Tiada Dusta di Lapo

tiada-dusta-di-lapo

Oleh: Jenny Gichara

INI malam terakhir aku bertemu Noctur. Jadi, aku harus  menggunakan kesempatan baik ini. Noctur adalah cerita tentang malam panjang dalam cinta tentang kehidupan. Aku dan Noctur biasa bercerita tentang apa pun di saat malam panjang setelah lelah dari peredaran kehidupan.  Saatnya menuangkan segala rasa, asa, dan raga.

Noctur gagah, seperti itu aku biasa memanggilnya. Ketika malam tiba, itu awal kehidupan cinta kita. Malam pekat saat timbulnya kekuatan untuk mencinta. Sungguh, betapa sulitnya mengeja kembali setiap luruhan larik yang terpenggal dan tak pernah sempurna itu. Keinginan besar di masa lalu begitu menggebu untuk menggapai Noctur, tapi akhirnya kandas di tiang konflik.

Nada! Akulah wanita itu. Wanita yang menepi di kaki gunung biru dengan segala kegundahan. Noctur telah mengungkapkan seluruh cintanya yang menggelora. Ia berjanji akan menerjang semua rintangan. Tak peduli bentuk badai apa pun. Tapi sayangnya, cinta benar-benar harus mati ketika bapak bersabda dengan ultimatum menggelegar. Mamakku saja sampai mengkeret, ratu bawelnya mati total. Ia hanya mampu duduk terpojok menatap bapak dari kejauhan dengan wajah bergidik. Ketakutan!

“Nada,” suara bapak  memanggil namaku.

Aku mendekat ke arahnya sambil mencium aroma tuak khas lapo kesukaannya dari bau tubuh dan mulutnya. Bapak tak pernah meng­ubah kebiasaannya minum-minum di lapo sampai pagi hingga pulang membawa amarah.

Dulu aku suka bertanya kenapa bapak suka mabuk-mabukan di lapo, lalu pulang ke rumah hanya untuk menumpahkan kemarahan pada keluarga. Ia bilang, aku tahu apa tentang lapo. Katanya lapo itu adalah lapangan politik. Orang bebas bicara apa saja di lapo sampai subuh. Lapo itu tempat ekspresi orang-orang yang waras dan gundah-gulana juga menurutku. Tempat pertemuan teman-teman seangkatan, sekam­pung halaman, bahkan bisa lawan. Di lapo ada tawa, sedih, nostalgia, hiburan, dan tepuk tangan. Mungkin banyak orang terpuaskan bila singgah di lapo. Tiada dusta di lapo. Barangkali itu daya tarik yang tak bisa bapak tinggalkan.

“Duduk,” perintahnya tegas.

Aku pun duduk, persis di depan bapak. Bukan menantangnya, tapi karena aku tahu betul sifat Bapak. Kalau ia dipatuhi saat marah, segalanya pasti aman. Tapi jangan coba-coba menyela pembicaraan. Apalagi tak bermutu dan tak punya relevansi. Pasti kena sembur dengan suara halilintarnya. Namun bila jawaban kita menohok dan pas dengan pertanyaannya, biasanya ia melemah. Hanya aku yang tahu sifat bapak. Kalau kakak dan abangku biasanya langsung nembak dan tanpa basa-basi menghadapi bapak. Makanya mereka sering kena skak mat.

“Bapak mau bicara sama kamu, Nada.”

 “Tentang apa, Pak?”

 “Tentang Noctur.”

 Dadaku berdegup kencang. Pasti ada yang tidak beres, pikirku. Ia sudah beberapa kali mempersoalkan nama Noctur. Tampaknya  bapak alergi mendengar namanya.  Noctur, kekasih dan hidupku. Tinggal selangkah lagi menuju hidup bahagia, tapi terhalang bapak. Apalagi yang kurang? Kuliah udah kelar. Peker­jaanku dan Noctur pun sudah mapan. Lalu, apa yang salah?

