Kalabendu Para Punakawan

Oleh: J Anto

KATA Pujangga Ronggowarsito, ini zaman kalabendu. Orang susah membedakan siapa benar, siapa salah. Moralitas makin absurd. Bagong kaya raya, bisa membeli apa saja termasuk nasib orang. Petruk, jelata, tapi terlibat perseng­kongkolan dengan Gareng, pedagang hukum. Sementara Semar simbol pemimpin arif, ternyata juga minta jatah.

Tampil centil, kenes, dan berlagu, Mardona (20), mahasiswi Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UMSU Medan, mampu mencuri perhatian penonton yang mengisi  hampir seperempat bangku di Gedung Utama Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU), Minggu (29/7) siang. Dona membawakan peran Bagong dalam pertunjukan lakon Wek Wek yang disutradarai Farida Hanum dari Teater Generasi.

Namun jangan membayangkan Bagong tampil dengan perut buncit, mata bulat besar, dan mulut lebar. Bagong  siang itu tampil dibalut kebaya hijau lumut berpadu kain jarit,  rambut disanggul dan menjinjing tas wanita bermerek. Bagong berubah jadi sosok perem­puan centil, berlagu, karena kaya harta.

Petruk, dimainkan Tengku Mashita, juga irit bicara, ia hanya bisa berkata wekwek, padahal dalam pakem pewayangan, Petruk digambarkan sebagai sosok banyak canda dan tingkah. Gareng yang digambarkan selalu berjalan menunduk, simbol orang yang selalu hati-hati,  bermata juling, menandakan tanda tak mau melihat hal-hal yang mengundang kejahatan serta tangan melengkung,  tanda tak mau merampas hak orang lain, berubah jadi tokoh  cerewet,  licik, dan penuh tipu muslihat sebagai pokrol bambu.  Gareng dimainkan Giwang, pelajar SMA kelas tiga.

Sementara Semar, dimainkan Riska, mahasiwa Universitas Muslim Nusantara (UMN), tempat para punakawan bertanya dan mencari keadilan karena dianggap sudah 'manusia setengah dewa', terkesan jadi orangtua yang hanya bisa mengeluh, bahkan hilang 'kesetengahan dewanya' saat meminta 'jatah' atas harga keadilan yang dibuat,  tatkala  Petruk, Bagong, dan Gareng terlibat sengketa.

Ajakan  Berkontemplasi

Wek Wek adalah lakon komedi satiris. Sekalipun seting ceritanya tentang peradilan sesat, namun penonton juga diajak untuk merenung dan berkontemplasi lewat tingkah polah para punakawan. Di balik dialog yang penuh permainan kata-kata dan mengundang gerrrrr, nurani penonton digelitik untuk bertanya pada diri sendiri: siapakah sebenarnya kita dalam lakon keseharian, Bagong, Petruk, Gareng, atau Semar?

Petruk dalam lakon itu adalah representasi orang-orang jelata. Pekerjaan Petruk di desa yang ‘gemah ripah loh jinawi’ hanya tukang angon bebek. Padahal di kampungnya, sawah luas terbentang, tapi tidak sebidang tanah jadi miliknya. Padi juga  ia yang tanam, tapi tak segenggam beras di genggamnya saat panen. Bebek tiga puluh ekor, semuanya tukang bertelur, juga  tak membuatnya punya hak milik atas sebutir telur. "Badan hanya sebatang, hampir-hampir telanjang. Hanya itu saja milikku."

Berkebalikan dengan Petruk, Bagong kaya raya, sawah berhektar, kamar berkamar-kamar, kambing berkor-ekor, bebek bertelur-telur, dunia pun digenggam bak  selebar daun kelor.

Semar digambarkan sebagai orang yang sudah tua dan capai. Ia merasa jadi tong sampah warga. "Ada kasus serobotan tanah, Pak Lrah. Curi air sawah, Pak Lurah. Beras susah, Pak Lurah. Semua masalah, Pak Lurah, tapi kalau rezeki melimpah, Pak Lurah… tak usah…  payah...."

Begitulah goro-goro muncul saat memasuki zaman kalabendu. Petruk, si tukang angon bebek dituduh 'nglunjak' oleh Bagong. Petruk tak menyetor 50 butir telor seminggu, dua ekor bebek yang diangon juga hilang. Alasannya tak masuk akal bagi seorang Bagong yang kaya dan pintar. Bagong tersinggung, mukanya serasa dilumuri tahi bebek.

Ia ingin memberi pelajaran Petruk. Tapi tak sudi mengotori tangan sendiri. Ki Lurah Semar ia dekati. Muaranya Petruk harus dipecat dan membayar ganti-rugi. Nabok nyilih tangan. Muncul Gareng, pedagang hukum yang mengantongi prinsip, "Ini zaman edan, tidak ikut edan tidak kebagian." Tipu menipu, adu mengadu, ijazah palsu, gugat menggugat, sikat menyikat, lidah bersilat merupakan menu santapan harian  Gareng.

Petruk yang jelata segalanya itu, disuruh Gareng mengikuti siasatnya.  Saat disidang, tiap kali  Ki Lurah Semar bertanya, ia cukup menjawab wek wek, tak lebih. Gareng akan menerjemahkan arti wek wek itu hingga jadi sebuah pledoi.

