Benci Pangkal Bodoh

Oleh: Abul Muamar

Rajin pangkal pandai; malas pangkal bodoh. Begitulah dua peribahasa yang sering kita dengar dan serukan pada masa-masa awal sekolah. Meski tak begitu paham, kita sebagai bocah-bocah ingusan tetap semangat menirukan guru-guru kita mengucapkannya.

Saya sendiri baru benar-benar menya­dari kesahihan peribahasa itu ketika me­masuki SMA. Kala itu, terasa betul bahwa jika rajin belajar, saya menjadi pintar. Pe­lajaran-pelajaran sulit dapat saya pa­hami jika belajar dengan rajin. Se­ba­lik­nya, pelajaran yang dianggap mudah se­ka­lipun, tetap akan sulit saya cerna jika saya malas mempelajarinya.

Jika kita boleh menambahkan atau meng­uraikan, pangkal dari pintar atau bo­doh mungkin tak cuma rajin atau ma­las. Pintar, misalnya, bisa juga ber­pang­kal dari rasa ingin tahu, senang dengan ilmu pengetahuan, dan sebagainya.

Sementara bodoh, bisa juga berpang­kal dari sikap tak peduli yang berlebihan, ke­mampuan otak yang lemah, dan rasa tidak suka atau benci. Yang disebutkan ter­akhir ini sering terbukti. Sebuah mata pe­lajaran, misalnya, jika kita sudah ter­lanjur tidak suka dari awal, entah itu pada mata pelajarannya atau pada guru­nya, maka sulit bagi kita untuk memaha­mi­nya, dan akibatnya kita menjadi bodoh dalam mata pelajaran yang bersangkutan.

Kebodohan yang berpangkal dari rasa tidak suka atau benci itu pula yang sering kita temui di hari-hari ini, terutama sejak hari-hari kita diriuhkan oleh polarisasi politik antara kubu pemerintah dengan oposisi.

Perseteruan Politik

Sejak 2014, sudah tiada terhitung lagi kiranya perseteruan antara pendukung dua kubu politik itu. Akar pangkalnya selalu sama, yakni kebencian atau ketidak­sukaan. Menjadi semakin ironis bahwa karnaval kebencian yang acap kita saksikan itu kerap menggarap agama sebagai pemantiknya.

Jika kelompok pemerintah sering di­anggap sekuler dan tak simpatik terhadap agama, oposisi di sisi lain mencitrakan diri sebagai kelompok yang religius dan pem­bela agama. Pendeknya, sekuler ver­sus agamais. Itulah yang secara garis be­sar sering menjadi tontonan kita selama kurang lebih empat tahun terakhir ini, terutama setiap kali membuka lini masa media sosial—meski antara kedua kelompok ini terkadang tidak konsisten dalam mempertahankan cara pandang­nya.

Mendekati 2019, utamanya setelah calon-calon presiden dan calon-calon wakil presiden sudah diketahui, senjata untuk saling serang antara dua kubu tadi semakin inovatif dan canggih-canggih. Langkah kubu petahana yang menggaet ulama sebagai perisai untuk melindungi diri dari tudingan tak simpatik pada aga­ma, rupanya tak membuat kubu opo­sisi ke­ha­bisan akal untuk melan­car­kan sera­ngan. Tiap jejak langkah yang diambil dan tiap tindakan yang dilakukan oleh ke­lompok petahana, seakan tak luput dari pantauan kubu oposisi untuk kemu­di­an dijadikan sasaran tembak.

Teranyar, video Presiden Jokowi yang ber­atraksi dengan menerbangkan motor gede dalam pembukaan Asian Games 2018, yang diketahui menggunakan jasa stunt­man atau pemeran pengganti, juga diserang oleh kubu oposan. Politisi Partai Ge­rindra, misalnya, menilai bahwa Jo­kowi meman­faatkan momentum Asian Games untuk melakukan pencitraan.

“Asian Games ini kan sudah masuk tahun politik. Terlihat sekali Pak Jokowi menggunakan Asian Games untuk pencitraan beliau, memunculkan image bahwa beliau bermotor dan mileneal,” ujar anggota Badan Komunikasi DPP Partai Gerindra, Andre Rosiade, seperti dilansir Detik.com (19/8/2018).

