai usia 13 tahun, dan ritual ini dilakukan saat tahun baru. Di hari yang istimewa ini sang gadis diberi pakaian indah dan dihias secantik mungkin, dan juga dihiasi perhiasan-perhiasan tradisional. Upacara ini menandai bahwa seorang gadis sudah dewasa. Dengan kata lain, sang gadis sudah boleh memiliki seorang Azhu atau kekasih. Sebanyak yang dia inginkan bebas memilih tanpa bebas moral apapun. (cco/ar)