
Oleh: Muhammad Idris Nasution.
Hasil searching di mesin pencarian Google, dari beberapa situs yang ditampilkan di halaman pertama, pada umumnya mengartikan ta’aruf sebagai proses perjodohan. Disebutkan bahwa ta'aruf adalah kegiatan berkunjung kerumah seseorang untuk berkenalan dengan penghuninya sebagai menjadi langkah awal untuk mengenalkan dua keluarga yang akan menjodohkan salah satu anggota keluarga. Ta’aruf merupakan proses bertemunya laki-laki dan perempuan yang mempunyai tujuan untuk menikah dengan mengikutsertakan orang lain. Dengan lebih meyakinkan, sebuah situs mengungkapkan bahwa ta’aruf yang dimaksud di sini ialah perkenalan dalam rangka menindaklanjuti kejenjang lebih serius dalam menunaikan sunnah Nabi.
Seperti inilah arti ta’ruf diperkenalkan kepada kita melalui dunia maya. Beginilah makna ta’ruf dipresentasikan saat sekarang ini kepada pengakses internet yang mayoritas merupakan generasi milineal. Ta’aruf dijadikan sebagai sebuah konsep untuk member legitimasi praktik-praktik perjodohan oleh kalangan tertentu yang dinilai berbeda dengan konsep pacaran atau perjodohan di luar Islam. Ta’aruf dipromosikan untuk kemudian dibandingkan dan dipertentangkan dengan pacaran. Ta’aruf itu halal, sesuai sunnah, dan islami, sedangkan pacaran itu haram, budaya Barat dan tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam.Sampai di sini kita melihat istilah ta ’aruf diartikan secara sempit dan terbatas.
Di dalam Alquran, kita menemukan istilah taaruf dijadikan sebagai sebuah konsep penting dalam merespons keberagaman dan kebhinnekaan, sebagai modal utama dalam merajut dan merekatkan persaudaraan dan persatuan. Allah berfirman dalam Surat Al-Hujurat (Kamar-Kamar): 13, berdasarkan terjamah versi Kemenag,
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal (li ta’arafu). Sesung guhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha teliti.”
Makna Ta’ruf Menurut Tafsir
Kata ta’aruf merupakan bentuk tsulatsi mazid (kata yang asalnya terdiri dari tiga huruf kemudian ditambahkan padanya dua huruf lain). Tiga huruf asalnya adalah ‘ain, ra` dan fa`, dalam kamus Al-Munawwir dapat diartikan ‘mengenal, mengetahui’. Penambahan huruf ta` di awal dan alif di antara ‘ain dan ra` membentuk arti tambahan pula pada kata ini, yakni al-musyarakah, persekutuan antara dua subjek atau lebih. Karena itu dalam terjamah ayat ini di atas, kata ta’arafu diartikan ‘saling mengenal’. Saling mengenal berarti pengenalan itu bersifat timbal-balik, antara satu pihak dengan pihak lainnya saling mengenal (‘arafa ba’dhuhum ba’dha).
Membaca terjamah ayat ta’aruf (QS Al-Hujurat:13) di atas, dapat dikatakan tidak ada kaitan khusus dengan proses perjodohan atau upaya saling mengenal sebelum jenjang pernikahan. Walaupun memang sebab turun ayat ini, menurut sebagian ahli tafsir berkaitan dengan perkawinan. Abu Daud mencatat di dalam kitabnya, Al-Marasil, bersumber dari Az-Zuhri. Rasulullah menyuruh Bani Bayadhah dari kalangan Anshar untuk menikahkan seorang lelaki, Abu Hind, seorang maula (budak)di Bani Bayadhah, dengan salah seorang permpuan dari suku mereka. Mereka berkomentar: Puteri kami menikahi maula kami (dengan nada keberatan karena mereka menganggap lelaki tersebut tidak seterhormat suku mereka). Lalu turunlah ayat tersebut di atas. Mazhab Maliki juga mengaitkan ayat ini dengan soal kafaah dalam perkawinan, bahwa dalam perkawinan tidak diharuskan kafaah selain agama.
