Sang Pelestari Gendang Pakpung

sang-pelestari-gendang-pakpung

Oleh: J Anto

DI kedai-kedai kopi orang berbantah identitas kesuku­an­nya. “Ia orang Melayu. Ia orang Jawa!” Tapi ia tak terlalu peduli soal identitas itu. Baginya yang penting, ia bisa ikut menghidupi musik (tradisi) Melayu. Ia dikenal sebagai seniman pembuat gendang pakpung, Yusuf Wibisono.

Pada 1968, usai menyelesaikan sekolahnya di SMA Taman Siswa Medan, Yusuf Wibisono, karib dipanggil Usup, sering keluyuran ke Jalan Bintang. Di Medan, sejak dulu kawasan ini dikenal sebagai sentra pedagang burung. Yusuf memang penggemar burung. Kicauan burung bisa membuat hatinya tentram.

Suatu hari, disela mendengar kicau burung, lamat-lamat ia mendengar suara pakpung bercam­pur suara gesekan biola. Ia terkesi­ma mendengar tetabuhan itu, lalu bergegas menuju ke arah sumber suara.

Ternyata itu suara musik yang berasal dari sebuah kedai kopi. Belakangan ia tahu, orang-orang menyebutnya sebagai Kedai Mak Ijah. Kedai itu berbeda dengan kedai lain yang ada di Jalan Bintang. Di sana ia melihat bebera­pa orang tengah bermain musik. Ada yang tengah memukul gen­dang, memetik biola, dan memain­kan akordeon.

Ada juga beberapa perempuan bernyanyi sambil berpantun. Di depan kedai itu terletak Studio RRI Medan. Para pemusik dan penyanyi itu ternyata seniman Ronggeng Melayu. Hanya di kedai Mak Ijah saja, ada pertunjukan musik ronggeng.

“Itu ronggeng zaman dulu, jago-jago pantun semua pemainnya. Waktu itu saya masih muda, belum tahu apa-apa,” tuturnya saat dijumpai di rumahnya di Jalan Denai Ujung, Medan Denai, Selasa (14/1). Ruko dua lantai itu difungsi­kan sebagai tempat tinggal, tempat berjualan nasi soto oleh istrinya, Suparti, sekaligus tempat memajang gendang pakpung buatannya. Di bagian belakang rumah, ada ruang untuk membubut kayu, mengecat, dan mengikat gendang.

Sejak tahu di Kedai Wak Ijah tiap sore ada pertunjukan ronggeng, ia lalu jadi kepincut musik Melayu. Hampir tiap sore usai membantu ayahnya membuat tempe, ia melenggang ke kedai itu. Ditemani sebotol minuman penghangat tubuh, ia hanyut oleh alunan musik dan tari para ronggeng.

Ia jadi kenal dan karib dengan seniman ronggeng seperti Inong Ridha dan Datuk Rahman (pemain biola), Ahmad Kidal (pemain arkedeon), Buyung Ngalingko dan Chairudin (pemain gendang pakpung), dan sejumlah penyanyi ronggeng seperti Napsiah, Marni, Riboet, dan Janah. Dari mereka juga, Usup tahu bahwa di Jalan Raden Saleh, pinggir Sungai Deli, ada kedai yang setiap malam menggelar pertunjukan ronggeng.

Gendang Istimewa

Suatu hari Chairuddin, alias Tok Udin, yang pada September 2018 lalu menerima Penghargaan Anugerah Kebudayaan Pemerintah Republik Indonesia sebagai Maestro Seni Tradisi dari Sumatera Utara, mengenalkan dirinya pada seorang pemain dan pembuat gendang ternama saat itu. Namanya Yakub.

Usup yang tertarik pada instru­men gendang lalu belajar memain­kan pakpung dari Yakub. Ia bahkan memesan 2 buah. Harganya waktu itu berkisar Rp 8.000 per buah. Tapi Usup tak mau gendang biasa, ia memesan gendang paling bagus.

“Wah, kalau yang paling bagus harganya Rp 10.000 per buah,” ujar Yakub. Usup tak menyoal harga. Bahkan ia minta dibuatkan gendang paling istimewa karena mau dipakai sendiri. Harga gendang akhirnya disepakati jadi Rp 12.000.

Setelah jadi, satu gendang itu ia tinggalkan di Kedai Wak Ijah, satu lagi dibawa pulang. Banyak yang memuji gendang miliknya. Di rumah ia pun mulai berlatih. Di kedai Wak Ijah, ia juga mulai diajak berlatih. Bahkan tak jarang ikut diajak main pada pesta-pesta pernikahan. Tahun-tahun itu, jenis hiburan terbatas. Ronggeng laris-manis diundang acara-acara pesta perkawinan.

Tak hanya disekitar Medan, tapi juga sampai ke Perbaungan dan Tebingtinggi. Namun saat itu ia masih sebagai pemain serep. Artinya, ia diikutkan jika ada yang berhalangan main.

Kisah Usup memulai membuat gendang tergolong cukup unik. Suatu hari datang Tengku Daniel ke rumahnya. Tengku Daniel adalah salah satu pewaris Istana Maimoon, yang juga dikenal sebagai pemain gendang kenamaa istana. Rupanya gendangnya rusak. Usup memberi­tahu bahwa ada orang yang bisa memperbaiki gendang di Pematang­siantar. Ia lalu memerlihatkan gendang miliknya yang pernah rusak dan berhasil diperbaiki.

Tengku Daniel terkesan mende­ngar cerita Usup. Apalagi saat dicoba, suara gendang itu sesuai yang diinginkan. Ia lalu menitipkan gendangnya ke Usup agar diper­baiki. Gendang Usup sendiri akhirnya dipinjam Tengku Daniel.

Sebenarnya Usup tak pernah memperbaiki gendangnya ke Siantar. Gendang itu ia perbaiki sendiri. Waktu itu ia hanya merasa belum percaya diri untuk mem­beritahu bahwa ia bisa memper­baiki. Usup memang seniman otodidak. Ia bisa memainkan alat musik ronggeng seperti biola dan akordeon hanya dengan mendengar, melihat, dan merekam permainan biola Inong Ridho dan Datuk Abdurrahman.

Untuk memperbaiki gendang itu, ia hanya bermodal pengalaman saat melihat Yakub mengikat gendang pesanannya. Ia memang berkali datang ke rumahnya, melihat proses pembuatan gendang pesanannya.

“Kalau mahasiswa belajar seni dengan memegang pulpen, saya belajar seni musik dengan pegang kapak dan tatah,” ujarnya terkekeh. Kapak adalah perkakas yang dulu pernah ia gunakan untuk memben­tuk bongkol kayu kelapa atau mahoni seperti mangkuk. Baru ditatah agar bentuknya makin halus.

Kepada Tengku Daniel, Usup akhirnya ‘buka suara’ bahwa sebenarnya gendangnya diperbaiki sendiri. Tengku Daniel terkesan mendengar cerita itu. Ia mendorong agar Usup membuat gendang melayu. “Tengku Daniel bilang, ia akan ikut mempromosikan saya,” tuturnya.

Ternyata janji itu bukan pepesan kosong. Tengku Lukman Sinar pernah memperbaiki gendang mereka. Bahkan mereka juga memesan gendang ke Usup. Permintaan para seniman ronggeng memperbaiki gendang yang rusak juga bermunculan. Ada yang kulit gendangnya sobek, tali rotan pengikat putus atau suaranya kurang nyaring karena kendor tali sedak-nya (tali terbuat dari rotan kecil yang dimasukan ke dalam gendang untuk menyetel suara gendang).

Ia tak hanya piawai memper­baiki gendang pakpung. Segala alat musik ronggeng yang rusak juga bisa diperbaikinya. Pada 1970 saat mula Usup membuat gendang. Saat itu gendang buatannya dibawa ke sebuah toko alat musik di Kesawan.

Pemilik toko kaget setelah meneliti gendang itu. Ia ragu apakah gendang itu memang buatan Usup. Maklum, waktu itu ia tak kenal Usup. Sudah ada pembuat gendang lain yang menyuplai tokonya. Tapi ia menantang Usup agar membuat 100 gendang dalam sebulan. Harganya disepakati Tp 12.500 per buah. Usup menerima tantangan itu. Saat itu mesin bubut belum ada. Ia lalu mempekerjakan 4 orang untuk membantu pekerjaan­nya.

Saat dikirim ke toko, rupanya kualitas gendang buatan Usup sesuai spesifikasi. Transaksi pun berjalan mulus. Sejak itu, pesanan untuk membuat gendang mengalir. Tak hanya dari toko alat musik, tapi juga instansi pemerintah, sekolah, sanggar-sanggar tari, dan tentu saja dari para seniman ronggeng dan sejumlah budayawan Melayu.

“Pesanan gendang datang dari Jambi, Padang, Pekanbaru, Malaysia, termasuk perorangan yang datang langsung ke rumahnya saat ke Medan,” ujar bapak dari Muham­mad Yunus dan Yusniati itu. Ia misalnya menyebut Ben Benyamin dan politisi Ramadhan Pohan.

Tengku Lisa Nelita pimpinan Sanggar Tari Sri Indera Ratu, anak dari pasangan seniman Melayu kondang, Tengku Daniel Al-Haj dan Sita Syaritsa, dalam akun media sosialnya menyebut bahwa sanggar tarinya banyak mengoleksi gendang melayu buatan Usup. Gendang-gendang itu koleksi dari almarhum kedua orangtuanya.

“Saat Sanggar Tari kami show di Malaysia, Mexico, gendang Pak Yusuf kami tinggal karena permin­ta­an tuan rumah,” tutur Tengku Lisa Nelita. Budayawan Rizaldi Siagan tak menepis jasa Yusuf Wibisono dalam pengembangan gendang melayu.

Gunung Sayang

Gendang pakpung Yusuf diakui punya beberapa kualitas suara nyaring, awet, halus catnya, dan memiliki estetika pada ukirannya. Tentu saja, tiap seniman pembuat gendang punya kiat tersendiri. Menurut suami dari Suparti, ada yang bilang saat mengikat tali rotan ke baluh atau resonator, pembuat gendang mesti bersiul, menyanyi­kan lagu Gunung Sayang, Mak Inang atau Makan Sirih.

Yusuf Wibisono mempraktikkan ‘kepercayaan’ itu. Namun bukan karena ia percaya klenik, tapi lebih karena melihat logika dibaliknya. “Ngiket tali rotan ke beluh itu pekerjaan paling penting saat membuat gendang. Suasana hati harus damai, pikiran harus tenang.”

Hanya orang yang sedang damai hatinya yang bisa bersiul. Jika saat sedang ngiket, Usup mendengar ada kabar tidak baik, ia memilih menunda pekerjaannya. Walau resikonya, pembuatan gendang jadi molor.

Mengikat baluh dengan tali rotan menurutnya juga harus dilakukan malam hari. Itu untuk menghindari tali memuai sehingga harus disetel ulang. Kayu untuk membuat beluh bisa berasal dari bonggol pohon kelapa atau pohon mahoni. Usia pohon jadi faktor menentukan, makin tua makin bagus. Ia memesan bonggol kayu ke panglong. Kayu mahoni makin langka dibanding pohon kelapa.

“Kayu mahoni nggak mudah dimakan rayap dan kalau jatuh nggak pecah,” katanya. Meski begitu, pohon kelapa juga tak kurang bagus untuk bahan gedang pakpung. Ia mengakui, jika jatuh, lebih mudah retak.

Kulit sapi yang dipakai untuk membuat membran di atas permu­ka­an beluh, hanya bisa dibuat untuk satu gendang. Sebesar atau selebar apapun kulit sapi yang ada. Menu­rut Usup hal itu karena kulit sapi yang dipakai untuk membuat membran hanya bagian tengah sampai ke daerah punggung sapi.

Gendang pakpung juga punya ciri khusus, tidak mengandung unsur bahan besi. Untuk menyetel suara gendang dipasang sedak pada bagian membran. Sedak terbuat dari rotan kecil yang liat atau tali fiber. Gendang pakpung tak kenal pasak kayu seperti gendang gamelan Jawa.

Sedak hanya dipasang saat main, hujan turun sehingga suara gendang kurang nyaring. Usai main, harus dibuka,” katanya. Namun menurut Usup, gendang buatannya tak butuh sedak.

“Karena tanpa sedak sudah nyaring suaranya,” ujarnya terbahak berpromosi. Usup mematok harga gendang buatannya antara Rp1 juta - Rp1,5 juta.

Sudah 40 tahun, Yusuf Wibisono mengabdikan energi keseniannya untuk menjaga daya hidup kesenian musik tradisi Melayu. Dalam usianya yang ke-75, ia menyebut lahir pada 1947, Yusuf Wibisono memang sudah mulai mengalami penyakit lupa. Padahal ia salah satu sandaran, begitu istilah etnolog musikologi Rizaldi Siagian, kesenian tradisi Melayu yang masih ada.

Karena itu, ada baiknya kita berge­gas untuk mengkonstruksi narasi seni Melayu tradisi dari sudut seniman pembuat gendang pak­pung.

()

Baca Juga

Rekomendasi