
Oleh: Nurhalim Tanjung. Google maps sebenarnya sudah memberi sinyal: jarak tempuh Banda Aceh ke Medan via Meulaboh sekira 790 km. Artinya, hampir 200 km lebih panjang ketimbang perjalanan lewat pantai timur yang cuma 600,5 km. Tapi aku cuek, tetap memilih jalur pantai barat untuk pulang ke Medan.
Bayangan menyusuri aspal tepi laut mulai Lhoknga hingga Tapaktuan mengalahkan peringatan Google maps itu. Panorama Samudera Hindia lebih menggoda, apalagi langsung berhadapan dengan vegetasi hutan Gunung Paro hingga Gunung Geurutee di Aceh Jaya. Maka menyusuri jalur Banda Aceh-Medan lewat pantai barat membuatku serasa berada di antara Samudera Hindia dan belantara hutan pegunungan Aceh sekaligus. Asyik, kan..?
Biarlah perjalanan pulang menjadi lebih jauh. Dan lebih lama pula. Toh, pepatah bilang "banyak berjalan, banyak yang ditengok" dan "semakin panjang perjalanan, pasti banyak tempat disinggahi." Kebetulan saya memang pengen nengok-nengok dan singgah di tempat-tempat keren sepanjang perjalanan pulang ke Medan dari Banda Aceh.
Badan jalan beraspal mulus dari Banda Aceh. Deburan ombak mengiringi perjalananku bersama isteri, anak, dan adik sejak dari Lhoknga, Aceh Besar. Mobil jalan menanjak memasuki kawasan Gunung Paro sampai kawasan pegunungan Geurutee akhir Agustus lalu. Aspal menghitam karena basah diterpa hujan selepas Lhoknga tadi.
Berpanorama Laut
Tiba di Geurutee, kami singgah di kedai yang berpanorama laut. Gugusan pulau di tengah samudera tersusun elok menggoda mata. Pepohonan hutan Geurutee pun memberi sambutan dengan mengirimkan sepasang Siamang berikut bayinya untuk menyapa kami. Mungkin keluarga Siamang. Kami pun bercengkrama, bahkan sempat berkongsi durian Aceh yang kuning berlemak.
Puas mampir di Geurutee, kami melanjutkan perjalanan ke Calang, terus ke Meulaboh. Badan jalan semakin bagus dan lebar di sini. Kabarnya, tsunami pada akhir tahun 2006 membuat banyak negara asing mengulurkan tangan, termasuk dengan membangun jalan berteknologi tinggi di atas rawa-rawa hingga menembus bukit. Jalanan ini diperlukan untuk evakuasi dan memberi pertolongan sewaktu-waktu, mengingat daerah-daerah di pantai barat Aceh, seperti Lamno dan Calang mengalami kerusakan parah akibat tsunami tempo hari.
SPBU dari Pertamina pun lumayan banyak di sepanjang jalur ini, bahkan standby 24 jam. Tapi kalau pas waktu sholat biasanya pelayanannya berhenti sejenak. Begitu pun jauh lebih baik, ketimbang pelayanan SPBU di jalur tengah Aceh di Tanah Gayo mulai Bener Meriah sampe Gayo Lues terus Kotacane, yang rata-rata beroperasi sampai pkl. 9.00 malam saja, bahkan ada yang pukul 6.00 sore sudah tutup. Makanya banyak pelintas yang kehabisan bensin di jalur tengah itu seringkali terpaksa menunggu pagi di sana, sampai SPBU buka lagi.
Pokoknya, pengendara di jalur pantai barat tak akan mengalami nasib seperti pelintas di jalur tengah Aceh. Karena itu, kami pun tak perlu mencemaskan ketersediaan bensin, pasti selalu ada SPBU yang siap melayani sepanjang pantai barat Aceh ini. Mobil tak akan pernah kehabisan bensin, dijamin bisa meluncur dengan lancar.
