Ekowisata sebagai Ekonomi Alternatif Masyarakat

Oleh: Ali Munir, S.Pd.

Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan yang wila­yah­nya membentang luas dari Sabang sampai ke Merauke dan dari Miangas hingga ke Pulau Rote. Dengan jumlah pulau lebih dari 17.000, Indonesia yang dijuluki Zamrud Khatu­lis­tiwa ini memiliki keindahan dan keunikan alam nan eksotis, baik flora, fauna, gunung, danau, pantai, pe­ninggalan purba­kala, atraksi budaya, dan lainnya. Dengan jumlah penduduk lebih dari 250 juta jiwa dan terdiri dari 1.128 suku bangsa serta 750 bahasa daerah, merupakan aset pariwisata yang berlimpah jika dapat dikembangkan dengan baik.

Dalam UU Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pariwisata, se­cara jelas diungkapkan bahwa keadaan alam, flora, dan fau­na, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, serta peninggalan sejarah, seni, dan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia meru­pakan sumber daya dan modal pembangunan kepari­wisa­taan untuk meningkatkan kemak­muran dan kesejahteraan rakyat sebagaimana terkandung dalam Pancasila dan Pem­bukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Sektor pariwisata sudah sela­yaknya menjadi salah satu sektor andalan Indonesia dalam menopang pembangunan bang­sa. Pariwisata juga sering dijadikan jawaban atas bebe­rapa masalah yang dihadapi Indonesia antara lain menciptakan lapangan pekerjaan dan peluang ekonomi masyarakat, serta menjaga dan memperbaiki lingkungan hi­dup. ­Sektor pari­wisata terbukti memiliki peran yang sangat berarti dalam pembangunan perekonomian nasional. Sektor pariwisata Indonesia berkontribusi kira-kira 4% dari total perekonomian saat ini. Pada tahun 2019, pemerintah ingin meningkatkan angka ini dua kali lipat menjadi 8% dari PDB dengan target jumlah wisatawan manca­negara sebanyak 20 juta.

Mengembangkan Ekonomi Masyarakat

WTO (World Tourism Organization) pernah merilis adanya be­berapa kecenderungan dan perkem­bangan baru dalam dunia kepari­wisataan yang mulai muncul tahun 1990-an. Ada peralihan minat masyarakat global, regional dan nasional untuk kembali ke alam (back to nature) dan keinginan yang be­sar untuk berwisata ke tempat-tempat yang masih alami. Mi­nat tersebut merupakan faktor pendo­rong untuk mengem­bangkan pari­wi­sata minat khusus yang bero­rientasi pada ling­kung­an alam yang dikenal sebagai ekoturisme atau ekowisata.

Ekowisata berkembang sebagai salah satu pariwisata alter­na­tif dan diartikan sebagai perjalanan wisata alam yang ber­tanggungjawab de­ngan cara melakukan konservasi lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan lokal (responsible travel to natural greathat conserves the environtment and improves the well-being of local people / TIES, Arida 2009). Dari penger­tian ini, ekowisata dapat dipandang dari tiga perspektif, yakni pertama: eko­wisata sebagai produk, merupakan semua atraksi yang berbasis pada sumberdaya alam yang ada dan sudah tersedia secara alami (bukan buatan). Kedua, ekowisata seba­gai pasar, merupakan perjalanan wisata yang diarahkan pada upaya-upaya pelestarian alam dan lingkungan, sekaligus edukasi pada wisatawan akan pentingnya menjaga keles­tarian alam beserta isinya. Ketiga, ekowisata sebagai pendekatan pengembangan, artinya ekowisata merupakan metode peman­faatan dan pengelolaan sumberdaya pari­wisata secara ramah lingkungan, tanpa merusak kondisi alam yang sudah ada sebagaimana adanya.

Ekowisata dipercaya menjadi salah satu cara menginteg­rasi­kan kebijakan lingkungan dan ekonomi dalam pemba­ngunan wilayah yang di dalamnya terdapat masyarakat lokal. Kegiatan ekowisata memiliki pengaruh besar terhadap ling­kung­an yang meliputi faktor sosial, ekonomi, dan kebudayaan sebagai satu kesatuan lingkungan wisata. Jika dikelola dengan baik, maka diharapkan ekowisata bisa menjaga keanekara­gam­an hayati, meng­hasilkan dana untuk konservasi lingkung­an, menyerap tenaga kerja lokal, meningkatkan pendapatan asli daerah dan mengurangi angka kemiskinan.

