Oleh: Arian Pangestu.
“Manuver” politik yang di lakukan seorang tokoh selalu menjadi peristiwa dan ingatan kolektif bangsa. Peristiwa selalu melahirkan "imajinasi", itu fungsi dari sebuah "peristiwa" yang menemukan momentumnya. Dari peristiwa itu kita dapat mengambil pelajaran juncto pengalaman: "peristiwa" politik yang pernah terjadi di bangsa ini (khususnya masa politik "demokrasi liberal" ke "demokrasi terpimpin"). Dari peristiwa politik itu mengingatkan kita pada seorang tokoh, jika tidak berlebihan sebagaimana Sjahrir, ia seorang pemikir yang melampaui zamannya. Tidak lain, Bung Hatta.
Sudah setengah abad lebih usia "Demokrasi Kita" yang ditulis oleh Bung Hatta. Saya membayangkan para elite politik dan partai adalah para pemikir kritis yang selalu menjadikan politik bukan sebagai alat tukar tambah kekuasaan sesaat, melainkan politik diselenggarakan sebagai pelembagaan normativisme demokrasi yang sarat akan nilai-nilai adiluhung: mendistribusikan keadilan dan kesejahteraan seluas-luasnya sebagai proyek jangka panjang.
Tentu ada prasyarat untuk mencapai cita-cita itu, jika elite politik menyingkirkan oportunisnya, bahwa pedagogis (politics educator) harus mendahului demagogis. Hari ini kita tidak melihat itu. Kita tidak melihat gagasan besar diucapkan dalam pertandingan politik. Sebaliknya, yang terlihat justru transaksi politiknya. Akhirnya idealisme tidak berbanding lurus dengan realitasnya. Dalil itu juga yang diucapkan 59 tahun silam ketika Bung Hatta tidak segan mengkritik kawan seperjuangannya: Bung Karno.
Dalam renungannya Bung Hatta mengatakan: "...Idealisme, yang menciptakan suatu pemerintahan yang adil yang akan melaksanakan demokrasi yang sebaik-baiknya dan kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya. Realitanya, dari pada pemerintahan, yang dalam perkembangannya kelihatan makin jauh dari demokrasi yang sebenarnya.
Suasana itulah yang kita rasakan saat ini. Persoalan politik dan demokrasi yang memburuk menjadi benang merah dengan keadaan kita sekarang. Barangkali itulah renungan tajam dari Bung Hatta yang masih relevan untuk kita ucapkan ulang pikiran dan tindakannya, bahwa tidak ada demokrasi tanpa warga negara, akan tetapi pikiran dan tindakan politik akan selalu ada meski tidak atau ada partai politik.
Cita-cita Demokrasi
Tidak dipungkiri demokrasi yang dicita-citakan Bung Hatta membuka ruang untuk kita perdebatkan. Misalnya, apakah konsepsi demokrasi Indonesia berlandaskan kolektivisme atau individualisme yang menyusu pada sang induk "Barat" atau "Timur". Terlepas dari wilayah konsepsi itu, dulu tahun 1950-an atau yang sering kita sebut "demokrasi liberal" adalah demokrasi yang diselenggarakan dengan "pertarungan gagasan".
Etika politik dijadikan semacam rambu-rambu, kendati ada gesekan, tetapi keakraban tetap dirawat dalam kehangatan antar warga negara. Mutu demokrasi hanya dapat diwujudkan dari mutu pendidikan politiknya. Suasana waktu itu mempunyai pikiran yang sama untuk menuju "political right". Akan tetapi, kegembiraan dalam upaya memajukan demokrasi tidak berlangsung lama ketika Bung Karno menutup percakapan politik yang menurutnya "demokrasi liberal" cangkokan dari "Barat", demokrasi yang gemar "baku-hantam" satu sama lain demi kepentingan partai.
Kemudian Bung Karno memperkenalkan sistem baru "demokrasi terpimpin" yang dalam prakteknya sangat otoriter. Soekarnoisme semacam menjadi "jimat politik" dalam melanggengkan gaungnya bahwa revolusi belum usai. otoritarianisme itu berlanjut ke rezim "Order Baru". Sebab, "demokrasi Pancasila" ala Soeharto hanyalah varian lain dari "demokrasi terpimpin" ala Bung Karno.
Kita tahu indeks demokrasi begitu buruk. Penghinaan terhadap hak asasi manusia terjadi di masa itu. Percakapan politik harus se-iya-sekata dengan bahasa tubuh politik pemerintahan rezim "Oder Baru". Kebebasan adalah harga yang begitu mahal untuk ditebus. Namun, sebagaimana keyakinan Bung Hatta, demokrasi tidak lenyap dari bumi Indonesia. Demokrasi hanya sedang mengalami krisis. Krisis panjang demokrasi pun berakhir pascareformasi 1998.
Kini setelah 21 tahun reformasi, demokrasi seharusnya menemukan kembali aqidahnya: kebebasan. Memang kita menikmati kebebasan, dan ketika kita memilih menggunakan hak kebebasan di dalam politik untuk menunjuk hidung anggota partai guna memperjuangkan kepentingan warga negara (citizenship politic) di Senayan, sebaliknya justru mereka "mengkudetanya" dari dalam.
Itu pentingnya pendidikan politik harus diselenggarakan terus menerus. Pasal-pasal dalam RKUHP yang menimbulkan kecemasan citizenship disebabkan ketidaktahuan pembuat kebijakan untuk mengucapkan hak-hak individualisme, ketidakcukupan memahami ilmu pengetahuan. Pasal aborsi dan perzinaan misalnya, apakah sudah dirajam dengan "pisau" feminisme? itu pentingnya paradigma. Paradigma itulah yang mestinya ada di kepala para pembuat kebijakan atau undang-undang.
Hal yang sama juga terjadi pada UU KPK. Psikologi masyarakat meyakini UU KPK dibuat bukan dalam upaya memperkuat KPK, melainkan sebaliknya: melemahkan. Tuntutan masyarakat dan mahasiswa jelas. Batalkan, bukan tunda. Benar, bahwa demokrasi tidak mempunyai hati nurani karena "organ tubuh" demokrasi yang bekerja hanya satu: akal pikiran. Bukan "akal bulus" seharusnya. Lalu jika "perwakilan rakyat" itu keliru, bukan "demos" yang salah, melainkan "krasi". RKUHP dan UU KPK dibuat oleh lembaga (krasi) yang dipilih oleh rakyat (demos). Apakah kita menyesal? Itu soal hati. Tidak mengulangi untuk mempercayai "perwakilan"--"krasi" itu soal akal (pikiran).
Nasi telah menjadi loyang. Puisi telah menjadi prosa dalam intepretasi sebaliknya. Akan tetapi, sebagaimana 59 tahun silam Bung Hatta percaya nilai-nilai dan cita-cita demokrasi guna menghasilkan keadilan dan kesejahteraan seluas mungkin, kendati dihadang oleh pelbagai kepentingan dan kerakusan penguasa. Harapan itu harus kita upayakan pada jalan politik yang baru: jalan politik milenial (2024). Seperti yang dikatakan filsuf Alain Badiou: politics is the art of attacking impossible.
Oleh karena itu, watak politik "Orde Baru" dan sebelumnya yang hipokrit dan oportunis harus ditinggalkan jika percaya "politik adalah seni yang mungkin" untuk mengubah yang tak mungkin. Dalam suasana politik semacam ini, perlu rasanya meneguhkan hati mencari ahli waris pikiran Bung Hatta yang akan terus menerus meminjam Pramoedya: adil sejak dalam pikiran. ***
Penulis adalah, pemerhati masalah sosial dan politik.