Untuk mendapatkan makna lebih utuh dari konsep ta’aruf yang diusung di dalam ayat ini, baik untuk membaca ayat ini secara keseluruhan. Ayat ini secara ringkas menerangkan bahwa Allah menciptakan manusia dari perkawinan seorang laki-laki bernama Adam dengan seorang perempuan bernama Hawa`. Dalam hal ini semua manusia sama bernenek moyang kepada mereka. Bahwa kemudian terjadi perbedaan, berbeda suku dan bangsa, berbeda warna kulit, berbeda bahasa dan budaya, bukan untuk dibentur-benturkan tetapi untuk dijadikan sebagai sebuah kekayaan dan keindahan. Perbedaan-perbedaan seperti tersebut tidak untuk diagung-agungkan dan dimulia-muliakan karena kemuliaan seseorang di sisi Allah, Sang Pencipta, berdasarkan derajat ketakwaan masing-masing, yang mana sangat tersembunyi, dan firman Allah, “Dialah yang mengetahui siapa yang bertakwa.” (QS An-Najm (Bintang): 32)
Ta’aruf dalam ayat ini adalah dalam rangka itu, respons yang semestinya kita lakukan menyangkut perbedaan dan kebhinnekaan antara kita. Pemilihan kata ta’aruf ini sendiri mengungkap prinsip-prinsip yang harus kita pegang dalam bersikap dan bertindak untuk menjaga persatuan dan persaudaraan.
Pertama, dalam bahasa Arab, terdapat kata yang artinya dekat dengan asal kata ta’aruf, yakni ‘alama, asal kata ilmu. Tetapi ayat tidak menggunakan kata tersebut namun lebih memilih menggunakan kata ta’aruf. Pengetahuan dan pengenalan dalam kata ini lebih kompleks daripada ilmu. Dia membentuk tashawwur (penggambaran) bukan sekadar tashdiq (pembenaran). Dia lebih spesifik sampai pada zat suatu objek sedangkan ilmu lebih condong pada sifat. Dia memang lebih meyakinkan sehingga menghilangkan kebimbangan daripada ilmu. Jadi ta’aruf dalam hal ini bukan sekadar tahu dan kenal. Implementasinya dapat dilihat dari bagaimana dahulu petualang Islam hendak mengikatkan diri pada kelompok orang yang mereka hadapi, mereka sampai mendalami tradisi dan budaya (‘urf) orang tersebut, sehingga mampu memasukkan nilai-nilai Islam di dalamnya dan jelas membuat masyarakat tertarik tanpa merasa diperkosa dan ditelanjangi.
Kedua, masih berbicara terkait huruf-huruf pembentuk kata ini: ‘ain-ra`’fa`, yang dapat membentuk kata al-‘arf, yang berarti ‘bau harum’ dan al-‘urf, yang berarti kebajikan. Arti ini penting dalam membentuk ta’aruf, bahwa ta’aruf mengedepankan keharuman dan kebajikan, hal-hal yang dinilai bagus atau ma’ruf. Demikianlah mestinya dalam membangun dan membina persatuan, untuk merakit dan merekatkan perbedaan bahwa yang harus dikedepankan adalah nilai-nilai kebajikan antara sesama. Bahwa setiap orang memiliki nilai-nilai kebajikan yang layak untuk dihormati. Pula nilai-nilai kebaikan itu terdapat pada setiap orang tanpa membedakan ras, suku, golongan dan warna kulitnya. Dapat kita lihat ketika negeri ini dilanda bencana, setiap orang dari berbagai macam latar belakang bahu-membahu memberikan pertolongan. Masih hangat pula ketika rusuh kemarin, masyarakat lokal di Papua memberikan perlindungan kepada para perantau di sebuah gereja mereka.
Ketiga, prinsip mendasar dalam ta’aruf ini adalah asas timbal-balik itu sendiri. Bahwa antara satu dengan yang lain harus ada iktikad baik untuk mengenal. Tidak benar kalau kita menuntut untuk dipahami padahal kita sendiri tidak ada iktikad untuk memahami orang lain. Untuk mendapatakan pengenalan lebih mendalam, tentu diperlukan hubungan baik agar informasi dapat dipertukarkan secara baik dan benar. Permusuhan dan pertikaian justru kerap timbul karena kesalahan informasi atau kesalahpahaman terhadap informasi yang didapatkan. Barangkali contoh-contohnya telah sering kita baca karena banyak berseliweran di berbagai media massa baik cetak maupun daring.
Demikianlah sekilas di antara prinsip-prinsip ta’aruf yang mesti diejawantahkan dalam kehidupan kita berbangsa dan benegara, bukan sekadar bicara perjodohan, agar tetap terbina persatuan dan kesatuan di tengah perbedaan-perbedaan yang belakangan ini sering sekali dibentur-benturkan antara satu dengan yang lainnya. Wallahu a’lam.
Penulis adalah Calon Hakim Pengadilan Agama Kabanjahe, sekarang bertugas di Pengadilan Agama Ciamis.