Rajin pangkal pandai; malas pangkal bodoh. Begitulah dua peribahasa yang sering kita dengar dan serukan pada masa-masa awal sekolah. Meski tak begitu paham, kita sebagai bocah-bocah ingusan tetap semangat menirukan guru-guru kita mengucapkannya.
Saya sendiri baru benar-benar menyadari kesahihan peribahasa itu ketika memasuki SMA. Kala itu, terasa betul bahwa jika rajin belajar, saya menjadi pintar. Pelajaran-pelajaran sulit dapat saya pahami jika belajar dengan rajin. Sebaliknya, pelajaran yang dianggap mudah sekalipun, tetap akan sulit saya cerna jika saya malas mempelajarinya.
Jika kita boleh menambahkan atau menguraikan, pangkal dari pintar atau bodoh mungkin tak cuma rajin atau malas. Pintar, misalnya, bisa juga berpangkal dari rasa ingin tahu, senang dengan ilmu pengetahuan, dan sebagainya.
Sementara bodoh, bisa juga berpangkal dari sikap tak peduli yang berlebihan, kemampuan otak yang lemah, dan rasa tidak suka atau benci. Yang disebutkan terakhir ini sering terbukti. Sebuah mata pelajaran, misalnya, jika kita sudah terlanjur tidak suka dari awal, entah itu pada mata pelajarannya atau pada gurunya, maka sulit bagi kita untuk memahaminya, dan akibatnya kita menjadi bodoh dalam mata pelajaran yang bersangkutan.
Kebodohan yang berpangkal dari rasa tidak suka atau benci itu pula yang sering kita temui di hari-hari ini, terutama sejak hari-hari kita diriuhkan oleh polarisasi politik antara kubu pemerintah dengan oposisi.
Perseteruan Politik
Sejak 2014, sudah tiada terhitung lagi kiranya perseteruan antara pendukung dua kubu politik itu. Akar pangkalnya selalu sama, yakni kebencian atau ketidaksukaan. Menjadi semakin ironis bahwa karnaval kebencian yang acap kita saksikan itu kerap menggarap agama sebagai pemantiknya.
Jika kelompok pemerintah sering dianggap sekuler dan tak simpatik terhadap agama, oposisi di sisi lain mencitrakan diri sebagai kelompok yang religius dan pembela agama. Pendeknya, sekuler versus agamais. Itulah yang secara garis besar sering menjadi tontonan kita selama kurang lebih empat tahun terakhir ini, terutama setiap kali membuka lini masa media sosial—meski antara kedua kelompok ini terkadang tidak konsisten dalam mempertahankan cara pandangnya.
Mendekati 2019, utamanya setelah calon-calon presiden dan calon-calon wakil presiden sudah diketahui, senjata untuk saling serang antara dua kubu tadi semakin inovatif dan canggih-canggih. Langkah kubu petahana yang menggaet ulama sebagai perisai untuk melindungi diri dari tudingan tak simpatik pada agama, rupanya tak membuat kubu oposisi kehabisan akal untuk melancarkan serangan. Tiap jejak langkah yang diambil dan tiap tindakan yang dilakukan oleh kelompok petahana, seakan tak luput dari pantauan kubu oposisi untuk kemudian dijadikan sasaran tembak.
Teranyar, video Presiden Jokowi yang beratraksi dengan menerbangkan motor gede dalam pembukaan Asian Games 2018, yang diketahui menggunakan jasa stuntman atau pemeran pengganti, juga diserang oleh kubu oposan. Politisi Partai Gerindra, misalnya, menilai bahwa Jokowi memanfaatkan momentum Asian Games untuk melakukan pencitraan.
“Asian Games ini kan sudah masuk tahun politik. Terlihat sekali Pak Jokowi menggunakan Asian Games untuk pencitraan beliau, memunculkan image bahwa beliau bermotor dan mileneal,” ujar anggota Badan Komunikasi DPP Partai Gerindra, Andre Rosiade, seperti dilansir Detik.com (19/8/2018).