Ekowisata sebagai salah satu kegiatan ekonomi alternatif di kawasan alami diharapkan bisa menjadi alat pendekatan konser­vasi, lebih menghargai alam dan memanfaatkan alam tanpa harus merusaknya. Masyarakat sekitar yang awalnya hidup dari peman­faatan sumber daya lingkungan secara berlebihan dan bersifat merusak dapat beralih ke kegiatan ekowi­sata dan terlibat langsung di dalamnya. Ekowisata mam­pu men­cip­takan banyak lapangan kerja baru dan sebagai sum­ber mata pencaharian baru. Masyarakat lokal dapat menjadi pemandu wisata lokal, penyedia penginapan (home stay), pembuat kerajinan tangan atau suvenir, atau menjadi penge­lola kawasan ekowisata. Bisa pula terlibat dalam pengelolaan atraksi budaya asli setempat, misalnya sebagai penari, penjahit pakaian tradisional, penenun, dan lain-lain.

Selain manfaat ekonomi yang bisa langsung dirasakan oleh ma­sya­rakat lokal, kegiatan ekowisata ke kawasan lindung juga mem­berikan tambahan pendapatan untuk melakukan kegiatan konser­vasi dan perbaikan pelayanan dan fasilitas bagi para wisatawan. Selain itu, kegiatan ini pun dapat dikembangkan untuk mencegah penebangan liar, kebakaran hutan, penanam­an tanaman langka, perlin­dungan keragaman hayati, perlin­dung­­an hewan liar, dan pengelolaan sanitasi lingkungan.

Mengatasi Hambatan

Salah satu kendala utama pe­ngem­bangan sektor ekowisata yang harus segera diatasi bersama oleh pemerintah, pelaku usaha eko­wisata dan masyarakat adalah pem­bangunan infras­truktur berupa akses jalan ke lokasi ekowisata. Kurangnya infrastruktur dapat meningkatkan biaya logistik ke tempat tujuan ekowisata, sehingga dikuatirkan membuat iklim inves­tasi kurang menarik dan juga mengurangi kelancaran perjalanan pariwisata. Meski memang hal ini sudah diupa­yakan oleh Presiden Jokowi dengan pembangunan in­fra­­s­truktur jalan, bandara dan pelabuhan di beberapa titik strategis di berbagai wilayah Indonesia.

Jika jalan-jalan utama mungkin sudah tersedia dan bagus, bagai­mana jalan-jalan kecil menuju lokasi ekowisata yang umumnya berada jauh di pelosok dengan medan yang sulit? Bila infrastruktur di Bali dan Jakarta sudah luar biasa bagusnya, namun di wilayah teruta­ma timur Indonesia dirasa masih sangat kurang. Di sana, keberadaan bandara, pelabuhan, jalan dan hotel dirasa masih sangat minim. Kurangnya konek­tivitas di dalam dan antar pulau berarti ada sejumlah besar wilayah Indonesia dengan potensi wisata besar yang tidak bisa didatangi dengan mudah. Hal ini tentu menuntut perhatian lebih dari pemerintah, dan Kementerian Pariwisata juga perlu mendorong para investor untuk mau terlibat dalam pemenuhan infrastruktur ini. Karena umumnya, dengan infra­struktur yang bagus, maka sentra-sentra ekonomi yang baru akan tumbuh di sana, dan imbasnya tentu akan meningkatkan taraf ekonomi masyarakat lokal juga.

Selain infrastruktur, pendidikan juga menjadi salah satu halangan sekaligus tantangan.

Meskipun di Pulau Bali dan Jakarta kebanyakan penduduk asli yang bekerja di sektor pariwisata cukup fasih berbahasa Inggris (bahkan bahasa asing lainnya), namun di wilayah-wilayah yang lebih terpencil biasanya penduduk asli setempat akan kesulitan untuk berkomunikasi dengan para turis. Oleh karena itu, menerjunkan bebe­rapa guru bahasa ke daerah eko­wisata dipandang mampu menga­tasi kendala bahasa. Adanya ken­dala bahasa ini adalah salah satu alasan kenapa para wisatawan manca negara lebih memilih Thailand, Malaysia dan Singapura daripada berkunjung ke Indonesia.

Yang tak kalah pentingnya dilakukan pemerintah adalah perbaikan dan pem­bangunan jaringan komunikasi yang bisa menjangkau tempat-tempat eko­wisata yang terpencil, dalam hal ini bisa dilaku­kan kerjasama dengan operator setempat agar menyediakan tower se­bagai sarana memperlancar komuni­kasi.

Jika beberapa kendala tersebut di atas bisa menemukan jalan solusinya, ma­ka harapan ekowisata bisa mening­katkan taraf hidup masyarakat lokal akan dapat terwujud. Semua memang ter­­gantung pa­da kerjasama yang solid dari para pihak yang terlibat di dalam­nya. Ego sektoral ha­rus bisa dikesam­ping­kan demi kema­juan bersama.

Kon­sep pengembangan eko­wisata sesung­guhnya berdaya guna bagi lintas sek­toral, tidak hanya ekonomi masyarakat lokal, pun meningkatkan investasi da­lam dan luar negeri, karena sesung­guh­nya sektor pariwisata ini sudah menjadi sektor primadona dalam iklim investasi di berbagai belahan dunia saat ini dan di masa mendatang. ***

()

Baca Juga

Rekomendasi