Oleh: Johan Wibawa
Beberapa waktu lalu ada sebuah seminar tentang marketing. Di brosur dan undangan yang dibagikan berhari-hari sebelumnya, tertera jelas bahwa seminar akan dimulai pada pukul 09.00 Wib. Oleh karena itu penulis pun segera berangkat dari rumah sekitar pukul 07.30. Namun, ban sepeda motor penulis tiba-tiba koyak. Penulis terpaksa menepi dan mencari bengkel terdekat untuk mengganti dengan ban yang baru.
Saat itu, penulis sudah khawatir tak bisa datang tepat waktu ke lokasi seminar. Waktu yang terpakai untuk mengurus ban sepeda motor cukup lama. Sudah pukul 08.30 ketika tukang tambal ban menyelesaikan tugasnya.
“Saya pasti terlambat,” pikir penulis, dan memang begitulah kenyataannya.
Penulis terlambat beberapa menit tiba di lokasi seminar. Ketika melangkah masuk ke ruangan, penulis tercengang. Penulis adalah peserta pertama yang tiba di lokasi!
* * *
“Ini Medan, Bung!” adalah kata-kata yang sangat sering penulis dengar dari teman-teman ketika ada orang yang datang terlambat atau ketika sebuah acara tidak dimulai tepat pada waktunya. Mungkin Anda juga sudah sering mengalaminya sehingga keterlambatan seperti ini telah menjadi "makanan" sehari-hari Anda. Sangkin seringnya kita menjadi korban ataupun pelaku keterlambatan inilah yang akhirnya membuat perilaku terlambat menjadi mudah dimaklumi, dan seolah-olah telah menjadi budaya orang Medan.
Kenapa terlambat?
Banyak sekali alasan kenapa kita sering terlambat menghadiri suatu kegiatan, khususnya kegiatan-kegiatan nonformal di mana tidak akan ada konsekuensi atau hukuman apa pun yang diterima oleh orang yang terlambat. Seminar gratis yang penulis ceritakan di atas misalnya. Alasan kenapa penulis datang terlambat adalah karena sesuatu yang bersifat eksternal, yakni ban yang tiba-tiba koyak. Para peserta seminar lainnya juga mungkin saja terlambat karena hal yang sama faktor eksternal yang memang tak bisa dielakkan. Kemacetan jalan, ditilang polisi, lokasi seminar yang sulit ditemukan, dan hujan adalah beberapa contohnya.
Alasan-alasan seperti itu mungkin masih bisa ditolerir dan dimaklumi. Kita semua menyadari keterbatasan kita sebagai manusia yang tak bisa secara akurat memprediksi kemunculan faktor-faktor eksternal tersebut. Namun bagaimana bila kita terlambat datang karena faktor internal, alias disengaja?
“Males ah, toh acaranya gak gitu penting”, “Telat beberapa menit itu gak apa-apa lha…”, “Tenang aja, orang lain juga pasti telat”, dan “Daripada kita yang nungguin orang, lebih baik kita yang ditungguin,” adalah beberapa alibi teman-teman penulis ketika diwawancarai mengenai alasan keterlambatan mereka. Sebagian teman bahkan memberi jawaban seperti itu tanpa merasa bersalah sama sekali.
Keterlambatan yang disebabkan oleh faktor internal seperti ini memang terkesan lebih buruk daripada keterlambatan yang disebabkan oleh faktor eksternal. Ini karena sang pelaku melakukannya dengan sengaja. Besar kemungkinan bahwa kita sendiri juga sering terlambat atas alasan-alasan yang disengaja ini, tak terkecuali penulis sendiri.
Kata "maaf"
‘Maaf’ benar-benar merupakan kata yang sangat ajaib. Masalah-masalah bisa langsung terselesaikan hanya dengan mengucapkan kata tersebut.
Salah seorang teman penulis yang memang sangat kental budaya terlambatnya hampir selalu tak pernah merasa bersalah ketika dia terlambat. Setiap kali dia sengaja terlambat, satu kata itu selalu muncul dari mulutnya dan masalah pun langsung selesai.
Suatu hari teman penulis ini pernah ‘menasehati’ penulis, “Lain kali kamu sengaja terlambat saja. Tenang, kamu cukup bilang ‘maaf’ ke mereka (orang-orang yang datang tepat waktu), aku jamin pasti kamu gak akan dimarahi.”
Ketika kita melakukan kesalahan, wajar-wajar saja kita menggunakan kata ‘maaf’. Akan tetapi, belakangan ini, bukan hanya pada masalah keterlambatan melainkan pada banyak aspek kehidupan kita, kata ‘maaf’ seakan telah kehilangan maknanya. Banyak orang mengucapkan kata tersebut tanpa pernah benar-benar memaknainya. Sama seperti teman penulis tersebut, dia terus-menerus berkata maaf tanpa pernah berniat untuk memperbaiki dirinya.