Begitulah di depan Semar dan Bagong, Gareng berkisah bahwa saat hujan lebat dan petir menyambar,  Petruk masih bekerja di sawah mengamankan bebek-bebek dan telur-telur Bagong. Tapi mendadak sungai banjir. Kilat menyambar dari langit. Dua bebek hanyut di bawa air bah.

Petruk jatuh pingsan. Badannya mengigil, keringatnya mengalir, mukanya pucat, ia mengeluh. Waktu sadar,  suara yang keluar dari mulutnya hanya wek wek. Tak sampai di situ, Gareng juga bilang bahwa 30 ekor bebek Bagong sebenarnya  tak bisa bertelur karena semuanya betina.

Namun Petruk diam-diam meminjam bebek jantan dari tukang angon lain, ia harus bayar 2 telur untuk seekor bebek pejantan agar mengawini bebek-bebek Bagong. Soal dua ekor bebek yang hilang, menurut Gareng, satu ekor disambar alap-alap, satu lagi dimakan anjing.

Mendengar pembelaan Gareng, Semar menilai bahwa Petruk justru telah berjasa bagi Bagong. Semar lalu memutuskan bahwa Bagong bersalah dan harus membayar ganti rugi ke Petruk, termasuk membayar ongkos berobat Petruk sampai sembuh.

Walau merasa dikerjai Gareng dan Petruk, Bagong bersedia  memberi ganti rugi. Uang hasil persengkolan itu lalu dibagi Gareng dan Petruk. Saat perhatian Gareng  tersita untuk memintai uang bayaran sebagai pengacara. Petruk lalu menunjuk uang di tangan Gareng, merebutnya sembari berlalu meninggalkan Gareng yang baru seumur hidup tertipu sebagai pokrol bambu.

Petruk lalu  mendatangi Semar yang lalu berujar, "Saya sudah jadi lurah sejak awal sejarah. Semua masalah, Pak Lurah, tapi kalau rezeki melimpah, Pak Lurah, tak usah… payah...."

Petruk pun hanya menyahuti keluh kesah Semar dengan wekwek. Ia paham seratus persen arti gerundelan Semar. Keduanya lalu berjalan berangkulan meninggalkan panggung sembari bersuara: wekwek. Benar-benar zaman kalabendu.

Menafsir Ulang

Sekalipun Pentas Wek Wek hanya pentas uji coba, namun  Suyadi San, pimpinan Sanggar Generasi sekaligus produser pemen­t­a­s­an, memuji penampilan para pemain yang tampil dalam Parade Teater Generasi.

Pentas Wek Wek  karya D Djaja Kusuma, disutradari Farida Hanum, merupakan satu dari tiga pementasan yang digelar Teater Generasi, Minggu (29/7) di TBSU.  Dua pementasan lain adalah Abu karya B Soelarto, disutradarai Asnidar dan Terdampar karya Slawomir Mrozek, disutradari Ion.

Kritik kritis datang Teja Purnama, aktor, deklamator, sekaligus penyair senior Sumut. Menurut Teja, sebagai sutradara, Farida Hanum tampak benar mengikuti kehendak sang  penulis lakon. Tak ada tafsir sama sekali dari naskah yang sudah berusia puluhan tahun itu. Menurutnya, hal itu memang boleh dan sah-sah saja.

"Tetapi  mungkin akan lebih menarik  jika sutradara melakukan penafsiran ulang karakter tokoh, latar, atau pesan," ujar Teja saat dihubungi Kamis (2/8).  Tafsir ulang membuat naskah yang ditulis puluhan bahkan ratusan tahun menjafi  tetap aktual dengan situasi kekinian.

Teja misalnya  menyinggung karakter tokoh-tokoh punakawan yang bisa lebih 'membumi' dengan karakter Sumut. Menu­rutnya, Sumut kaya dengan keragaman suku yang bisa dieksplorasi dengan semangat artistik. Misalnya tokoh Bagong yang pengusaha bisa disesuaikan dengan karakter orang Tionghoa, Gareng yang pengacara disesuaikan karakter orang Batak, Petruk yang miskin tetap orang Jawa, dan Semar  sesuai karakter Melayu.

Lepas dari itu, ia melihat para pemain telah berusaha sesuai  karakter tokoh yang dimainkan. Pemain juga tampak sudah memahamin makna dan alamat kalimat dalam setiap dialog.

"Tinggal bagaimana menyampaikan dialog dengan penghayatan, bukan sekadar sampai pada pemahaman," katanya. Mengetahui sesuatu dan menyampaikan sesuatu yang ketahui adalah dua hal berbeda yang harus dimiliki aktor  dan ktris.

Teater adalah media komunikasi. Ada proses penyampaian pesan di sana. Agar  sampai dengan baik ke komunikan, penge­masan pesan bukan hanya kerja sutradara, tapi juga aktor dan seluruh awak panggung.

"Dari rahim kolektivitas yang sinergis itulah lahir pementasan teater," katanya. Soal vokal yang kurang berenergi,  Teja menyebut hal itu merupakan kelemahan umum pemain teater di Sumut.

"Dapat diatasi dengan latihan dasar. Karena bagaimana pun, alat aktor itu, selain sukma dan intelegensi, juga tubuh yang juga meliputi vokal," tambahnya.  Terlepas dari itu semua, sebagai sutradara baru, Farida adalah salah seorang yang pantas dicatat dan diharapkan mengemban amanah penyutradaraan di Sanggar Generasi.

()

Baca Juga

Rekomendasi