Tionghoa Kebun Sayur, Apa Kabarmu?

tionghoa-kebun-sayur-apa-kabarmu

Oleh: J Anto.

SEBUTAN Tionghoa Kebun Sayur, berawal saat kuli kontrak Tionghoa bebas sebagai kuli  kontrak di perkebunan. Untuk meng­hidupi diri dan keluarganya, mereka membuka kebun sayur di sekitar perkebunan dan kampung-kampung Melayu. Sejarah me­mer­lihatkan, walau awalnya sebutan itu lebih sebagai pelecehan, namun banyak Tionghoa kebun sayur berhasil keluar dari himpitan ekonomi. Meski tak sedikit yang gagal, dan kini tengah berjuang untuk mengejar ketertinggalan tersebut.

Dua ekor ayam jantan hitam  yang berada di teras rumah itu segera berlari begitu Direktur Pendidikan Perguruan Dharma Bakti Lubuk Pakam, Jenny Centanu, bersama anggota Divisi  Pendidi­kan Yayasan Dharma Bakti, Rudy Rahman turun dari mobil dan melangkah ke teras rumah. Seekor dari ayam itu, masih sempat berak di atas lantai teras rumah berdinding papan beratap seng dan sebagian, di bagian kuda-kuda  dan plafon terbuat dari tepas daun rumbia yang sudah bolong di sana-sini.

Pemilik rumah itu, The A Hoe (67). Ia janda dengan 5 anak (3 perempuan dan 2 laki-laki).  Semuanya telah berkeluarga. A Hoe telah dikaruniai  15 cucu. Ia tinggal di Dusun IV, Desa Denai Sarangburung, Kecamatan Pantailabu, Kabupaten Deliserdang. Suaminya, Tan Khi Seng meninggal  pada Januari 1999  saat berusia 50 tahun.

Pasangan suami-isteri ini dulunya bekerja menjaring udang halus di Pantai­labu, tak jauh dari rumah mereka. “Rumah kami dulu numpang di atas tanah milik tengku Melayu,” tutur A Hoe, Selasa (5/11). Sejak tahun 2000, mereka telah memiliki tanah sendiri. Tak jauh dari lokasi rumah lama mereka. Sebelum melaut, Khi Seng telah melakoni ragam pekerjaan, di antaranya pernah menjadi penjaga ternak babi.

Saat memutuskan untuk melaut, ia tak memilih seperti nelayan lain yang mencari ikan ke tengah laut. Ia menjadi nelayan langge (jaring halus). Kerjanya mencari udang halus atau rebon (acetes). Orang Sumatera Utara menyebutnya udang kecepe. Bentuk udang itu mirip ebi, namun lebih kurus. Udang kecepe, banyak digunakan untuk menumis, penyedap nasi goreng kampung, mi, bahkan sayur tauco, termasuk untuk membuat  terasi (belacan) medan yang terkenal itu.

Udang kecepe diperoleh saat air laut pasang. Biasanya pada malam sampai pagi, saat air laut pasang dengan mengenakan bakiak (teklek) bertumit setinggi 50 cm, Khi Seng berjalan menyibak air laut. Dingin air laut di malam hari sudah hal biasa. Sembari berjalan, kedua tangannya mengembangkan langge selebar 8 meter dan panjang kira-kira 2 - 3 meter.

Jika tengah musim udang kecepe, sekali melaut, mulai pukul 24.00 WIB hingga dini hari, pasangan suami-isteri ini bisa membawa pulang sampai 60 kg. “Tapi kalau tidak sedang musim,  paling hanya bawa pulang 1 atau 2 kg, kadang bahkan tidak sama sekali,” tutur A Hoe.

A Hoe sendiri ikut melaut bukan sekadar untuk menonton suaminya. Begitu air laut mulai surut, ia bergegas ke tengah laut. Beberapa karung goni dibawanya serta.

Dapat Sembilang

A Hoe lalu jongkok, tangannya dima­suk­kan  ke dalam pasir, mengorek pasir laut. Dari pasir itu keluarlah kerang-kerang hijau kecil yang memiliki kulit halus. Nelayan menyebutnya kupang. Di kalang­an peternak bebek di Lubukpakam, kupang adalah pakan utama bebek. Dalam sema­lam, ia bisa membawa pulang 2 - 3 karung kupang.

Pernah suatu malam saat jari tangannya masuk ke pasir, jarinya digigit ikan sembilang. Itu sejenis ikan lele yang hidup di air laut dangkal. “Sakitnya bukan main, sampai menangis,” tuturnya sembari terbahak.

Ada kepercayaan jika digigit ikan sembilang, tak boleh cerita ke orang lain. Konon itu bisa membuat rasa sakit jari makin menjadi-jadi. Pada 1980-an, harga udang kecepe basah berkisar Rp 100 - Rp 200 per kg. Sedangkan yang kering bisa mencapai Rp 700 - Rp 900 per kg. Sementara 1 karung goni kupang dihargai Rp 3.000.

