Membicarakan tentang Takdir

ISLAM adalah agama yang logis dan sesuai dengan akal sehat. Setiap ajaran islam dapat dicerna oleh akal disertai keimanan yang lurus. Tidak ada satu pun ajaran Islam yang bersif anti rasional dan takhayul. Salah satu fondasi ajaran Islam adalah rukun iman yaitu iman kepada Allah, Malaikat, Kitab, Rasul, Hari Kiamat, dan iman kepada qadha dan qadarnya.

Iman kepada qadha dan qadar atau takdir menempati urutan terakhir dalam rukun iman. Meskipun demikian, iman terhadap takdir memiliki peranan yang sangat vital dalam pondasi keimanan seseorang. Keimanan yang benar terha­dap takdir menunjukkan lurusnya keimanan terhadap rukun-rukun iman yang lain. Rasulullah Saw. Bersabda, “Tidak beriman seseorang hingga dia beriman kepada qadar baik dan buruknya dari Allah, dan yakin bahwa apa yang menimpanya tidak akan luput darinya serta apa yang luput darinya tidak akan menimpanya”.

Walaupun iman kepada takdir memi­liki peran yang sangat penting dalam ba­ngunan keimanan. Rasulullah Saw. Memperingatkan umatnya agar tidak ber­lebihan dalam membicarakan takdir. Se­perti halnya sekarang ini kita banyak me­nemukan acara-acara televis yang menayangkan tentang peramalan masa depan yang seolah-olah itu adalah takdir yang telah digariskan oleh Allah kepada manusia. Begitu juga dengan media sosial yang membuat peramalan mulai dari jodiak, penghitungan perimbon dan masih banyak lainnya.

Sehingga membuat manusia kebi­ngu­ngan dan ketakutan dalam meng­hadapi ke­hidupan.

Dalam menghadapi persoalan ini muncullah seorang penulis bernama Agus Susanto yang menuliskan buku berjudul Takdir Allah Tak Pernah Salah. Dalam buku ini penulis mencoba mengupas beberapa masalah yang berkaitan dengan takdir beserta fenomena-fenomena yang menyertainya. Agus mencoba mem­berikan pemahaman yang utuh tentang takdir sehingga para pembaca khususnya kaum muslim mempunyai pemahaman yang benar tentang takdir. Dalam buku ini juga memunculkan beberapa kisah-kisah yang menginspirasi untuk bersikap sabar dalam menjalani takdir Allah.

Selain itu, bahasa yang digunakan penulis tidak terlalu sulit untuk dipahami oleh mereka yang bukan berlatar belakang agama. Artinya, siapapun juga bisa memahami isi buku ini. Bahasanya mudah dan ‘mengalir’ dan tidak menoton.

Tak jauh dari kata luput akan kesala­han, buku ini masih terdapat kesalahan dalam penulisan beberapa suku kata, serta masih ada beberapa hal yang tidak mencantumkan hadis atau ayat Alquran sehingga pembaca beranggapan bahwa ceritanya hanyalah sebuah kisah saja yang tidak memiliki referensi yang bisa dipertanggungjawabkan. Namun, secara keseluruhan buku ini mampu menjadilan dasan dalam menyikapi setiap persoalan yang berkenaan dengan takdir.

Peresensi: Khoiriyah Chaniago, staf jurnal Istishlah, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sumatera Utara

()

Baca Juga

Rekomendasi