Oleh: Juneidi D. Kamil,SH,ME,CRA. Risiko kredit dalam penyaluran pembiayaan masih terus membayangi perbankan syariah. Perbankan syariah harus senantiasa mengidentifikasi risiko kredit yang dihadapi dalam menyalurkan pembiayaan kepada nasabah. Apakah risiko-risiko kredit yang dihadapi dalam penyaluran pembiayaan perbankan syariah ?
Risiko pembiayaan
Otoritas Jasa Keuangan masih menggunakan istilah risiko kredit terkait penerapan manajemen risiko bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Pengaturan masalah ini dapat ditemukan dalam POJK No.65/POJK.3/2016 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Kegiatan usaha perbankan syariah tidak terlepas dari risiko yang dapat mengganggu kelangsungan bank. Untuk mengelola risiko tersebut bank wajib menerapkan manajemen risiko secara individu dan secara konsolidasi. Karakteristik produk dan jasa perbankan syariah memerlukan fungsi identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko yang sesuai dengan kegiatan usaha perbankan syariah.
Risiko diartikan sebagai potensi kerugian akibat terjadinya suatu peristiwa tertentu. Salah satu jenis risiko yang diatur oleh regulator dalam penerapan manajemen risiko perbankan adalah risiko kredit. Risiko kredit timbul akibat kegagalan nasabah atau pihak lain dalam memenuhi kewajiban kepada Bank sesuai dengan perjanjian yang disepakati. Termasuk dalam pengertian risiko kredit akibat kegagalan debitur, risiko konsentrasi kredit, counterparty credit risk dan settlement risk.
Terkonsentrasinya penyediaan dana kepada 1 (satu) pihak atau sekelompok pihak, industri, sektor, dan/atau area geografis tertentu yang berpotensi menimbulkan kerugian cukup besar yang dapat mengancam kelangsungan usaha Bank. Keadaan ini dapat digolongkan dalam pengertian risiko konsentrasi pembiayaan yang menyebabkan munculnya risiko kredit. Counterparty credit risk merupakan penyebab munculnya risiko kredit. Keadaan ini muncul di saat terjadinya kegagalan pihak ketiga dalam memenuhi kewajibannya dan timbul dari jenis transaksi yang memiliki karakteristik tertentu, misalnya transaksi yang dipengaruhi oleh pergerakan nilai wajar atau nilai pasar. Sedangkan settlement risk merupakan risiko yang timbul akibat kegagalan penyerahan kas dan/atau instrumen keuangan pada tanggal penyelesaian (settlement date) yang telah disepakati dari transaksi penjualan dan/atau pembelian instrumen keuangan.
Karakteristik risiko pembiayaan
Dalam praktek perbankan dikenal berbagai jenis transaksi yang berlangsung dalam akad pembiayaan. Beberapa diantaranya adalah transaksi jual beli yang diterapkan dalam akad murabahah dan transaksi bagi hasil yang diterapkan dalam akad musyarakah dan akad mudharabah.
Dalam akad murabahah, Bank membeli barang kemudian dijual kembali kepada nasabah dengan harga pokok ditambah dengan margin yang disepakati. Khusus untuk transaksi murabahah dengan pesanan yang sifatnya mengikat, risiko yang dihadapi bank syariah hampir sama dengan risiko pada bank konvensional.
Sedangkan dalam transaksi murabahah tanpa pesanan atau dengan pesanan yang sifatnya tidak mengikat nasabah untuk membeli, menyebabkan bank menghadapi dua risiko. Risiko pertama, tidak ada jaminan bagi bank syariah seandainya pembeli membatalkan tranksasi. Risiko kedua, bank syariah mengalami risiko kerugian karena menurunnya nilai barang tersebut akibat cacat atau rusak selama masa penyimpanan.