Saat masuk Blangpidie setelah meninggalkan Meulaboh, debur ombak nyaris tak terdengar lagi. Tapi memasuki Tapaktuan, Aceh Selatan, badan jalan kembali bersisian dengan laut. Sayangnya, kami menyusuri jalanan di sini kala dini hari. Gelap. Makanya, tak bisa menikmati panorama laut, kecuali mendengarkan deburannya menghantam pantai.
Mobil terus mengikuti badan jalan yang kembali menjauh dari laut, karena mulai memasuki kawasan pegunungan menuju Kota Subulussalam yang berbatasan dengan Pakpak Bharat, Sumatera Utara. Kami berhenti sejenak di Subulussalam, memerhatikan kesibukan pasar saat subuh mulai masuk. Pedagang dan pembeli sudah heboh bertransaksi, sementara pasokan sayuran dan rempah terus diturunkan dari banyak pick-up oleh pemasok. 1 Panorama Samudera Hindia dari Geurutee semakin menggoda dengan sambutan keluarga Siamang
Pagi masih dingin. Kami pun bergerak meninggalkan Subulussalam. Aspal jalan tetap mulus di wilayah Provinsi Aceh tersebut. Namun memasuki Pakpak Bharat mobil mendadak berguncang keras. Memang ada jalanan yang mulus, mungkin baru diperbaiki sebagian. Tapi kemudian kembali berlubang-lubang, meski ada pengerasan di sana-sini. Satu truk yang membawa muatan material bangunan tampak terbalik di sepanjang jalan ini, satu pick-up mengalami patah as, satu double cabin terdiam dengan posisi kap terbuka, sedangkan satu truk alat berat terperosok ke bahu jalan sehingga terkapar tak berdaya. Untung truk itu tertahan tebing yang berada di sisi jalan, meski tetap tak bisa melanjutkan perjalanan.
Syukur, mobil kami tak mengalami nasib naas sepanjang jalan tersebut, kecuali kami merasakan pegal-pegal hingga sakit pinggang. "Kalau perempuan sering lewat jalan kayak gini, bisa turun peranakannya," ungkap isteriku. Saya tersenyum kecut mendengarnya, begitu pula Agek, adikku yang sedang menyetir.
Jalan Rusak
Aku masih ingat ketika diminta mengisi pelatihan untuk para wartawan dan humas pemerintah kota Subulussalam setahun lalu, walikota yang membuka acara tersebut sempat melontarkan protes tentang kondisi jalan di kawasan Pakpak Bharat itu. "Kondisi jalan itu sudah bertahun-tahun rusak, tapi entah kenapa Sumut belum juga memperbaikinya, padahal merupakan jalur utama ke Aceh dan sebaliknya," kata pak wali Subulussalam sambil melirikku yang duduk di sebelahnya. Malu juga disindir begitu. Muka pun langsung berubah merah rasanya.
Kini jalanan di kawasan Pakpak Bharat memang mulai ada upaya perbaikan, walaupun korban berupa truk, pick-up, dan kendaraan lain masih berjatuhan. Perbaikan tidak sekaligus nampaknya, melainkan sepotong-sepotong, seolah proyek multiyears aja. Mungkin karena kupak-kapiknya sudah bertahun-tahun maka perbaikannya pun mau dibikin bertahun-tahun pula. Who knows?
Alhamdulillah, setelah lolos dari lobang jalan di Pakpak Bharat, kami masuk Dairi saat pagi semakin merekah. Badan jalan lumayan bagus di sini, hutan di kanan-kirinya pun menyemburkan udara dingin yg menggigilkan. Tak perlu menghidupkan AC di sini, kecuali ingin beku dalam kabin mobil.
Kami mampir di Sidikalang, ibukota Kabupaten Dairi. Sarapan dan menyeruput kopi panas di kota kopi ini. Lega. Meski jarak Kota Medan masih sekira 150 km lagi dari sini, tapi rasanya kami sudah tiba di rumah. Malah sudah membayangkan tukang kusuk sedang menyetel urat yang pegal di badan dan pinggang gara-gara menyusuri jalanan di Pakpak Bharat. Gara-gara Pakpak Bharat ya, bukan jalanan sepanjang pantai barat Aceh yang mengesankan itu. ***