Kehidupan pacaranku juga baik-baik saja. No married by accident. Semuanya baik-baik saja. Adakah sesuatu? Mungkin karena hutang, dendam, dan gengsi?

“Jangan kau jadikan Noctur suamimu, boruku.”

“Kenapa, Pak? Aku sangat mencintainya.”

“Aku tak pernah bisa mengampuni bapak si Noctur itu.”

“Kenapa? Bapak ‘kan berurusan dengan bapaknya. Kenapa anaknya ikut dibenci?”

“Panjang ceritanya. Kau tak ‘kan pernah paham.”

“Lagian, kenapa saling benci, sih? Bukannya lebih baik berkawan atau berbisnis?”

Bapak memandangku serius.

“Hari gini? Orang tua masih bermusuhan? Saat anak-anaknya bersiap  menikah?”

“Nada….”

“Teladan apa yang bisa bapak tinggalkan untukku dengan memusuhi teman kecil sendiri?”

“Nada….” Suara bapak makin keras.

“Aku nggak ngerti jalan pikiran Bapak, Bapak keras….”

“Ah, kau tak bisa merasakannya. Masa lalu yang begitu suram.”

“Tapi itu masa lalu, Pak. Kenapa mendendam begitu lama?”

“Kau tak pernah mengerti apa arti sakit hati, Nada.”

“Bapak juga tak pernah mengerti sakit hatiku bila harus berpisah dari Noctur.”

“Tapi masih banyak pria lain yang lebih pantas untukmu.”

“Masih banyak waktu juga bagi Bapak untuk saling mengampuni. Sudahlah, Pak, gak ada gunanya balas dendam.”

“Tidak bisa! Bapak si Noctur mengambil seluruh ladang kita secara paksa. Eh, bukan bapaknya, tapi Oppungnya meraup seluruh harta kita. Gara-gara hutang warisan.”

“’Kan sudah lama berlalu, Pak. Jangan-jangan mereka sudah melu­pa­kannya. Noctur juga mungkin gak tahu-menahu tentang konflik orang tuanya. Kami berdua sama-sama lahir tanpa bisa memilih orang tua tanpa hutang. Lalu, apa salah Noctur?”

“Pokoknya…Jangan menikah dengan dia, sayangku. Keluarganya menyengsarakan hidup kita selama puluhan tahun. Jangan sampai ada keturunan mereka masuk ke dalam keluarga kita. Bisa kacau,” bujuk  bapak.

Tapi, menurutku larangan itu tidak adil. Bapak tak peduli dengan alasanku. Itu artinya kartu mati bagiku. Aku tak bisa berkutik. Bapak sudah menetapkan keputusan yang tak bisa diganggu-gugat.

Sementara itu, bayangan Noctur melintas jelas, kemudian meng­hilang. Ia pergi merantau jauh sampai aku kehilangan jejak. Namun, wajah Noctur tetap ada dalam hari-hariku. Kusimpan hati dan wajahnya rapat-rapat dalam relung hatiku. Hari-hariku berjalan dalam sepi tapi kadang ramai, tetapi  sebenarnya tetap aja sepi.

Dulu cinta kami sangat ramai dan indah. Kami kuliah di kota Medan yang sama. Seakan kota itu adalah milik kami berdua. Noctur sering menggan­deng tanganku saat jalan-jalan sore atau nonton film saat weekend. Tangannya menggamit ping­gang­ku dan terkadang aku bersandar di dadanya yang bidang. Sesekali ia mencium bibirku dengan lembut. Anehnya, tempat hang out kesukaan kami juga tetap lapo. Makanan favorit kami adalah ikan mas arsik dan manuk na pinadar. Seakan kami berdua juga mendapat kutukan untuk mencintai lapo sebagai tempat favorit untuk berkencan.

“Bapakku suka nangkring di lapo,” ucap Noctur.

“Bapakku juga,” jawabku tak mau kalah.

“Bapakku pintar nyanyi dan main musik. Kalau sudah nyanyi, wuih penonton langsung terbius.”

