
Oleh: Dr. Iman Sjahputra, SH., Sp.N., LL.M
BOLEH jadi pemilik dan manajemen restoran fast food terkenal dunia McDonald’s tidak bisa tidur lelap. Sebab merek yang dibangga-banggakan selama ini Big Mac dihapus dari kantor pendaftaran merek HKI (Hak Kekayaan Intelektual) Negara Uni Eropa. Persisnya di Alicante, Spanyol.
Apa sebab? Tentu kita semua tahu, merek Mc Donald’s, namanya sudah tidak asing lagi, apalagi di hampir belahan bumi ini gerainya eksis dan berada di lokasi yang strategis. Menu makanan McDonald’s ini terdiri dari berbagai jenis hamburger dengan rasa ayam dan sapi.
Umumnya burger ini laris dimata anak-anak dan kaula muda. Ternyata salah satu menu produk burger itu rupanya menyandang merek “Big Mac”, yang telah diproduksi Mc Donald’s sejak tahun 1967. Merek ini memicu perselisihan dengan saingannya “Supermac’s” produk dari Irlandia. Alasan McDonald’s bahwa perusahaannya selain banyak memakai nama “Mc” seperti McFlurry, McNuggets, McMuffin. Ada juga merek “Big Mac” yang terdaftar pada tahun 1996 oleh perusahaan McDonald’s di Uni Eropa.
Terdaftarnya merek Big Mac membuat perusahaan sejenis sangat gusar yakni Supermac’s. Sebab tidak dapat mengekspansi perusahaannya di Negara Uni Eropa, meskipun perusahaan Supermac’s telah membuka cabang sekitar 100 outlet.
Tidak ada cara lain, upayanya adalah mengajukan penghapusan merek melalui kantor merek HKI Uni Eropa. Itulah langkah yang diambil perusahaan Supermac’s. Dan berhasil, kantor HKI Uni Eropa menghapus Big Mac yang terdaftar atas nama McDonald’s Corporation pada bulan Januari 2019, baru-baru ini.
Argumentasi penghapusan pun dikemukakan oleh kantor HKI Uni Eropa. Salah satunya adalah tidak dapat membuktikan dipakainya merek Big Mac secara yakin selama 5 tahun sebelum tahun 2017, walaupun pihak McDonald’s mampu mengajukan bukti print out internet berupa promosi; poster; packaging dan penjualan di Eropa, yang menurut hakim HKI dari Kantor HKI Uni Eropa adalah tidak cukup.
Memang suatu bukti pakai (statement of Use} bagi eksistensi suatu merek adalah suatu keharusan. Tidak jarang suatu pihak yang mendaftar suatu merek tidak memakainya. Efeknya pihak lain yang ingin memakai merek tersebut tidak dapat memproduksi barang atau jasa yang diinginkan. Karena telah terblokir oleh pihak lain yang terdaftar atas merek tersebut.
Oleh karenanya Undang-Undang Merek pada hampir keseluruhan Negara dunia ini mensyaratkan adanya suatu pemakaian atau produksi barang atas suatu merek terdaftar. Tidak bedanya dengan Negara Indonesia, Undang-Undang Merek 2016 dalam salah satu pasal menyebut terhadap suatu merek yang telah terdaftar, akan tetapi tidak dipakai selama 3 (tiga) tahun berturut-turut dalam perdagangan barang dan atau jasa dapat diajukan Gugatan Pembatalan melalui Pengadilan Niaga oleh pihak ketiga. (Pasal 74 ayat 1).
Filosofi timbulnya pasal ini adalah bertujuan untuk melindungi pihak yang mau berdagang dan berniat untuk memakai suatu merek yang diinginkan, namun telah terdaftar atas nama suatu pihak yang tidak memproduksi barang dan atau jasa.
Alhasil, ada pihak yang dirugikan. Kasus demi kasus merek terdaftar, tapi tidak digunakan banyak menghiasi dunia praktik di Pengadilan Niaga, di Indonesia. Salah satu kasus yang menarik adalah kasus IKEA International melawan IKEA lokal. Awal kasus bermula dari pihak Ikea International, bermarkas di 2 Hullenbergweg, Belanda menggugat sebuah perusahaan Surabaya, PT. Ratania Khatulistiwa. Alasannya merek “IKEA” adalah merek terkenal dan telah dipakai di banyak Negara termasuk di Indonesia.
Namun dalam Putusan Mahkamah Agung No. 264/K/Pdt-Sus-HKI/2015, Mahkamah Agung telah memenangkan Ikea lokal, dengan pertimbangan bahwa Merek yang tidak digunakan oleh pemiliknya selama 3 tahun berturut-turut sejak tanggal pendaftaran, dapat dihapus dari Daftar Umum Merek, didasarkan pada hasil survei pasar, tanpa perlu mempertimbangkan kreditibilitas lembaga surveynya.
Kedua pengetahuan hakim di luar persidangan tidak diakui sebagai fakta hukum. Dengan demikian meskipun kita tahu Ikea telah berdiri di Tangerang, Indonesia, tapi alasannya tidak dapat menjadi bukti fakta hukum. Nah, bagaimana produsen yang telah mendaftar, tapi tidak memakai mereknya? Perlu waspada.
Penulis adalah pakar HKI (Hak Kekayaan Intelektual, berdomisili di Jakarta).