Oleh: Ks. Min.
Hari Senin, tanggal 17 September 2018 ini, insan perhubungan di seluruh Indonesia memperingati Hari Perhubungan Nasional (Harhubnas). Pada awalnya, setiap Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sektor perhubungan memiliki hari jadi atau hari bakti masing-masing yang waktunya relatif berdekatan. Hal ini menyebabkan tidak efisien dari segi waktu dan biaya. Karenanya, melalui Keputusan Menteri Perhubungan nomor SK.274/G/1971 tanggal 26 Agustus 1971 tentang Hari Perhubungan Nasional, hari jadi atau hari bakti tiap BUMN sektor perhubungan disatukan menjadi Harhubnas yang diperingati setiap tanggal 17 September.
Peringatan Harhubnas sesuai SK. 274/G/1971 tanggal 26 Agustus 1971 memiliki 3 tujuan utama, yaitu: (1) Meningkatkan rasa kebersamaan dan jiwa korsa warga perhubungan serta dengan mitra kerja jasa perhubungan pada umumnya; (2) Meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab untuk selalu ikut membudayakan peningkatan pelayanan yang lebih baik; dan (3) meningkatkan penghayatan dan pengamalan 5 citra manusia perhubungan.
Judul artikel ini (baca : Guyub Rukun Bangun Bangsa) merupakan tagline digunakan dalam Peringatan Harhubnas 2018. Hal ini diharapkan dapat mempresentasikan bagaimana seluruh elemen Kementerian Perhubungan dan seluruh Stakeholdernya bersama-sama secara rukun membangun konektivitas yang sinergi guna mewujudkan transportasi yang berkeselamatan bagi seluruh masyarakat pengguna transportasi di seluruh Indonesia.
Selanjutnya, tema Harhubnas tahun 2018 yaitu, “Guyub rukun untuk mewujudkan konektivitas dan keselamatan transportasi yang lebih baik”. Kiranya semua jajaran insan perhubungan dan semua insan perhubungan, untuk kembali memaknai Hari Perhubungan Nasional sebagai hari bakti insan perhubungan kepada bangsa dan negara tercinta Indonesia. Pemaknaan itu dibuktikan dengan terus meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dengan seluruh pengabdian yang tulus dan ikhlas, agar terwujud jasa transportasi yang handal, selamat, aman dan nyaman.
Guyub Rukun semula merupakan motto Kabupaten Tulungagung; Jawa Timur yang luasnya 1.055,65 km². “Guyub” adalah kehendak untuk bersama dalam kebersamaan. Bila dalam suatu komunitas semua orang memiliki rasa “guyub” ini, alangkah indahnya hidup di dunia. Misalnya ada keluarga punya hajat, atau mengalami musibah karena ada yang sakit atau meninggal dunia, maka tanpa diminta orang-orang akan datang memberikan bantuan apa saja. Semua membantu, baik berupa tenaga, bahan-bahan, dana maupun nasihat. Semua ikhlas tanpa pamrih, tidak mengharapkan balasan.
Sifat guyub ini masih belum hilang dari kehidupan bermasyarakat, paling tidak di desa-desa, khususnya di desa yang masih termasuk kategori “desa kluthuk”, desa yang terpencil, desa yang menamakan dirinya “adoh ratu cedhak watu” (jauh dari ratu dekat dengan batu). Dalam kehidupan kota mungkin sifat guyub sudah terkikis oleh hiruk-pikuk komunitas masyarakat urban. Membantu memang tetap membantu, tetapi lebih praktis membantu dengan uang. Pada masa galak-galaknya siskamling, kalau pas dapat giliran lebih memilih mengupah orang untuk gantikan jaga di poskamling. Padahal berjaga di poskamling juga merupakan salah satu bentuk keguyuban.
Kalau “guyub” adalah kebersamaan dalam mengerjakan apa saja secara bersama-sama, maka “rukun” adalah hidup tanpa pertikaian. Tidak ada orang bertengkar, atau berbeda pendapat. Kalau terjadi sesuatu semuanya diselesaikan melalui musyawarah yang pasti mufakat. Bahkan kalau perlu mufakat tanpa musyawarah.