“Bapakku juga. Dalam koor gereja, suaranya pa­ling mantap di bagian bass. Kalau bapak gak ikut paduan suara setiap Minggu, pasti gak rame.”

“Oh, ya?”

“Jangan-jangan mereka dulu sama-sama meng­gem­balakan kerbau di kampung.”

“Bisa jadi. Tapi musuhan setelah timbul masalah tanah.”

“Jangan-jangan mereka pernah mampir di lapo ini. Kepergok, langsung buang muka, lalu bubar.”

“Mungkin. Saking gengsinya, mereka duduk membelakangi, lalu pulang tanpa basa-basi.”

“Tak ada sapa, apalagi canda.”

“Padahal lapo bisa menjadi tempat yang jujur. Segala kenangan di kampung halaman tertebus di suasana lapo.”

“Ngopi dan nyanyi. Dua hal yang tak bisa dipisahkan.”

“Tidak bagi bapak kita berdua.”

“Orang tua ternyata lebih penden­dam dibanding anak-anaknya.”

“Tiada ada dusta di lapo, bagi mereka tidak berlaku.”

“Bagi kita berdua, apa dong, namanya?”

“Bagi kita berdua namanya cinta sampai ke langit ketujuh.”

“Benar, Noctur? Are you serious?”

“Kita harus menyatu, sayang. Sampai maut memisahkan kita. Aku akan meminangmu jadi istriku. Dalam waktu dekat. Sedekat hatiku saat ini.”

“Sampai maut memisahkan?” tanyaku tak percaya.

Tapi, benar saja, tak sampai datangnya maut, Bapak sudah memi­sahkan kami. Apakah Bapak tidak pernah jatuh cinta, ya? Kok kejam nian sama aku? Cinta anaknya diberangus sampai ngilu di ulu hati.

**

Lalu, hari-hariku dimakan riak amarah dan kerinduan. Di mana Noctur? Kenapa ia tak kunjung melamarku? Seakan dikutuk cinta, tak ada kata berpisah darinya. Tapi, gak tau juga kapan menyatunya. Antara berakhir dan tidak, aku pun tak tahu apalagi sebutannya.

Bayi mungilku bertambah besar dan semakin montok. Hidupku berjalan bersama pria pilihan bapakku. Lagi-lagi aku dijadikan tumbal untuk urusan bisnisnya. Hari-hariku bagai di dalam penjara emas. Aku tahu Noctur masih menungguku. Ah, entahlah.           

Pesta gotilon atau panen segera tiba di kampung. Anak-anak rantau mulai pulang saat libur panjang. Betapa sulitnya mengubur bayangan Noctur. Dalam hati aku mau marah. Tapi pada siapa? Kenapa Noctur menghilang begitu saja tanpa perjuangan? Itukah namanya cinta? Akan berlalukah pesta gotilon ini tanpa Noctur?

Tanpa diduga, suatu malam kami bertemu dengan warna yang sangat jauh  berbeda. Tepatnya ketika mamanya sakit keras. Dia masih sendiri dan memandangku termangu. Ragu, rindu, kaku, dan gagu. Namun, rasa rinduku bergolak dahsyat. Jiwaku melompat dan pikiranku berkecamuk di luar kesadaran. Aku seakan baru menemukan mutiara yang hilang selama puluhan tahun karena terpental entah ke mana. Ingin rasanya terbang ke pelukannya, mencium kening, dan bibirnya bagai dulu.  Tapi, bisikan halus seakan melarang aku melakukannya. Kedua tanganku jatuh melemah. Betapa menyakit­kannya momen itu!

Kedua tangan kami berjabatan. Dingin sedingin salju. Tidak bisa lagi menggandeng apalagi bergelayut manja. Mata kami beradu. Penuh dendam rindu tapi terkunci bisu. Aku menatap bola matanya, mencari-cari warna kesungguhan.  Masih ada tertinggal. Ya, masih begitu pekatnya cinta itu.