Politisi Partai Demokrat (partai koalisi Gerindra untuk Pemilu Presiden 2019), Ferdinand Hutahean, setelah mencermati dengan saksama video tersebut, mendesak Jokowi agar mengaku ke publik soal penyewaan jasa stuntman. Menurutnya, video tersebut membuyarkan fokus penonton pembukaan Asian Games.
“Dari potongan gambar yang kami teliti, ada beberapa perbedaan, terutama posisi lambang kepresidenan di dada presiden yang posisinya beda. Kedua, cincin pernikahan Pak Jokowi dengan pemeran pengganti. Memang itu dilakukan pemeran pengganti. Beliau ini mengambil dan menarik kaum mileneal yang cukup besar pemilihnya (saat Pemilu 2019). Pak Jokowi kami minta jujur ke publik untuk menjelaskan karena di media sosial ini terpecah,” kata Ferdinand.
Menurut saya, komentar politisi Gerindra maupun Demokrat itu konyol jika dicermati dengan logika. Bagaimana mungkin penonton tidak tahu bahwa Jokowi menyewa jasa stuntman untuk video tersebut? Namun dalam politik, komentar semacam itu dapat kita maklumi. Para politisi tak akan malu untuk melontarkan komentar paling konyol sekalipun demi dapat menjatuhkan lawan.
Sebelum saya lanjutkan, perlu saya sampaikan bahwa saya bukan pendukung Jokowi, apalagi anggota tim suksesnya. Hanya saja bagi saya, siapapun Presiden Indonesia, perlu kita dukung agar pembangunan negeri ini dapat berjalan dengan baik.
Dan sebagai rakyat, sembari mendukung, kita juga harus senantiasa mengawal dan mengkritik pemerintah agar mereka bekerja dengan sungguh-sungguh dan maksimal. Dengan kata lain, dalam hal ini kita juga turut mendukung kelompok oposan jika memang tujuan mereka adalah mengawal kinerja pemerintah, bukan semata-mata ingin merebut kekuasaan.
Kembali ke soal reaksi atas video Jokowi tadi. Tentu saja, reaksi konyol para politisi itu tidak terlalu menjadi masalah jika hanya berputar di sekitaran mereka. Namun, kenyataannya tidak begitu. Sebagian rakyat, yang jumlahnya tak bisa dibilang sedikit, juga sepakat dan mengamini komentar dua politisi itu. Celakanya, alih-alih memunculkan perdebatan yang sehat, para pendukung kedua kubu malah terjerembab pada percekcokan tak berujung, lalu saling mengait-ngaitkan video itu dengan kekeliruan-kekeliruan masa silam dari masing-masing junjungannya.
Kebencian Memisahkan
Jika kita melihat hari-hari ini rakyat Indonesia seakan tercerai berai, itu tak lain adalah karena kebencian sedang berendemi. Dalam hal ini, Empedokles benar. Filsuf era pra-Sokrates itu bilang bahwa ada dua prinsip yang mengatur perubahan di dalam tatanan alam semesta (baca: masyarakat bernegara), yakni cinta (philotes) dan benci (neikos). Cinta berfungsi menyatukan anasir-anasir dalam hidup, sedangkan benci memisahkannya.
Dan bila kebencian itu kita biarkan tumbuh subur, bukan tidak mungkin, ia bukan hanya menceraikan, tapi juga mematikan kita. Sejarah masa lalu sudah banyak memberi kita contoh bagaimana endemi yang tak terjangkau alat-alat kedokteran ini menghabisi ribuan nyawa manusia. Holocaust Nazi terhadap orang Yahudi, pembantaian umat muslim di Bosnia, dan genosida warga sipil Armenia oleh tentara Utsmaniyah, adalah segelintir di antaranya.
Peristiwa kebodohan yang lahir dari rasa benci seperti reaksi terhadap video Jokowi terbang dengan motor itu baru satu. Mundur ke belakang, ada begitu banyak peristiwa-peristiwa kebodohan lainnya yang ditelurkan oleh kebencian yang telah kita saksikan hampir saban hari.
Sungguh, jika sudah seperti ini, agaknya sudah bisa kita tambahkan satu peribahasa baru untuk melengkapi dua peribahasa tadi: Benci Pangkal Bodoh!***
Penulis, alumnus Magister Ilmu Filsafat UGM.