Oleh: Iptu Rismanto J. Purba,S.H.,M.H
Pada tanggal 28 Agustus 2018, Kapolda Sumut telah mengeluarkan maklumat Nomor: Mak/ 02/VIII/2018 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Aksi Premanisme. Foto stiker dari maklumat Kapolda Sumut tersebut telah menyebar dengan sangat masif melalui media sosial, sehingga dimungkinkan rekan-rekan yang memiliki media sosial seperti whatsapp telah berulang kali menerima kiriman maklumat dimaksud, baik kiriman dari perorangan maupun melalui group.
Penerbitan maklumat tersebut tentunya dilatarbelakangi suatu keadaan di Sumatera yang menurut penilaian Kapolda perlu mendapatkan perhatian serius untuk segera dapat diatasi dalam rangka menciptakan keamanan dan ketertiban di wilayah Provinsi Sumatera Utara.
Sekilas tentang premanisme
Pada saat terminologi premanisme disebut maka dipastikan masing-masing kita sudah memiliki definisi atas terminologi tersebut dan dipastikan definisi yang kita buat pada umumnya adalah berkonotasi negatif. Mungkin ada yang mendefinisikan premanisme itu sebagai aksi sekelompok anak muda yang tergabung dalam suatu organisasi kepemudaan tertentu yang biasa meminta “setoran” dengan istilah “uang keamanan” kepada para pedagang di pasar tradisional, dalam posisi pedagang harus memberi tidak peduli barang yang dijual hanya kangkung ataupun daun ubi.
Selain itu mungkin ada yang mendefinisikan bahwa premanisme itu adalah sekelompok anak muda dengan penampilan amburadul dan terkesan “angker” yang dipastikan akan mendatangi warga yang sedang melakukan rehap atau pembangunan rumah, dengan tujuan untuk meminta sejumlah “uang PS (pemuda setempat)”, dimana apabila permintaan mereka tidak dipenuhi maka dipastikan material bangunan tidak diperkenankan turun dari mobil pengangkut, dalam keadaan seperti ini tidak ada pilihan bagi warga selain memenuhi permintaan, terkecuali warga yang membangun adalah pemegang sabuk hitam karate yang siap bertarung walaupun dikeroyok dua atau tiga anggota “PS”.
Kemudian ada juga yang mungkin mendefinisikan bahwa preman itu adalah sekelompok pemuda yang suka meminta uang dari para supir truk pada saat melewati rute tertentu atau akan memasuki sentra-sentra perekonomian seperti pabrik, pelabuhan, perkebunan dan lain sebagainya, yang apabila uang tidak diberikan maka dimungkinkan supir akan mengalami kekerasan fisik atau kendaraan akan dirusak, dengan keadaan tersebut maka “uang takutpun” harus diberikan.
Setelah melihat pengertian-pengertian premanisme di atas, maka secara substantif definisi yang diberikan selaras dengan definisi yang dapat kita temukan dalam Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas: Premanisme (berasal dari kata bahasa Belanda vrijman=orang bebas, merdeka dan isme = aliran) adalah sebutan peyoratif yang sering digunakan untuk merujuk kepada kegiatan sekelompok orang yang mendapatkan penghasilannya terutama dari pemerasan kelompok masyarakat lain.
Pemberantasan premanisme yang dimaksud dalam tulisan ini adalah pemberantasan dengan pendekatan penegakan hukum pidana sebagai ultimum remidium dalam rangka menertibkan serta menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dalam kehidupan masyarakat guna menciptakan suasana yang aman dan tertib. Namun demikian, dalam praktek pemberantasan premanisme bukanlah persoalan yang mudah, hal tersebut dihubungkan dengan sikap masyarakat yang cenderung tidak mau “direpotkan” dengan proses formal dalam penegakan hukum, serta adanya ketakutan akan kemungkinan ancaman revans dari kelompok preman kepada para korban yang mengajukan proses hukum atas aksi premanisme.
Terkait keadaan ini tentunya masyarakat tidak serta merta dapat dipersalahkan, keadaan tersebut sangat manusiawi dilakukan individu-individu dalam kelompok masyarakat, dalam rangka menyelamatkan diri dan kepentingan masing-masing, terutama masyarakat perkotaan yang cenderung individualis. Walaupun hal tersebut menjadi lahan yang sangat subur untuk tumbuh berkembangnya kelompok premanisme, sebagaimana layaknya serigala atau singa yang ada dalam kawanan zebra atau bison. Serigala atau singa akan leluasa untuk memilih mangsanya tanpa perlawanan yang berarti, paling hanya mengeluarkan sedikit energi untuk berlari, sehingga serigala dan singa senantiasa sehat dan berenergi.