“Aku ‘gak ngerti kenapa kau tinggalkan aku tanpa pesan sedikit pun,” protesku masih dengan mena­tapnya kaku.

“Batin dan pikiranku sangat sakit dan terluka. Bapakmu jelas meng­hinaku saat aku mau pamit ke rumah­mu 15 tahun lalu. Aku tak diberi waktu sedikit pun untuk bertemu denganmu.”

“Masa?”

“Kakiku aja dijegal bapak sampai aku terpental. Belum lagi ajudannya menghantam  tubuhku dari belakang. Dosa apa yang kuperbuat sampai bapak begitu dendam padaku.”

“Haaaaa?”Mataku membelalak. Jantungku berdegup membayangkan wajah bapak. Bapak turut andil menjerumuskan aku ke lubuk perih yang paling dalam.

“Maafkan, bapakku. Aku ‘gak tahu kau diperlaku­kan begitu.”

Noctur menatapku.

“Sudahlah. Sudah berlalu.  Mau apa lagi?”

“Maafkanlah. Kini dia sudah tiada. Sudah pergi selama-lamanya. Tinggal mama yang hidup bersa­maku. Kakak dan adik jauh di Jakarta.

“Untuk itu aku datang. Aku mau menebus kesalahanku. Menebus janjiku.”

“Tapi, aku….”

“Aku tahu. Kau sudah memilih orang lain. Itu sangat baik, setidaknya memberi jawaban atas kegalauanku daripada menungguku tanpa kepas­tian. Tapi, kau harus tahu,  aku tetap setia menunggumu. Sampai kau tak membutuhkanku lagi.”

“Jangan ngomong begitu.”

“Jadi aku harus ngomong apa? Apalagi yang harus kukatakan?”

“Kau membuatku sedih dan gelisah.”

“Ternyata aku kalah. Sia-sia aku pergi untuk menunggumu kembali. Ternyata aku pulang hanya untuk menemukan puing-puing cinta.”

Air mataku menetes. Aku belum pernah menemukan cinta Noctur yang sangat  kuat.

“Maafkan aku, Noc.”

Tanganku kuulurkan. Kugenggam jemarinya yang dingin dan gemetar. Masih disembunyikannya bola mata­nya yang berair. Aku tahu ia pura-pura saja mengalihkan pandangan ke tempat lain. Mencari setitik pemandangan teduh, tapi tetap saja perih dan tak kuasa menolak tangis. Air mata kesedihan. Air mata pilu.

“Aku memang salah. Tidak menunggumu pulang.

Tapi, bapak memaksaku menikah dengan orang lain demi menyelamatkan bisnisnya.”

“Gak apa-apa, Nada. Aku juga bersa­lah. Tak memberimu kabar apa pun seakan aku puas bila tak melihatmu lagi. Nyata­nya, aku tidak bisa bertahan. Wajah dan suaramu selalu memanggil namaku lewat mimpi dan angin malam. Lewat kisah malam-malam kita.”

Noctur memeluk diriku perlahan dan se­makin rapat. Malam-malam panjang ber­lalu tanpa kesudahan sampai akhirnya pagi tiba. Aku sendiri lupa berada di mana.

Telepon genggamku tiba-tiba berde­ring lantang. Suara kejam mencabik-cabik te­lingaku.

“Kamu di mana, Nada?”

“Aku sedang….”

“Aku tahu kamu ada di mana.”

Cepat-cepat seluruh barang kukemasi.

Mama Noctur mengingatkanku agar berhati-hati saat mau pulang.

“Maafkan aku, Mama. Hanya sekali ini saja aku hadir. Jangan berprasangka. Segala sesuatunya sudah jelas. Aku tak akan bermimpi lagi.”

Kupeluk mama Noctur yang sedang ter­baring di rumahnya. Mama Noctur se­olah menjadi mama kedua bagiku. Ia orang yang paling sedih ketika mende­ngarku menikah dengan orang lain. Noctur mena­tap­ku sedih saat mau pulang. 