Pada 1999 setelah Khi Seng meninggal, A Hoe menggantungkan hidupnya dari bantuan anak-anaknya, bahkan sampai sekarang. Sejak 6 bulan lalu, mata kanan­nya sudah tak bisa melihat lagi.  Kelopak matanya menutup karena kulit di bawah kantong matanya mengelupas. Kata dokter itu dikarenakan kanker.

“Rasanya gatal, kalau mendenyut sakit sekali, seperti ada binatang berjalan-jalan dalam mata saya,” tuturnya yang kini hanya bisa pasrah.

Di Sumatera Utara, keluarga seperti Tan A Hoe dan keluarga Tionghoa lain yang  menghuni sejumlah desa di Kecamatan Pantailabu, sering disebut sebagai Tiong­hoa Kebun Sayur.  Istilah ini sebenarnya tak terlalu tepat. Karena tak semua orang-orang Tionghoa di sana memiliki mata pencaharian sebagai petani. Banyak juga yang jadi  nelayan.

Sebutan  itu berawal saat para kuli kontrak Tionghoa bebas dari kontraknya. Mereka lalu membuka kebun sayur di sekitar perkebunan dan kampung untuk menghidupi diri dan keluarganya. Secara berkelompok, mereka menyewa tanah orang Melayu atau meminta bagian tertentu dari tanah jaluran dari perusahaan perkebunan yang diusahakan sebagai kebun sayur. 

Di Pantailabu, juga di Kecamatan Beringin, mereka banyak dijumpai di Desa Paluh Sibaji, Denai, Denailama, Rugemuk, Serdang, Pasarsore, Sarangburung, dan Beringin.  Sebelum 1980-an, Tionghoa kebun sayur lekat dengan citra kemiskinan, pengangguran, pendidikan rendah, dan berbagai citra negatif lain. Mereka umum­nya dari suku Liok Hong yang  berasal dari Kabupaten  Lukfung (Lufeng), Guang­dong, Tiongkok.

Orang-orang Liok Hong mudah dikenali dari logat  bicaranya, umumnya mereka memiliki intonasi keras, lugas, dan cenderung tanpa basa-basi, mirip gaya bicara orang Batak Toba. Dialek Hokian mereka juga mudah dibedakan.

“Misalnya kalau bilang beli, orang Liok Hiong  bilang bei, sedang orang Teochew bilang boi dan orang Hokkian bilang be,” ujar pengamat budaya kelahiran Pantailabu yang kini mukim di Lubuk Pakam, Yusrin Lie.

Menurutnya, orang-orang Hiok Long datang ke Pantailabu lewat pelabuhan kecil di Desa Klambir Rantopanjang. Dulunya desa ini  pernah jadi ibukota Kesultanan Serdang sebelum pindah ke Perbaungan karena sering dilanda banjir. Bangunan Istana Kesultanan  Serdang masih ada sampai sekarang. Orang-orang Liok Hong yang tinggal di Desa Klambir Ranto­panjang juga masih ada, walau tinggal sekitar 5 KK.

Namun menurut Cen Sen An (69), yang tinggal di Desa Sidodadi Ramunia, Kecamatan Beringin, kurang lebih 10 kilometer  menuju Pantailabu, orang-orang Liok Fong dulunya  adalah para kuli kontrak yang bekerja di perkebunan tembakau.

“Kakek dan nenek saya dulu kuli kontrak di kebun tembakau yang sekarang jadi Bandara Kualanamu,” tuturnya. Mereka berasal dari Kampungan Liok Fong, Guangdong, Tiongkok. Ia bahkan sudah 2 kali mengunjungi kampung halaman kakeknya di Liok Fong. Dari cerita ayahnya, Cen A Cun, ia mendengar kisah derita kakeknya sebagai kuli kontrak. Pihak kebun, katanya, menjebak para kuli dengan membolehkan main judi, minuman keras, madat, agar para kuli terus-menerus terbelit utang dan memperpanjang kontrak sebagai kuli. Para kuli Tionghoa ini dikepalai seorang tandil.

“Tandil atau mandor, kalau tahu ada kuli piara babi, ia bisa ambil begitu saja seolah itu babi miliknya,” tutur Cen Sen An. Cen A Cun sendiri bukan kuli kontrak. Untuk menghidupi keluarganya, ia pernah  jadi nelayan, berburu celeng atau babi rusa, dan terakhir memilih bertani.

Transformasi Pekerjaan

Kisah kemiskinan Tionghoa Kebun Sayur sebenarnya bukan hal baru.  “Dulu nelayan di Pantailabu untuk beli beras 1 kg saja mesti harus cari kepiting dulu di hutan bakau,” ujar Cen Sen An. Namun wajah kemiskinan Tionghoa kebun sayur dari tahun ke tahun perlahan mulai memudar.

Menurut  Yusrin Lie, pada dekade 1980-an, orang-orang Tionghoa kebun sayur banyak  beralih menjadi peternak ayam petelur. Alih pekerjaan itu terjadi sejak adanya kerjasama saling menguntungkan antara pabrik pakan ternak, obat-obatan, dan pembibitan ayam dengan warga.