Untuk mengatasi keadaan seperti ini, tentulah diperlukan kehadiran negara, yang direpresentasikan oleh aparat penegak hukumnya, dalam rangka senantiasa memberikan rasa nyaman dan perlindungan kepada masyarakat, dengan garda terdepan dalam proses pidana adalah institusi Polri.
Perlu kreativitas dalam Pemberantasan Premanisme
Begawan sosiologi hukum Indonesia Profesor Satjipto Raharjo yang dikenal dengan teori hukum progresif, sudah menyatakan bahwa hukum perlu kembali pada filosofis dasarnya, yaitu hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Mutu hukum ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi pada kesejahteraan manusia, sehingga hukum progresif menganut ideologi: hukum yang pro-keadilan dan hukum yang pro-rakyat (Teori Hukum Progresif-sergie-zainovsky. blogsot. com). Memperhatikan teori tersebut, maka perlu dilakukan kajian bagaimana instrumen hukum yang tersedia untuk pemberantasan premanisme benar-benar memiliki kemampuan untuk mengabdi pada kesejahteraan manusia sebagaimana teori hukum progresif. Praktek penegakan hukum dalam upaya pemberantasan premanisme yang selama ini dilakukan Polri, menurut penulis cenderung masih menggunakan cara-cara yang standar, sehingga hasilnya dirasakan masih kurang maksimalnya, karena sampai hari ini diakui atau tidak aksi premanisme masih eksis. Cara standar yang dimaksud dalam tulisan ini diartikan bahwa dalam melakukan proses pidana terhadap aksi premanisme yang senantiasa melakukan intimidasi dalam rangka pemerasan, secara umum masih menunggu adanya laporan dari masyarakat korban pemerasan, dengan berpedoman pada rumusan Pasal 1 angka 24 KUHAP.
Setelah adanya laporan akan ditindaklanjuti dengan proses penyidikan, diantaranya memanggil dan meminta keterangan saksi korban dan saksi lain dalam rangka mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu menjadi terang tentang tindak pidana dan menemukan tersangkanya sebagaimana rumusan Pasal 1 angka 2 KUHAP. Proses standar dalam penyidikan tersebut menjadikan masyarakat masih menghitung-hitung untung rugi dari melaporkan aksi premanisme yang mereka alami. Untuk mengatasi permasalahan seperti ini tentunya dibutuhkan kreativitas dari pihak Polri.
Menjadi pertanyaan apakah untuk melakukan proses pidana penyidik harus menunggu adanya laporan masyarakat korban tindak pidana? Tentu tidak, karena sesungguhnya penyidik Polri dimungkinkan untuk membuat sendiri laporan atas kejahatan yang ditemukan yang biasa disebut dengan laporan polisi Model-A. Untuk kejahatan tertentu seperti tindak pidana narkotika, perjudian dan termasuk pemerasan (Premanisme) metode seperti ini akan sangat efisien, pembuktiannya lebih mudah dan sederhana, karena sifatnya adalah tertangkap tangan sebagaimana rumusan Pasal 1 angka 19 KUHAP, yang menjadi saksi dalam peristiwa seperti ini cukup anggota Polri yang melakukan penangkapan.
Untuk saksi korban tidak perlu membuat laporan, cukup diambil keterangan sebagai saksi korban, kemudian dalam rangka menghindari proses pemanggilan dan pemeriksaan yang berulang sampai dengan proses persidangan, maka terhadap saksi korban dimungkinkan dilakukan penyumpahan dalam proses penyidikan, sehingga tidak perlu hadir dalam persidangan, sebagaimana ketentuan Pasal 162 KUHAP, dengan terobosan seperti ini maka pihak Polri cukup memetakan titik-titik rawan aksi premanisme untuk dilakukan pemantauan dan reaksi cepat penindakan apabila menerima informasi akan adanya aksi premanisme.
Hindarkan Kerugian Berganda Bagi Korban Aksi Premanisme
Dalam proses pidana dikenal adanya istilah pengambil alihan atau penyimpanan benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan yang biasa disebut dengan penyitaan sebagaimana rumusan Pasal 1 angka 16 KUHAP. Sedangkan terkait benda yang dapat dilakukan penyitaan diuraikan dalam Pasal 39 KUHAP, meliputi benda sebagai hasil tindak pidana, benda yang digunakan melakukan tindak pidana, benda yang digunakan menghalang-halangi proses pidana, benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan untuk melakukan tindak pidana dan benda yang memiliki hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.