“Semuanya akan baik-baik saja, Noc. Percayalah. Ini sudah bagian dari hidupku. Menikah dengan orang yang tidak kucintai dan berlaku kejam.”

“Asal kau tahu saja, aku tak ‘kan pernah membiarkan itu terjadi.”

“Biarlah, Noc. Jangan masuk lagi dalam hidupku. Pikirkan juga masa depanmu.”

“Inilah masa depanku. Dirimu!”

“Noctur, jangan berbuat gila.”

“Akan kubuktikan bahwa Brat salah pilih. Aku yang berhak atas kesempatan itu.”

“Jangan, Noc. Berbahaya.”

“Aku sudah biasa dengan bahaya dan maut.”

“Sudahlah, aku pulang. Peluk cium buat mama.”

Aku tahu Brat dan teman-teman­nya akan segera menyusul. Seberapa kuatnya pun aku melarang, ia pasti tidak peduli. Ia akan terus menerjang sampai yakin bahwa aku pulang. Kemudian, ia akan menarik tanganku bagai  seorang tawanan perang.

Dalam perjalanan pulang, Brat meluncur, tapi aku sudah nyaris tiba di rumah.

Terdengar dering di telepon geng­gam­ku berkali-kali.

“Kamu dari mana? Maumu apa?” suara Brat menggelegar hebat.

Aku tahu itu pertanda petaka. Emosi yang meledak-ledak tidak akan pernah menyelesaikan semua­nya.

“Aku sudah di rumah. Tenang saja,” jawabku.

“Tapi, kamu sudah….”

Tiba-tiba kontak terputus. Tak ada nada sambung. Mati total.

Hanya dalam hitungan menit, teman kantor Brat meneleponku.

“Nada, kamu harus kuat. Brat baru sa­ja mengalami kecelakaan. Dia mencoba menyalib tadi saat mau pulang ke rumah, tapi sayang sebuah truk menghantam mo­bilnya dari depan.”

Aku menjerit kaget. Tapi mulutku su­dah terkatup rapat saat aku menemukan diriku terbaring di rumah sakit yang sangat sepi.

“Brat sudah pergi. Tidak ada yang me­nemaninya di rumah duka. Kamu harus ke sana,” bujuk mertuaku.

Mataku berkunang-kunang saat ber­jalan menuju rumah duka. Ratusan tamu su­dah hadir. Mereka berlomba menya­la­miku sem­bari memberi peluk cium. Piki­ranku me­layang, seakan berada di negeri mimpi.

Tidak ada tanda buruk bahwa Brat akan segera pergi. Pembicaraan dalam ming­­gu ini tak ada yang spesial tentang hari buruk. Hidup memang penuh misteri. Ketika peti masuk ke liang lahat, aku baru sadar bahwa aku tak akan pernah lagi me­lihat Brat. Bagaimana pun getirnya, aku pernah hidup bersamanya dalam ta­hun-tahun kehidupan. Aku tak pernah men­duga kehidupan Brat akan berakhir dengan cara yang tragis.

Dua tahun berjalan, aku masih menabur bunga di pusara Brat. Noctur datang men­jemputku pulang.

“Noctur bukan lagi binatang malam yang membuatmu terus bermimpi. Ia hadir untuk memberimu sinar kehidupan.”

“Noctur.”

Ia memelukku. Sungguh erat dan melekat. Rasanya masih seperti pelukan tahun-tahun silam.

“Tak perlu kau matikan rasamu. Aku pulang memenuhi janjiku.” (JEN). ***

  Tangsel, 20 Mei 2019 ( 22.55)

Catatan:

Lapo: Rumah makan khas Batak

Tuak: Minuman dari pohon aren/tuak

Ikan mas arsik: sejenis masakan khas Batak tanpa minyak.

Manuk na pinadar: ayam dimasak dengan bumbu pedas dan darah

Boru: panggilan sayang untuk anak perempuan

Oppung: kakek atau nenek

Pesta gotilon: pesta panen padi.

()

Baca Juga

Rekomendasi