Monumen Pahlawan Jadi Identitas Kota

monumen-pahlawan-jadi-identitas-kota

Oleh: Rhinto Sustono. Setiap kali menapaki penanggalan 10 November, ingatan kita akan terbawa pada masa berkecamuknya perang revolusi merebut sekaligus mempertahankan kemerdekaan. Sejumlah kota menjadi saksi peristiwa bersejarah itu. Monumen pun dibangun untuk menyadarkan ingatan kita dan bagi generasi penerus.

Selain betapa pentingnya menjaga sejarah demi semangat bela negara, keberadaan monumen di sejumlah kota besar di Indonesia juga dimaksudkan untuk memperindah tatanan kota. Pada aspek inilah, arsitektur muncul dan dibutuhkan. Bukan sekadar ada, tapi keberadaan arsiektur monumen juga jadi pelengkap bagi penelusuran studi sejarah, pun studi sejarah arsitektur yang mewakili masanya.

Meski peristiwa heroik 10 November yang kelak diperingati sebagai Hari Pahlawan berangkat dari peristiwa Pertempuran Surabaya – yang dipicu kesalahpahaman berimbas pada terbunuhnya Jenderal AWS Mallaby dan membuat Inggris naik pitam terhadap Indonesia, akhirnya pihak Inggris melalui Mayor Jenderal Eric Carden Mansergh  mengeluarkan ultimatum yang memerintahkan bangsa Indonesia agar menyerah pada 10 November 1945 – namun monumen bersejarah tentang perjuangan bangsa ini tidak hanya berada di Kota Pahlawan, Surabaya.

Sejumlah kota besar di Pulau Jawa, sebut saja Yogyakarta (Jogja), Bandung, dan lainnya juga tetap merawat ingatan peristiwa bersejarah yang diwujudkan dalam bentuk monumen. Kekinian, monumen itu menjadi ikon, menjadi identitas wilayah tersebut.

Yogyakarta memiliki ikon yang terkenal dengan tugu putihnya. Ikon Kota Pelajar ini berada di tengah perempatan antara Jalan Mangkubumi, Jalan Jendral Sudirman, Jalan A.M Sangaji, dan Jalan Diponegoro. Sepanjang hari, ada banyak wisatawan asing maupun lokal yang mengabadikan kawasan ini dengan kameranya. Tak hanya menjadi spot foto, di balik kemegahan Tugu Jogja menyimpan sejarah panjang perjuangan bangsa.

Dari kajian sejarah, arsitektur tugu ini kali pertama didirikan pada 1755 oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I (pendiri Keraton Yogyakarta).  Awalnya, bangunan ini berfungsi sebagai penanda batas utara Kota Tua Jogja. Bentuk awlanya hanya silinder yang mengerucut ke atas setinggi 25 meter, bagian dasarnya dilengkapi pagar melingkar, dan puncaknya berbentuk bulat.

Saat gempa tektonik menggungcang Kota Gudeg pada 10 Juni 1867, hampir sepertiga pilar tugu patah. Setelah terbengkalai sekian lama, saat Sri Sultan Hamengku Buwono VII memimpin, tugu itu direnovasi dan diresmikan pada 3 Oktober 1889. Hingga kini, tugu berusia 264 tahun itu pun tetap kokoh berdiri menjadi ikon Kota Gudeg.

Di Kota Pahlawan, bukti aksi heroik “Arek-arek Surabaya” diabadikan pada bangunan Monumen Tugu Pahlawan Surabaya setinggi  41,15 meter. Monumen ini berbentuk paku terbalik atau juga dikenal sebagai bentuk lingga. Pada bagian fisiknya dihiasi 10 buah canalures (lengkungan-lengkungan) yang terbagi pada sebelas ruas.

Jumlah lengkung dan ruas inilah yang menjadi filosofi pengingat “tanggal 10 bulan 11” (10 November), salah satu tanggal bersejarah untuk bangsa Indonesia.

Nun jauh di seberang Jawa, juga terdapat monumen bersejarah yang juga menjadi ikon kota. Persisnya di tepi Sungai Siak, di sekitar kompleks Kerajaan Siak Sri Indrapura, Riau. Monumen ini mengisahkan perjuangan Sultan Syarif Hasyim dan Sultan Syarif Kasim II (1892-1968) menentang penjajahan Belanda.