Politisi Partai Demokrat (partai koalisi Gerindra untuk Pemilu Presiden 2019), Ferdinand Huta­hean, setelah mencermati dengan saksama video tersebut, mende­sak Jokowi agar mengaku ke publik soal pe­nyewaan jasa stuntman. Menurutnya, video tersebut membuyarkan fokus pe­non­ton pembukaan Asian Games.

“Dari potongan gambar yang kami teliti, ada beberapa perbe­daan, terutama posisi lambang kepresidenan di dada presiden yang posisinya beda. Kedua, cin­cin pernikahan Pak Jokowi dengan pe­meran pengganti. Memang itu dilaku­kan pemeran pengganti. Beliau ini me­ngam­­bil dan menarik kaum mileneal yang cukup besar pemilihnya (saat Pemi­lu 2019). Pak Jokowi kami minta jujur ke publik untuk menjelaskan karena di media sosial ini terpecah,” kata Ferdi­nand.

Menurut saya, komentar politisi Gerindra maupun Demokrat itu konyol jika dicermati dengan logika. Bagaimana mungkin penonton tidak tahu bahwa Jokowi menyewa jasa stuntman untuk vi­deo tersebut? Namun dalam politik, komentar semacam itu dapat kita maklumi. Para politisi tak akan malu un­tuk melontarkan komentar paling ko­nyol sekalipun demi dapat menjatuhkan la­wan.

Sebelum saya lanjutkan, perlu saya sampaikan bahwa saya bukan pendukung Jokowi, apalagi anggota tim suksesnya. Hanya saja bagi saya, siapapun Presiden Indonesia, perlu kita dukung agar pembangunan negeri ini dapat berjalan dengan baik.

Dan sebagai rakyat, sembari mendu­kung, kita juga harus senantiasa menga­wal dan mengkritik pemerintah agar me­reka bekerja dengan sungguh-sungguh dan maksimal. Dengan kata lain, dalam hal ini kita juga turut mendukung ke­lom­pok oposan jika memang tujuan me­reka adalah mengawal kinerja pe­me­rin­tah, bukan semata-mata ingin merebut ke­kua­saan.

Kembali ke soal reaksi atas video Jo­kowi tadi. Tentu saja, reaksi konyol para politisi itu tidak terlalu menjadi ma­salah jika hanya berputar di sekitaran me­reka. Namun, kenyataannya tidak begitu. Sebagian rakyat, yang jumlahnya tak bisa dibilang sedikit, juga sepakat dan mengamini komentar dua politisi itu. Celakanya, alih-alih memunculkan perdebatan yang sehat, para pendukung kedua kubu malah terjerembab pada per­cekcokan tak berujung, lalu saling me­ngait-ngaitkan video itu dengan ke­ke­li­ruan-kekeliruan masa silam dari masing-ma­sing junjungannya.

Kebencian Memisahkan

Jika kita melihat hari-hari ini rakyat In­donesia seakan tercerai berai, itu tak lain adalah karena kebencian sedang be­ren­demi. Dalam hal ini, Empedokles be­nar. Filsuf era pra-Sokrates itu bilang bah­wa ada dua prinsip yang mengatur pe­rubahan di dalam tatanan alam semesta (baca: masyarakat bernegara), yakni cinta (philotes) dan benci (neikos). Cinta ber­fungsi menyatukan anasir-anasir dalam hidup, sedangkan benci memi­sah­kannya.

Dan bila kebencian itu kita biarkan tum­buh subur, bukan tidak mungkin, ia bukan hanya mence­raikan, tapi juga mematikan kita. Sejarah masa lalu sudah banyak memberi kita contoh bagaimana endemi yang tak terjangkau alat-alat kedokteran ini menghabisi ribuan nyawa manusia. Holocaust Nazi terhadap orang Yahudi, pembantaian umat muslim di Bosnia, dan genosida warga sipil Armenia oleh tentara Utsmaniyah, adalah segelintir di antaranya.

Peristiwa kebodohan yang lahir dari rasa benci seperti reaksi terhadap video Jo­kowi terbang dengan motor itu baru satu. Mundur ke belakang, ada begitu ba­nyak peristiwa-peristiwa kebodohan lain­nya yang ditelurkan oleh kebencian yang telah kita saksikan hampir saban hari.

Sungguh, jika sudah seperti ini, agak­nya sudah bisa kita tambahkan satu pe­ri­bahasa baru untuk melengkapi dua pe­ri­bahasa tadi: Benci Pangkal Bodoh!***

Penulis, alumnus Magister Ilmu Filsafat UGM.

()

Baca Juga

Rekomendasi