Dalam praktek pemberantasan aksi premanisme, penyitaan terhadap benda yang memiliki hubungan langsung dengan tindak pidana (pemerasan) menjadi momok yang sangat menakutkan bagi para korban aksi premanisme, karena jangkauan dari rumusan tersebut sangat luas dan berpotensi untuk multitafsir. Sebagai contoh kongkrit pada saat dilakukan penindakan terhadap pelaku aksi premanisme yang melakukan pemerasan terhadap para supir truk, maka supir truk dan pemilik truk bukannya senang melainkan cemas, karena besar kemungkinan penyidik akan turut menyita truk sebagai barang bukti, dengan argumentasi pada saat mengalami peristiwa pemerasan, supir berada di dalam truk dan pemerasan dilakukan terkait aktivitas dari truk melintas atau memasuki suatu objek, dengan demikian disimpulkan truk adalah benda yang memiliki hubungan langsung dengan tindak pidana pemerasan. Apabila hal ini yang terjadi supir akan meradang, karena akan kehilangan pekerjaan, sedangkan pemilik truk akan menderita kerugian yang berlipat ganda, apalagi truk miliknya masih berstatus kredit.
Menjadi pertanyaan, apakah apabila truk tidak dilakukan penyitaan maka terhadap pelaku pemerasan tidak dapat dipidana? Jawabannya dipastikan tetap dapat dipidana, karena barang bukti yang terpenting dalam peristiwa ini adalah adanya sejumlah uang yang disita sebagai hasil dari aksi pemerasan atau alat yang digunakan dalam melakukan aksi pemerasan. Namun demikian dalam praktek hal seperti ini lumrah terjadi, apabila penyidik tidak melakukan penyitaan, maka dalam proses penelitian berkas perkara, dimungkinkan pihak Kejaksaan mengembalikan berkas perkara dengan permintaan agar truk turut dijadikan sebagai barang bukti. Pusing sudah!
Dengan keadaan ini seperti ini para pemilik truk lebih memilih memperhitungkan “setoran uang takut” kepada para preman diperhitungkan dalam elemen cost jasa angkutan, hal tersebut akan berkontribusi pada naiknya harga-harga barang. Ujung-ujungnya emak-emak kita jugalah yang “pusing” pada saat belanja kebutuhan di pasar.
Untuk keberhasilan pemberantasan premanisme yang secara nyata-nyata sangat meresahkan masyarakat, mengganggu iklim usaha dan investasi dalam rangka menggerakkan perekonomian bangsa untuk mewujudkan masyarakat yang damai, adil dan makmur, maka sangat dibutuhkan sinergitas antar sesama penegak hukum, terkhusus antara Polri dengan Kejaksaan. Sinergitas akan menghilangkan ego masing-masing pihak, sehingga terhindar dari kekakuan dalam memahami hukum pidana materil dan formil yang digunakan sebagai instrumen dalam pemberantasan aksi premanisme, seperti perdebatan tentang adanya penyumpahan terhadap korban aksi premanisme dalam proses penyidikan dan penyitaan barang bukti terkait aksi premanisme. Hal tersebut tentunya sepanjang tidak berpengaruh pada syarat menimal pemidanaan sebagaimana rumusan Pasal 183 KUHAP, dengan keadaan ini dipastikan hukum akan dapat mengabdi pada kesejahteraan manusia sebagaimana diinginkan teori hukum progresif.
Penutup
Aksi premanisme sudah sedemikian meresahkan bagi masyarakat Sumatera Utara, maka aksi nyata sang pemimpin (Kapolda Sumut) sebagai garda terdepan pemberantasan premanisme sudah dinanti. Salah satu ukuran keberhasilan pemimpin adalah bagaimana dia senantiasa dikenang dan dirindu masyarakat yang dilayaninya, sebagaimana nama Jenderal Sutanto senantiasa dikenang masyarakat Sumatera Utara dalam pemberantasan perjudian.
Saat ini kesempatan itu datang padamu Jenderal, pimpin dan warnailah pemberantasan aksi premanisme di Sumatera Utara, maka namamu akan senantiasa dikenang dan dirindu masyarakat Sumatera Utara. Salam hormat Jenderal. ***
Penulis adalah Perwira Urusan Bantuan Hukum (Paur Bankum) Bidang Hukum Polda Sumut dan merupakan salah satu tim kuasa hukum Kapolda Sumut, saat ini terdaftar sebagai Mahasiswa semester tiga Magister Kenotariatan UMSU (pendapat pribadi).