Pahlawan Nasional

Pada relief monumen, terdapat  sejumlah catatan peristiwa penting dari sosok Sultan Syarif Kasim II yang sudah dinobatkan sebagai pahlawan nasional ini. Sebut saja peristiwa pertempuran melawan Belanda di Selat Akar dipimpin Koyan pada 1931, peresmian Lapangan Udara Simpang Tiga Pekanbaru (kini Bandara Sultan Syarif Kasim II) yang dilakukan sultan  bersama permaisurinya pada 1937, pengibaran Merah-Putih untuk kali pertama di Siak pada 17 Oktober 1945, dan caatan sejarah lainnya.

Monumen yang menjadi penyempurna keseluruhan arsitektur Istana Siak – yang sempat ditinggalkan Sultan Syarif Kasim II untuk menjalankan tugas sebagai penasihat pribadi Presiden Soekarno dalam membujuk raja-raja di Sumatera Timur (kini Sumatera Utara) untuk bergabung dengan NKRI – juga merawat ingatan sejarah tentang sikap dermawan Sultan Syarif Kasim II yang menyerahkan sebagian hartanya, sebesar 13 juta gulden dan tiga gantang emas, untuk membantu perang kemerdekaan pada 1945. Di sela menjadi penasihat pribadi Soekarno, Syarif Kasim II juga membantu perjuangan di Aceh, dengan bergabung dalam Barisan Ksatria Divisi Rencong pimpinan Ali Hasjmy.

Lalu bagaimana dengan keberadaan arsitektur monumen di Kota Medan? Sebagai kota terbesar ketiga di Indonesia, Kota Medan juga menyimpan sederetan kisah kepahlawanan. Tak heran sejumlah monumen bersejarah juga dibangun menghiasi wajah kota. Sebut saja Tugu Perjuangan Medan Area atau Tugu Apollo di Jalan Sutomo, Medan Timur.

Tugu ini dibangun untuk mengingat perjuangan rakyat Medan melawan tentara sekutu pascaproklamasi kemerdekaan. Peristiwa Pertempuran Medan Area pada 9 Oktober 1945 menjadi catatan sejarah perjuangan bangsa. Pada pertempuran itu, tentara NICA memukul mundur pasukan Indonesia (laskar dan rakyat Kota Medan). Kota perjuangan pun berpindah ke Pematangsiantar.

Sayang, monumen bersejarah ini seperti kehilangan ruhnya. Jangankan diingat dan dijadikan warisan sejarah, pemerintah daerah bahkan enggan merawatnya.

Termasuk Monumen Perjuangan Kemerdekaan yang berada di sudut sisi timur Lapangan Merdeka. Disayangkan bangunan yang menyimpan nilai historis tinggi ini dibiarkan tak terawat. Monumen berelief perjuangan tersebut seolah tak layak untuk dilihat. Bahkan tak jarang, sampah berserakan di sekitarnya.

Pun sejumlah tetenger (prasasti) di beberapa titik Kota Medan, yang kondisinya diterlantarkan tanpa perawatan. Lihat saja yang ada di Simpang Limun, di dekat Jalan Selamat/Jalan Sisingamangaraja, di dekat jalan layang Amplas, dan di sejumlah tempat lainnya. Kondisi tetenger di Kota Medan berbanding terbalik dengan yang ada di Kompleks Kantor Direksi PTPN2 Tanungmorawa dan di seberang kantor tersebut, persisnya di samping Gang Stal, Kompleks Perumahan Karyawan PTPN2 yang masih terjaga dan berpagar rapi.

Dua monumen lainnya di Kota Medan, seperti Patung Guru Patimpus di Jalan S Parman dan Monumen Perjuangan Angkatan ’66 di Jalan HM Yamin dekat rel kereta api masih lumayan bernasib mujur. Keduanya sedikit terawat karena posisinya dekat persimpangan dan dekat sejumlah objek vital.

Sejatinya, sebuah tugu maupun monumen perjuangan kemerdekaan memiliki makna penting bagi bangsa ini. Selain untuk tetap menanamkan rasa patriotism dan cinta tanah air bagi generasi berikutnya, keberadaan monumen juga menjadi saksi sebuah peradaban.

Dalam kajian arsitektur, monumen tak sekadar benda mati tanpa makna, tapi bisa mewakili peradaban arsitektur pada masanya. Kekinian, monumen yang terjaga dan terawatt bahkan menjadi penanda identitas sebuah kota.

()

Baca Juga

Rekomendasi