
Oleh: Roy Martin Simamora
Sewaktu saya duduk dibangku sekolah, saya adalah siswa yang paling buruk pada mata pelajaran matematika—bahkan semua mata pelajaran sains. Itulah yang membuat saya kadang pusing jika bertemu dengan angka-angka matematika. Guru matematika saya pernah bilang "Kamu kok bodoh sekali!" Tidak berhenti disitu, Ia lalu memukul pundak saya dengan sebuah rotan panjang. Sampai lebam.
Itu sungguh menyakitkan. Akibatnya saya membenci apapun yang berhubungan dengan matematika. Dan, dari situ saya meyakinkan diri bahwa saya memang benar-benar bodoh dalam segala hal, terutama berbau hitung-hitungan. Nilai-nilai sains saya sangat buruk kala itu. Saya kemudian benci menghafal rumus-rumus. Saya benci menjejali angka-angka matematis itu dalam kepala saya.
Ada banyak guru-guru kita yang tahunya cuma mengajar. Tidak banyak guru yang memahami. Ada banyak guru yang mengajar dalam kelas tanpa mengetahui potensi masing-masing siswanya. Kenapa? Pertama, masih banyak guru yang tidak percaya bahwa setiap siswa dalam kelas adalah “unik”. Misalnya, dalam kelas matematika, guru menekankan agar semua siswa benar-benar memahami dan mengerti materi matematika yang diajarkan. Ketika satu guru mengajar satu mata pelajaran tertentu, Ia menganggap siswa yang mampu memahami materi dan memecahkan soal adalah siswa pintar, sedangkan siswa yang tidak mampu adalah siswa bodoh. Kedua, kurikulum pendidikan kita yang terlalu rigid, tidak mengakomodir “keunikan” atau potensi siswa lain yang bahkan baik pada mata pelajaran yang lain.
Saya merasa ada yang salah dengan sistem pendidikan kita. Dan, saya, Anda dan kita semua telah menjadi bagian dan terjerumus dalam sistem yang bermasalah itu. Sistem pendidikan kita telah berubah menjadi ladang industri (industrialisasi pendidikan). Anak-anak “pintar” dan “bodoh” yang dihasilkan dari sistem pendidikan yang rigid itu pada akhirnya menjadi robot pekerja. We are study to get a job!
Karena itu, saya merasa "kebodohan" yang dilekatkan pada saya di masa lalu, mungkin, dialami pula oleh siswa-siswa lain di sekolah. Setelah lulus mereka akan dihadapkan dengan pilihan-pilihan yang lain. Memilih jurusan terbaik di perguruan tinggi yang diidam-idamkan. Ada berapa banyak di antara mereka yang salah memilih jurusan? Tidak terhitung jumlahnya. Sebagian karena paksaan orangtua bukan karena keinginan sang anak. Sebagian karena tuntutan pekerjaan di masa depan, mau tidak mau harus terjerumus di dalamnya.
Banyak anak-anak yang tidak berproses dalam passion masing-masing. Bagaimana dengan anak-anak yang memilih jurusan yang dianggap “biasa-biasa” saja? Dari sekolah hingga ke perguruan tinggi, anak-anak sudah dijejali dengan pilihan-pilihan “terbaik” dan “terburuk.” Misalnya, studi humaniora seperti jurusan seni bukan jurusan prestise. Seperti ucapan yang paling sering saya dengar: “Jangan memilih jurusan itu. Itu jurusan yang tidak punya masa depan.” Maka, banyak anak-anak memilih studi sains seperti jurusan kedokteran, ilmu komputer dan lainnya. Mindset itulah yang masih dipelihara dalam sistem pendidikan kita.
Bahkan, banyak anak-anak zaman sekarang sudah berpikir “out of box.” Kalau dulu, anak-anak zaman old bercita-cita tinggi pengen jadi dokter, tentara, polisi bahkan berkeinginan menjadi astronot. Kalo sekarang, anak-anak milenial (zaman now) cita-citanya sudah berubah. Generasi yang benar-benar sulit diprediksi. Bercita-cita menjadi youtuber, influencer, selebgram, generasi yang sangat dekat dengan dunia digital. Generasi tanpa kantor, generasi yang tidak suka bekerja di bawah meja, tidak kaku karena beban administrasi, tidak mau dikekang, bebas menentukan masa depannya, bebas berkreasi, bebas menjadi apapun yang mereka mau. Dan, itu adalah realitas sosial yang harus dihadapi di era disrupsi ini.
Semua Anak Unik
Saya percaya semua anak itu unik. Unik di jalan mereka masing-masing. Misalnya, sewaktu kecil, saya sangat menyukai musik. Saya suka menyanyi. Suka menulis. Suka membaca. Saya suka berimajinasi dan berekspresi. Saya merasa dunia saya lebih hidup dengan cara seperti itu. Prinsip saya: saya boleh gagal dalam satu hal, tapi saya boleh berhasil dalam banyak hal.
Saya percaya, setiap anak terlahir sebagai artis. Pablo Picasso, pelukis terkenal itu berkata "every child were born as an artist." Artinya, tiap anak adalah artis bagi dirinya. Ia berhak menentukan pilihannya, juga dunianya. Ia berhak menjadi apapun, menyukai apapun, mencintai apa yang dia sukai, apa yang dia senangi. Orangtua dan guru tidak boleh memaksa setiap anak menjadi sama. Menjadi sama dalam mata pelajaran matematika atau mata pelajaran apapun. Itu tidak adil. Tidak boleh pukul rata. Mereka bukanlah robot yang seenaknya diatur.
Hanya karena anak-anak gagal dalam satu hal, lantas menjustifikasi mereka "bodoh" dalam segala hal. Standarisasi pendidikan tidak boleh hanya mengunggulkan satu atau dua pelajaran. Semua mata pelajaran punya porsi masing-masing. Tiap anak punya "kelebihan" masing-masing. Jangan memaksa ikan agar bisa memanjat pohon karena selamanya, ikan akan percaya, ia tidak akan pernah bisa memanjat pohon. Demikian halnya anak. Jika dipaksa, ia akan merasa bahwa seumur hidupnya ia telah gagal. Anak yang gagal akan merasa frustasi dan depresi. Selanjutnya? Ada banyak peristiwa yang sangat memilukan soal itu.
Apa tugas orangtua dan guru? Tugas mereka hanya mengarahkan, memfasilitasi, mengawasi dan mendukung. Orangtua yang memaksa kehendak terhadap anak atas dasar paksaan tidak akan pernah berhasil. Biarkan mereka memilih. Guru yang baik adalah guru yang tahu apa kebutuhan siswanya. Ia akan tahu bagaimana cara menggunakan strategi pembelajaran yang baik sekaligus memicu daya tarik semua siswa. Selain daripada pembelajaran yang majemuk. Ia juga harus percaya bahwa semua siswa unik dan pintar pada "jalannya" masing-masing.
Sebab itu, saya beruntung di keluarga yang tidak muluk-muluk soal "pintar" tidaknya dalam segala hal. Defenisi "pintar" terlalu luas. Itu defenisi tunggal yang sungguh rigid. Hanya karena seorang anak mampu mengerjakan soal matematika, bukan berarti ia disebut pintar lalu anak yang lain dilabeli bodoh. Karena itu defenisi “pintar” dan “bodoh” dalam hal ini masih bisa diperdebatkan.
Potensi Kecerdasan Anak
Seiring berjalannya waktu, saya pernah melakukan penelitian, terutama soal kecerdasan di kelas. Dan, saya percaya bahwa “Every single child are smart in different ways.” Karena itu, Howard Gardner mengusulkan delapan kecerdasan berbeda untuk menjelaskan potensi manusia yang lebih luas pada anak-anak. Kecerdasan itu adalah: Kecerdasan linguistik (kecerdasan kata), kecerdasan logis-matematis (kecerdasan angka/penalaran), kecerdasan spasial (kecerdasan gambar), kecerdasan kinestetik-jasmani (kecerdasan tubuh), kecerdasan musikal (kecerdasan musik), kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal dan kecerdasan naturalis (kecerdasan alami).
Setiap anak—barangkali—memiliki satu, dua atau tiga kecerdasan sekaligus. Tinggal orangtua dan guru yang harus tahu itu. Kecerdasan mana anak-anak mereka berada. Anak yang pintar menggambar, dibimbing agar mengasah kemampuan menggambarnya. Anak yang pintar bermain alat musik, terus didukung agar terus menggali potensi bermusiknya. Anak yang suka menari diberikan semangat agar terus mencintai dunia menarinya. Setiap anak haruslah diperlakukan dengan istimewa. Mereka harus diapresiasi agar nyala api dalam dadanya terus berkobar.
Pada titik ini, barangkali, Pak Menteri Nadiem Makarim bisa mengakomodir pemikiran-pemikiran sejenis dalam kurikulum pendidikan kita. Pemikiran yang menghilangkan stigmatisasi negatif terhadap proses pembelajaran di ruang-ruang sekolah. Pemikiran konvensional harus ditinggalkan. Berpikir bagaimana supaya semua potensi anak-anak bisa diakomodir dalam pendidikan hingga mereka nanti siap menghadapi realitas kehidupan. Meskipun, sekali lagi, harus dipahami bahwa merombak kurikulum secara besar-besaran—seperti yang disampaikan Presiden Jokowi—saya pikir itu bukanlah pekerjaan mudah. Merombak dan menggantikannya dengan yang baru tidak akan merubah keadaan. Kendati demikian, saya tetap percaya bahwa kurikulum terbaik masih antara guru dan siswa. Hanya guru yang tahu persoalan siswa dalam kelas. Hanya guru yang mampu mengevaluasi siswanya, bukan pemerintah.
Ujian Nasional (UN) yang jadi momok karena masih dijadikan sebagai standar kelulusan dari pemerintah. Alih-alih, ingin menguji kemampuan siswa, justru menguji kejujuran siswa. Ini ujian atau ujian untuk kejujuran? Saya tetap yakin bahwa semua itu harus diserahkan kepada guru-guru di sekolah. Mereka yang tahu apa terbaik bagi siswanya. Tidak boleh ada campur tangan dan keraguan soal kemampuan siswa dari pemerintah. Karena itu, Kemendikbud di bawah kepemimpinan Pak Nadiem haruslah terjun langsung ke lapangan. Mendengar dan menerima masukan dan saran dari para guru. Artinya, apa yang sekolah butuhkan, bukan apa yang dimaui (diinginkan) oleh pemerintah. Kita tidak butuh rangking atau peringkat dunia, kita hanya ingin anak-anak mencintai apa yang mereka pilih.***
Penulis adalah dosen PSP ISI Yogyakarta, alumnus National Dong Hwa University, Taiwan