Catur Aceh, Permainan Rakyat yang Terlupakan

Oleh: Muhammad Saman

Seiring perkembangan zaman dan teknologi, banyak permainan atau hiburan tradisional rakyat Aceh yang kini ter­lupakan. Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke-7 kali ini tak hanya menampilkan ragam adat, sejarah dan budaya tetapi juga menghadirkan se­jumlah permainan tradisional masya­ra­kat Aceh masa lalu.

Cato (catur) Aceh salah satunya, permainan rakyat yang kerap dimainkan oleh orang tua di zaman dulu, ikut menarik perhatian warga di pagelaran Aceh History Expo yang ber­lang­sung di Kompleks Museum Aceh, Selasa, 7 Agustus 2018 lalu.

Catur Aceh dimainkan di atas papan ukuran kecil dengan jumlah anak catur bervarian mulai dari 28, 81, dan 100. Se­men­tara bahan yang dijadikan sebagai anak catur adalah dari batu. Untuk ukuran besar diberi nama ri­mueng (harimau), dan pionnya atau batu kecil adalah kambing.

Permainannya sendiri gampang-gampang susah, dengan pola garis lintang, bujur dan miring pada sebuah pa­pan kecil atau tripleks. Bidaknya hanya batu atau rumah keong yang ber­warna hitam dan putih. Pemainnya dua orang, satu meme­gang bidak harimau dengan warna hitam dan satu lagi meng­gunakan bidak kambing de­ngan warna putih.

Harimau hanya dua, sedangkan kam­­bing banyak. Harimau berhak m­e­lompati kepungan kambing yang berusaha menu­tupi jalannya. Melompat bisa ke kiri, kanan dan miring ke segala arah, dengan syarat bidak penutupnya harus ganjil, satu-tiga-lima dan seterusnya.

Jika harimau mampu “memakan” se­mua kambing dalam lompatannya, maka dia menang. Tetapi jika kambi­ng berhasil menutup jalan harimau, ma­ka kambinglah yang menang. Per­ma­inan normal biasanya berakhir dal­am sepuluh menit. Dan untuk adil, ma­ka kedua pemain berganti posisi dari memain­kan kambing dan mema­inkan harimau bergantian.

Permainan tradisional rakyat yang diperkenalkan kembali dalam PKA ke-7 kali ini dulunya kerap dimainkan di bale-bale, tempat pengajian, mu­sala dan pos ronda di saat istirahat sembari menunggu waktu salat tiba.

Berbeda dengan catur

Koordinator Permainan Rakyat, Su­hirman, menjelaskan catur Aceh berbeda dengan catur yang dimainkan pa­da umum­nya. Hanya di atas papan ke­cil yang telah diukir seperti bentuk ca­tur kemudian dimainkan dengan cara melompat atau melewati lawan tetapi dengan hitungan ganjil.

“Bermain catur Aceh ini kita membunuh pemain lawan de­ngan sistem ganjil, yaitu melompati 3 pemain lawan bah­kan sampai lima. Setelah me­lompat baru kita bisa membunuh pe­ma­in lawan. Apabila harimau itu su­dah terkurung tidak bisa bergerak lagi karena dihambat oleh kambing maka kam­bing yang menang. Tetapi kalau kambing habis dan harimau masih leluasa bergerak berarti harimau peme­nangnya,” ujar Suhirman.

Menurutnya, perlombaan catur Aceh ini pesertanya diikuti dari 16 ka­bupaten/kota. Masing-masing daerah mengirimkan dua orang peserta. dari lintas generasi, tua dan muda. Banyak­ pengunjung yang melihat permainan itu. “Ini untuk melestari­kan permainan rakyat,” katanya.

Dijelaskan, puluhan tahun lalu, warga kerap memainkan catur harimau di meu­nasah (musala) terutama saat bulan Ra­madan atau hari libur bersama ka­wan-kawan. Tempatnya bisa di meunasah atau di warung-warung. Sei­ring zaman, permai­nan ini berganti ke catur yang lazim sekarang, dengan papan hitam-putih dan bidak-bidak pion, kuda, luncur, banteng, pion. Catur kam­bing dan harimau semakin tergusur.

Generasi kini perlu melestarikannya, kendati tak me­merlukan wadah pa­pan atau triplek. Belum ada pencip­taan apli­kasi permainan ini di aplikasi berbasis teknologi seperti di Andro­id. Semetara ludo dan catur sudah. Ini adalah pelu­ang, untuk membuat permainan tradisional Catur Harimau di­kenal seluruh dunia.

Selain catur Aceh, permainan rak­yat pada PKA ke-7 ini juga mengha­dir­kan permainan geunteut, gasing, geu­layang, dan lomba perahu.

()

Baca Juga

Rekomendasi