Pada akad musyarakah, terdapat transaksi penempatan dana dari dua atau lebih pemilik dana dan/atau barang untuk menjalankan usaha tertentu sesuai syariah dengan pembagian hasil usaha antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang disepakati. Sedangkan pembagian kerugian berdasarkan proporsi modal masing-masing
Pada transaksi musyarakah dilangsungkan usaha bersama di mana semua pihak menyumbangkan modal dan keahlian. Keuntungan yang diperoleh dibagi menurut kesepakatan dan kerugian dibagi menurut porsi modal masing-masing Mereka melakukan kesepakatan untuk membagi keuntungan dan kerugian (risiko) sesuai nisbah disepakati dalam perjanjian.
Risiko yang dihadapi bank syariah dalam akad musyarakah adalah kemungkinan kerugian dari hasil usaha / proyek yang dibiayai dan ketidak-jujuran dari mitra usaha. Risiko pembiayaan musyarakah relatif lebih kecil dibandingkan pembiayaan mudharabah. Hal ini disebabkan karena bank sebagai mitra dapat ikut mengelola usaha di samping melakukan pengawasan secara lebih ketat daripada usaha tersebut. Namun biasanya, kendala yang dihadapi adalah terbatasnya kualitas dan kuantitas sumber daya insani yang dimiliki perbankan syariah.
Akad mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara 2 (dua) pihak di mana pihak pertama menyediakan seluruh modal pembiayaan (shahibul mal), sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola dana (mudharib). Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila mengalami kerugian maka kerugian ditanggung shahibul mal (pemilik modal) selama hal itu bukan akibat kelalaian mudharib. Sedangkan biaya operasional untuk pengelolaan usaha dibebankan kepada mudharib.
Dalam akad mudharabah, mudharib dalam hal ini nasabah sebagai pengelola dana tidak mempunyai kewajiban untuk menanggung risiko kerugian yang timbul. Beban kerugian hanya dapat dibebankan kepada mudharib apabila kerugian tersebut karena kelalaian dan kecurangan yang dilakukan.
Untuk menghadapi kemungkinan risiko pembiayaan, bank syariah diperkenankan meminta agunan kepada pengelola dana (mudharib). Perbankan syariah dapat melakukan pengawasan baik secara aktif maupun secara pasif. Pengawasan secara aktif dapat dilakukan dengan cara melakukan pemeriksaan secara langsung terhadap operasional maupun berkas-berkas nasabah. Sedangkan pengawasan secara pasif, dapat dilakuan dengan menerima laporan dari nasabah.
Dalam akad mudharabah, bank tidak diperkenankan ikut campur dalam pengelolaan usaha. Adanya ketentuan ini menyebabkan bank menghadapi risiko yang sangat tinggi karena seluruh kerugian akan ditanggung bank sebagai shahibul mal (investor) kecuali terbukti bahwa kerugian tersebut merupakan kelalaian yang disengaja oleh mudharib. Bank akan menghadapi risiko semakin tinggi akibat adanya moral hazard oleh mudharib. Berkenaan dengan itu, bank syariah dapat meminta jaminan kepada mudharib.
Penutup
Karakteristik risiko dari masing-masing jenis pembiayaan perbankan syariah berbeda-beda. Risiko pembiayaan yang terendah dihadapi bank syariah adalah risiko murababah kemudian semakin tinggi apabila jenis pembiayaannya musyarakah dan mudarabah. Oleh karena itu maka wajar saja jika kita perhatikan komposisi pembiayaan murabahah lebih besar disalurkan bank syariah dibandingkan dengan jenis pembiayaan musyarakah dan mudharabah.
Dengan mengetahui karakteristik risiko dari masing-masing jenis pembiyaan maka bank syariah dapat melakukan langkah-langkah untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan Risiko yang timbul dari penyaluran dana untuk masing-masing jenis pembiayaan. Sehingga kebijakan penghapusbukuan (write off) pembiayaan bermasalah untuk mempercantik laporan keuangan dapat dihindarkan.
*) Penulis adalah Praktisi Perbankan Syariah.