Dalam bahasa Jawa ada ungkapan “Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah” Rukun membuat kita kuat, pertentangan membuat kita bubar. Mungkin kita sebahagian masih dapat mengingat sebuah ceritera seorang laki-laki tua yang sedih karena anak-anaknya senantiasa berkelahi. Suatu saat laki-laki tua itu mengumpulkan semua anaknya. Ia membawa sapu lidi, lalu dilepas ikatannya. Satu-persatu mereka disuruh mematahkan lidi yang sudah lepas dari ikatan. Tentu saja lidi itu amat mudah dipatahkan. Kemudian si bapak mengikat kembali sapu lidi itu. Tidak ada satupun di antara anaknya yang mampu mematahkan lidi yang kini terikat jadi satu. Pelajaran yang diperoleh dari ceritera ini adalah “Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah”. Bubrah seperti “sapu ilang suhe” (suhe = pengikat sapu). Sapu yang kehilangan pengikat akan tercerai berai dan tidak punya kekuatan. Andaikan hal ini terjadi dalam keluarga maka keluarga akan menjadi berantakan. Bagaimana kalau terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?
Guyub Rukun memiliki makna yang hebat. Guyub artinya kebersamaan sedang rukun memiliki makna keselarasan; tanpa pertikaian atau menghindari pertikaian. Guyub rukun sejatinya merupakan ruh kehidupan. Sayangnya, guyub rukun ini semakin sulit ditemui. Masyarakat mungkin saja rukun akan tetapi tidak guyub, artinya tidak ada kebersamaan yang terjalin. Terwujudnya masyarakat yang guyub rukun didasari oleh sikap saling menghormati, empati, tepo seliro, dan lain-lain.
Karenanya, marilah guyub rukun dalam membangun bangsa. Dalam konteks Kementerian Perhubungan, guyub rukun ini menjadi modal dasar agar pembangunan seluruh sektor perhubungan dijadikan modal dasar agar pembangunan Indonesia. Saat ini kemajuan Kementerian Perhubungan ditandai dengan semakin banyaknya infrastruktur yang dibangun. Semua itu merupakan ijtihad pembangunan yang dilakukan pemerintah; sebagai wujud dari kehadirannya di tengah rakyat.
Sebagai upaya mendukung pemerintah, maka masyarakat/rakyat dapat mendukung upaya tersebut. Setidaknya dengan berupaya menyukseskan dan menjaga seluruh fasilitas dan infrastuktur yang sudah dibangun pemerintah. Eksistensi pemerintah dan masyarakat yang saling guyub-rukun mendatangkan hasil guna yang luar biasa. Inilah yang sejatinya segera dilakukan. Dengan terpeliharanya seluruh infrastruktur pembangunan, akan dengan mudah terwujudnya konektivitas dan keselamatan transportasi yang lebih baik.
Konektivitas yang dimaknai dengan adanya keterhubungan satu wilayah dengan wilayah yang lainnya di Indonesia. Dipahami bahwa luas wilayah Indonesia (2.001.648,97 km²) yang terdiri dari daratan (1.904.569 km²) dan lautan (96.079,15 km²) harus dihubungkan dengan jalur transportasi darat, laut dan udara. Konektivitas itu harus dapat berjalan dengan baik. Tidak ada gangguan dan hambatan yang muncul.
Perlu diyakinkan pula, bahwa konektivitas itu harus menjamin keselamatan dalam keterhubungan antarwilayah. Aspek keselamatan merupakan tugas besar yang harus diberikan kepada seluruh masyarakat Indonesia. Hal ini secara parsial dilimpahkan kepada jalur perhubungan darat, laut, dan udara. Kumulatifnya, akan terwujud keselamatan yang memberikan kebaikan bagi bangsa dan negara Indonesia tercinta ini.
Mari terus mengabdi dan berbakti untuk kemajuan negeri.
Selamat Hari Perhubungan Nasional tahun 2018!
***
Penulis adalah Sekretaris pada Dinas Perhubungan Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara.