
Oleh: Yohansen W. Gultom. Jenderal bintang lima Amerika Serikat, Douglas Mac Arthur berpendapat bahwa, pasca konflik di Semenanjung Korea (proxy war), sejak 25 Juni 1950 sampai 27 Juli 1953, Korea Selatan akan memerlukan 100 tahun untuk bangkit dari keterpurukan pembangunan, pasca perang. Pasalnya, PDB (Produk Domestik Bruto) negara itu hanya berada pada kisaran US$ 100, atau setara Rp. 1.300.000 (kurs 1$=13.000) (jawapos.com). Hal serupa juga disampaikan sejarawan militer Amerika Serikat, Russel Gugeler dalam buku Korea 1988: A Nation at the Crossroads juga memaparkan bahwa setelah Perang Korea 1950-1953, ada sekitar 48 juta warga miskin yang kelaparan. Negeri yang hancur porak-poranda, terbengkalai dan desa yang tidak terurus (ed. G. Cameron Hurst III, 1998). Sehingga memerlukan waktu yang lama untuk berbenah dari kehancuran.
Meskipun begitu, dalam waktu singkat, seiring berjalannya transisi/peralihan pemerintahan, tahun 1963, Presiden Park Chung Hee yang naik tahta setelah melakukan kudeta terhadap Presiden sebelumnya, Yoon Po-son, nyatanya bertahta dengan menghadirkan berbagai program pembangunan. Upaya modernisasi melalui industrialisasi, akhirnya berujung pada peningkatan ekonomi nasional. Pemerataan pembangunan desa dan kota juga diupayakan dengan program pembangunan pedesaan (rural development), atau dikenal dengan program pembangunan Saemaul Undong yang berlangsung di tahun 1970. Sebuah program pembangunan desa yang langsung dikendalikan oleh Presiden Park Chung Hee sendiri.
Dilansir dari www.thejakartapost.com, disampaikan bahwa pemerintah Korea Selatan, menerapkan program Saemaul Undong di tahun 1970 terhadap 33.267 desa, dengan melalui pembentukan 680.000 training camps untuk pembinaan petani desa terlebih dahulu. Adapun, tahapan pelaksanaan program Saemaul Undong pasca pembinaan petani, terbagi kedalam beberapa fase pembangunan. Yakni; Pertama, dengan prinsip gotong royong setiap petani melakukan kegiatan peningkatan sanitasi dan pembangunan infrastruktur desa. Kemudian, pada fase kedua pengalihan fokus pada modernisasi lahan pertanian seperti membentuk rumah kaca, pembuatan lahan peternakan. Dan, fase terakhir, dilakukan pembangunan pabrik manufaktur, untuk mengubah barang jadi menjadi setengah jadi. Dengan begitu, terjadi peningkatan harga produk desa untuk dipasarkan ke kota (thejakartapost.com 21/10/16).
Akibat dari berhasilnya program pembangunan Korsel kala itu mengakibatkan sekitar tahun 1970 dinobatkannya Korea Selatan, beserta 3 'macan asia' lainnya yaitu; Hongkong, Singapura dan Taiwan untuk masuk sebagai The Asian Newly Industrialized Countries (NICs) dekade tahun 1970-1980an. Dengan pertimbangan, sebagai negara yang mengalami pertumbuhan industri yang sangat cepat, mengandalkan pertumbuhan dari program ekspor, yang dinobatkan oleh IMF, World Bank dan CIA.
Awal pembangunan di Korea Selatan di tahun 1960, terdapat jumlah tenaga kerja penduduk yang bekerja di sektor pertanian, kehutanan dan perikanan mencapai 63%. Sektor pertambangan dan manufaktur 8,7% dan jasa 28,3%. Dampak dari industrialisasi di Korea Selatan perlahan diantisipasi pemerintah dengan penguatan regulasi, dan proteksi pemerintah terhadap kebutuhan rakyatnya, agar tetap dapat bersaing di tengah arus globalisasi.
Pertumbuhan ekonomi di tahun 1970-an dan 1980-an mengharuskan pemerintah Korsel menyediakan pelayanan penempatan tenaga kerja dan program penciptaan tenaga kerja terampil. Di tahun 1980-an, terjadinya kesenjangan antar kelas pada masyarakat, diatasi dengan pembentukan penyusunan UU (Undang-Undang) Upah Minimum (Minimum Wage Act) (1986), UU Kesetaraan Ketenagakerjaan (Equal Employment Act) (1987), UU Peningkatan Pekerjaan (Action Employment Promotion) dan Rehabilitasi Kemampuan Bekerja bagi kaum cacat (Vocational Rehabilitation for the Disable) (1990).
Dan di tahun 1990-an, dalam rangka menangani masalah pengangguran, pemerintah kembali hadir mengeluarkan beberapa peraturan penting, termasuk UU Asuransi Ketenagakerjaan (Employment Insurance Act) (1993), UU Kebijakan Ketenagakerjaan Dasar (Basic Employment Policy Act) (1995) dan UU Peningkatan Pelatihan Kejuruan (Vocational Training Promotion Act) (1997). (Pelayanan Kebudayaan dan Informasi Kementrian Kebudayaan, Olahraga dan Pariwisata, Fakta-fakta tentang Korea, 2008: 113)
Pelaksanaan pembangunan yang begitu pesat di Korea Selatan tentunya dipengaruhi sinergitas antar lembaga pemerintah, serta dukungan penuh dari masyarakat dalam menjalankan regulasi yang telah dihadirkan. Lalu, bagaimana dengan pembangunan di Indonesia?
Arah pembangunan
Berdasarkan publikasi BPS 2016, wilayah geografis Indonesia terdiri dari 34 provinsi, 416 kabupaten, 98 kota, 7.071 kecamatan dan 81.936 desa (termasuk kelurahan dan unit pemukiman transmigrasi/UPT). Dengan hadirnya UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa, kini semakin memperjelas arah pembangunan nasional, sesuai amanat Nawa Cita ke-3, "Membangun Indonesia dari pinggir, dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan".
Sehubungan dengan berlakunya UU Desa No. 6 tahun 2014, membawa implikasi terhadap pengakuan negara atas defenisi dari desa itu sendiri, sebagai kesatuan masyarakat hukum yang berwenang untuk mengatur, dan mengurus urusan pemerintahan berdasarkan prakarsa masyarakat dan hak tradisional yang diakui negara. Hadirnya UU Desa, tentu semakin memperjelas rancangan pembangunan desa dengan adanya; Pertama, Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa dalam jangka 6 tahun.
Kedua, adanya Rencana Pembangunan Desa/Rencana Pembangunan Pemerintah (RKP) dalam jangka waktu 1 tahun sebagai penjabaran dari RPJM. Ketiga, penyusunan perencanaan pembangunan desa juga wajib menyertakan masyarakat melalui Musyawarah Rencana Pembangunan Desa (Musrengbangdes), yang tujuannya untuk meningkatkan partisipasi masyarakat desa.
UU Desa 2014 juga menjadi dasar hukum hadirnya Dana Desa, dengan mempertimbangkan jumlah penduduk (30%), luas wilayah (20%), dan angka kemiskinan desa (50%). Dan ditahun 2019, Dana Desa sebesar Rp. 73 triliun juga akan dialokasikan untuk seluruh desa di Indonesia. Dengan begitu, potensi peningkatan pembangunan desa dan terciptanya kesejahteraan penduduk desa diharapkan dapat meningkat. (detik.com 19/10/18).
Bila menelaah rancangan pembenahan terhadap desa yang terjadi di Indonesia saat ini, menjadi ihwal pembangunan yang patut untuk diapresiasi. Dan, besar harapan agar terciptanya pemerataan pembangunan dan terhindarnya masyarakat dari kemiskinan. Pasalnya, berdasarkan data BPS per Maret 2018, ada sebanyak 25,95 juta (9,82%) penduduk miskin di Indonesia. Selain itu, kesenjangan pembangunan di berbagai daerah juga masih kian terasa, karena penduduk miskin yang tinggal di desa lebih banyak dari pada di kota.
Di Maluku dan Papua saat ini, 29,15% penduduk yang tinggal di desa masih berada pada miskin, sementara di kota hanya 5,03%. Di Bali dan Nusa Tenggara, 17,77% penduduk desa masuk kategori miskin. Dan daerah dengan persentase penduduk miskin terendah adalah Kalimantan, 7,6% (di kota 4,33%) (bbc.com 18/7/18). Dengan begitu, pembangunan juga harus memperhatikan pemerataan pembangunan, agar kekayaan negara dapat dinikmati bersama.
Penutup
Pelajaran yang dapat ditiru dari berhasilnya Korea Selatan bangkit dari keterpurukan, adalah dikarenakan adanya komitmen dari segenap pihak, baik pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat dalam menjalankan program pembangunan. Keberpihakan pemerintah juga dirasakan dalam setiap perkembangan global, sehingga masyarakat mendapatkan pertolongan untuk berbenah. Kiranya hal serupa juga terjadi di bumi Indonesia.
Bukan soal besar atau tidaknya kucuran dana yang diperoleh sehingga pembangunan dinyatakan berhasil, akan tetapi, apakah setiap pemangku kepentingan yang sedang bertugas, dapat dengan amanah menjalankan kewajibannya, serta berupaya memanfaatkan potensi yang ada, dengan melibatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan. Semoga. ***
*Penulis adalah analis politik pembangunan.