“Karena warga umumnya tak punya modal, lalu diberi pinjaman bibit ayam, pakan, dan obat-obatan. Setelah besar dan dijual baru warga bayar ke pabrik,” tuturnya. Alih profesi ini membuat sejumlah Tionghoa Kebun Sayur sukses jadi peternak ayam. Mereka bahkan sukses mengelola bisnis lain seperti pabrik pakan ternak, mengelola kebun  kelapa sawit, dsb.

Namun tak semua Tionghoa Kebun Sayur berhasil melakukan mobilitas ekonomi. Tak sedikit  mereka masih hidup cekak. Umumnya bekerja jadi buruh di peternakan menengah dan besar yang ada di desa mereka. Menurut Mei Ling, gaji  mereka berkisar Rp 2 juta-an. Kalau berhasil jadi mandor, gajinya bisa Rp 3 juta. Mei Ling sendiri pedagang baju keliling dan adiknya pedagang sayur keliling.

Wajah kemiskinan di Desa Denai Sarangburung secara kasat mata terlihat dari deretan beberapa rumah berdinding tepas beratap daun rumbia. Rata-rata rumah di sana masih belum mendapat pelayanan air PAM. Warga masih meman­faatkan air sumur yang payau dan keruh.

“Tahun 2006 saat survei untuk calon anak asuh, saya masih menemukan rumah orang tua yang bentuknya seperti dangau di sawah, sangat kecil,” tutur Koordinator Program Anak Asuh Perguruan Dharma Bakti, Jenny Centanu. Sejak 2006, Perguruan Dharma Bakti Lubuk Pakam memang aktif merekrut anak-anak miskin dari  Pantailabu untuk dididik. Mereka percaya, pendidikan yang berkualitas bisa jadi modal untuk memerangi kemiskinan. Terutama dengan menanamkan nilai-nilai kepemimpinan.

Enam cucu The A Hoe yang sudah tamat SMA, adalah bekas anak asuh sekolah tersebut. Sebagian kini tengah mengadu nasib ke Taiwan. Ada juga yang ke Australia seperti anak Tok A Ling yang tinggal di Vihara Go Ya Kong.

Kekerasan Ganda

Menurut Jenny, pada 2006, saat Pergu­ruan Dharma Bakti kali pertama membuka pendaftaran murid baru untuk TK dan SD, banyak siswa miskin dari Pantailabu berbondong datang. Terlebihi saat menge­tahui para pendiri yayasan yang menaungi sekolah tersebut merupakan tokoh masya­rakat Liok Hong.

Ada yang bikin terharu Jenny saat melihat antusiasme orang tua dan anak mereka yang datang ke sekolah. Mereka ada yang naik sepeda motor, ada yang naik becak.  “Wajah mereka lusuh-lusuh, baju yang mereka kenakan juga sangat sederha­na, bahkan ada yang sudah robek-robek.”

Pada 2006, belum banyak orang  punya telepon genggam, apalagi di Pantailabu. Namun Jenny harus memastikan bahwa mereka memang benar-benar miskin.

Siang usai mengajar, di tengah terpaan terik sinar matahari, Jenny memacu sepeda motornya dari Lubukpakam menuju Pantailabu. Ia masuk dari satu gang ke gang mencari  rumah orang tua calon siswa anak asuh. Sampai malam hari.

Pernah juga bersama Rudy Rahman, mereka naik mobil sedan, namun diisi sampai 8 orang. Padahal pada 2006 - 2007 jalan ke Pantailabu belum semulus sekarang. Setiap awa tahun ajaran baru, memang hari tersibuk untuk turun ke desa-desa. Maklum, jumlah siswa yang men­daftar sebagai calon anak asuh bisa lebih 100 orang.

Banyak donatur terketuk melihat keberadaan anak-anak Tionghoa Kebun Sayur itu. Misalnya beberapa dari Yayasan Buddha Tzu Chi Medan. Para donatur banyak terketuk hatinya saat tahu, anak-anak tersebut bukan hanya miskin secara ekonomi, namun juga berlatar keluarga disharmoni. Orang tua mereka, dalam hal ini kaum ibunya, korban kekerasan dalam rumah tangga.

“Karena itu kita beri atmosfer yang berbeda saat mereka di sekolah,” ujar Rudy Rahman. Siswa misalnya dalam seminggu mengenakan seragam jas untuk membangun rasa bangga atau harga diri saat berinteraksi sosial dengan orang lain. Mereka juga diikutkan dalam program leadership, yang seluruh materinya bertujuan membangun resistensi terhadap berbagai tekanan hidup yang harus dihadapi.

“Program leadership membekali mereka untuk berani menghadapi tantangan hidup, bukan menerima hidup,” tambahnya. Intinya, lewat proses pendidikan di dalam dan di luar kelas, pihak sekolah  telah memberi kesempatan kepada anak-anak prasejahtera untuk tumbuh, mandiri, berketrampilan, dan bertanggung jawab.

Sebuah tujuan yang mulia, jadi kenapa tidak kita dukung?

()

Baca Juga

Rekomendasi