Solusinya…
Pada situasi yang formal, misalnya di perusahaan tempat kita bekerja, di mana kita memang dituntut untuk disiplin datang tepat waktu, keterlambatan sangat jarang terjadi. Bilapun terjadi, faktor-faktor yang menyebabkan keterlambatan kita itu pun lebih sering merupakan faktor eksternal. Hal ini disebabkan oleh adanya konsekuensi atau hukuman bagi orang yang terlambat, misalnya berupa surat peringatan atau bahkan pengurangan gaji.
Sedangkan pada situasi yang nonformal, misalnya membuat janji untuk reunian dengan teman-teman lama, banyak alasan terlambat disebabkan oleh faktor internal. “Terlambat sedikit pasti gak apa-apa. Teman-temanku pasti bisa mengerti.” Dalam situasi di mana tak ada konsekuensi bagi orang yang terlambat ini, keterlambatan memang sangat sering terjadi. Salah satu solusi yang paling cocok adalah dengan menerapkan sistem denda.
Buat kesepakatan dengan semua pihak yang terlibat mengenai pemberian denda ini. Denda yang sederhana bisa saja berupa traktiran. Jadi, bagi orang-orang yang datang terlambat, mereka wajib mentraktir orang-orang yang sudah datang tepat waktu.
Ada beberapa hal juga yang bisa dilakukan oleh penyelenggara acara supaya para peserta datang tepat waktu. Misalnya pada seminar yang penulis singgung di atas. Supaya acara tetap berlangsung pada jam yang telah disepakati panitia, yakni jam 09.00, panitia bisa saja menulis jam 08.00 atau 08.30 di brosur-brosur yang dibagikan sehingga ada toleransi waktu bagi para peserta seminar yang terlambat.
Namun solusi-solusi seperti ini juga sebenarnya tak sempurna. Ada beberapa kelemahan dari solusi-solusi yang sudah sangat umum ini. Panitia seminar mungkin bisa mengakali dengan memanipulasi jam pada brosur. Akan tetapi ini akan menimbulkan masalah bagi orang-orang yang datang tepat waktu. Bayangkan bila seminar dimulai pada jam 09.00, sedangkan panitia menulis jam 08.00 di brosur. Ini berarti orang-orang yang datang tepat waktu harus menunggu selama 1 jam untuk menikmati acara.
Penutup
“Tidak pernah ada kata terlambat untuk berubah,” pepatah ini sangat tepat ditujukan kepada kita semua yang masih sering terlambat karena disengaja. Tapi ada sedikit tambahan yang menurut penulis harus diselipkan untuk melengkapi kalimat tersebut: “Berubahlah sekarang!”
Memang benar tak pernah ada kata terlambat untuk berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Kita bisa memilih untuk berubah besok, minggu depan, bulan depan, atau bahkan tahun depan. Akan tetapi, jauh lebih baik apabila kita mau mengubah diri kita saat ini juga! Jangan pernah menunda-nunda untuk berubah menjadi individu yang lebih baik. Buatlah perubahan itu hari ini, sekarang juga!
Ini juga merupakan satu-satunya solusi yang paling sempurna untuk mengurangi jumlah keterlambatan, sekaligus untuk menghancurkan ‘budaya terlambat’ yang selama ini melekat pada orang Medan. Kita tak bisa memaksa orang lain untuk tidak terlambat, tetapi kita bisa memastikan diri kita supaya tak termasuk dalam kategori orang yang suka terlambat.
Hal sama juga berlaku bagi penyelenggara kegiatan atau seminar yang penulis ceritakan di atas. Buat saja jam pelaksanaan acara yang memang akurat di brosur. Bila acara dimulai pada jam 09.00, maka pada brosur juga ditulis jam 09.00. Dan panitia acara juga harus konsisten dengan apa yang telah direncanakan. Acara tetap harus mulai pada jam 09.00 apa pun yang terjadi, termasuk apabila hanya satu atau dua orang yang menghadiri acara.
Penulis sendiri bukanlah orang yang sempurna yang sama sekali tak pernah terlambat. Melalui tulisan ini, penulis mengajak kita semua untuk sama-sama belajar memperbaiki diri kita masing-masing sehingga ‘budaya terlambat’ yang selama ini identik dengan kebiasaan orang Medan bisa segera terhapus, dan mengubahnya dengan ‘budaya tepat waktu’, sehingga pada akhirnya, ketika budaya tepat waktu sudah benar-benar membudaya dalam diri masyarakat Medan, kita juga sudah bisa dengan bangga mengatakan kepada dunia, “Ini Medan, Bung!”
* Juni 2012
*e-mail : [email protected]