
Oleh: Jadi Pane SPd MM. Menarik sekali tulisan saudara Ir Ronald Naibaho MSi di harian ini dengan judul: “Link and Match di Era Jokowi”. Tulisan ini tentu lahir dari sebuah pemikiran out put pendidikannya Prof Dr Ing Wardiman Djoyonegoro kala pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada masa pemerintahan Soeharto. Artinya, kala itu orde baru sudah punya sebuah konsep pemikiran yang punya orientasi yang jelas, bagaimana lulusan pendidikan (SMK dan pendidikan tinggi) bisa langsung diterima dalam dunia kerja atau dunia industri. Konsep link and match tentu tidak salah. Konsep ini sangat bagus bahwa lulusan pendidikan itu harus siap pakai dan langsung bisa punya inovasi dalam dunia kerja, sehingga jadi manusia yang kreatif dan inovatif.
Yang menjadi pertanyaan saat ini adalah, benarkah tujuan pendidikan hanya sebatas agar bisa menjadi manusia pekerja saja, hanya untuk urusan bisa produktif dengan ukuran pendapatan di atas UMP/UMR saja? Dari sini dapat kita lihat betapa tujuan pendidikan hanya urusan bagaimana mempersiapkan keterampilan teknis (skill) yang pada akhirnya dipersiapkan untuk memenuhi pasar kerja? Tentu tidak. Tetapi saudaran Ir Ronald Naibaho MSi dalam paparannya mengenai penghidupan kembali “link and matching” tidaklah salah, karena ini adalah sebuah fakta bahwa memang pendidikan harus mampu memenuhi pasar kerja.
Tetapi, melihat dunia pendidikan hanya persoalan urusan kerja dan ekonomi telah membuat hakikat pendidikan (kajian ontologi dan epistemologinya) mengalami kemunduran besar. Sejatinya pendidikan itu bukan hanya persoalan bagaimana mempersiapkan skill mahasiswa secara teknis dengan berbagai spesialisasi keahlian, dengan harapan kelak dia bisa bekerja dan punya kesejahteran masa depan. Masa depan dengan kalkulasi ekonomi, kesejahteraan tentu kemunduran besar jika itu diletakkan menjadi tujuan utama pendidikan.
Pemikiran link and match dengan melakukan komparasi dengan mutu pendidikan negara lain tidaklah salah. Paparan mutu pendidikan oleh saudara Ronald Naibaho patut kita cermati seperti yang dipaparkan dalam Education Index yang dikeluarkan Human Development Reports, pada 2017 untuk negara-negara di ASEAN, Indonesia berada di posisi ketujuh di ASEAN dengan skor 0,622. Skor tertinggi diraih Singapura, yaitu sebesar 0,832. Disusul Malaysia (0,719), Brunei Darussalam (0,704) urutan kedua dan ketiga. Pada posisi keempat Thailand dan Filipina yang keduanya sama-sama memiliki skor 0,661 dan selanjutnya Vietnam pada urutan keenam dengan skor 0,626. Sedangkan berdasarkan Global Talent Competitiveness Index (GTCI) tahun 2019 pemeringkatan daya saing negara berdasarkan kemampuan atau talenta sumber daya manusia yang beberapa indikator penilaian indeksnya antara pendapatan per kapita, pendidikan, infrastruktur teknologi komputer informasi, gender, lingkungan, tingkat toleransi, hingga stabilitas politik. Di ASEAN, Singapura menempati peringkat pertama dengan skor 77,27. Peringkat berikutnya disusul Malaysia (58,62), Brunei Darussalam (49,91), Filipina (40,94), Thailand (38,62). Sementara itu, negara kita tercinta Indonesia berada di posisi ke enam dengan skor sebesar 38,61. (Indonesia berada di urutan 67 dari 125 negara di dunia dalam peringkat GTCI 2019).
Merujuk pada paparan angka ini, memang ada sebuah kesimpulan yang bisa kita buat, di mana tujuan pendidikan nasional yang kita praktikkan saat ini tidak berhasil membangun SDM yang sesuai dengan konsep link and match. Masalahnya, apakah proses pendidikan yang dilakukan oleh Singapura memang bertujuan pada “link and match” saja? Masih perlu dipertanyakan. Tetapi, apapun itu, saatnya bangsa ini memang sangat perlu melakukan intropeksi diri bahwa tujuan pendidikan bukan hanya persoalan mentransfer saintek saja. Ada sisi lain yang lebih penting.
Kurikulum PAUD dan sekolah dasar kita jangan-jangan lebih hebat dari negara Finlandia yang merupakan sebuah negara dengan rujukan pendidikan terbaik di dunia saat ini. Di Finlandia tujuan pendidikan dasar ataupun PAUD hanya menargetkan bagaimana bisa bersosialisasi, bersyukur, menghormati sesama, dan berinteraksi dengan baik dengan sesama. Bukan seperti kita anak-anak SD sudah dijejali dengan angka matematika dan IPA. Padahal akhirnya yang muncul adalah kejenuhan semata dan bukan mendidikan manusia untuk jadi manusia yang seutuhnya, tetapi menjadikan siswa seperti mesin.
Harus ada sebuah pemikiran yang harus benar-benar kita pahami bahwa tujuan pendidikan itu bukan hanya persoalan mentransfer saintek semata. Pendidikan adalah sebuah proses bagaimana memanusiakan manusia dengan konsep membangun manusia seutuhnya. Pendidikan seperti yang di kemukakan Prof Dr Zulkarnaen Lubis MS juga dipandang sebagai pembudayaan (enkulturasi), di mana karakter, watak, etika, estetika dan kecerdasan sosial harus diupayakan (WASPADA, 5/11/2019). Memang benar, pendidikan itu adalah bagaimana membangun kejujuran, kepedulian, menghormati keberagaman dan juga menjadikan seseorang untuk rendah hati dan punya karakter yang kuat.
Saya sangat yakin, terlepas bagaimana format kurikulum, sebuah grand desain pendidikan jika orientasinya untuk membangun karakter yang kuat, kecerdasan sosial yang bagus, kepekaan terhadap sesama bisa dilakukan dengan baik, pada saat yang sama konsep link and match ini akan berhasil dengan baik. Artinya, karakter yang kuat, kejujuran, kerja keras, sikap yang baik dimiliki dengan sendirinya akan bertransformasi dengan pemenuhan SDM yang mampu ber-link and match.
Penutup
Ketika fokus pendidikan hanya pada “link and match” ini adalah sebuah kemunduran besar. Sah-sah saja kita berekspektasi pada link and match sebagai tujuan pendidikan. Tetapi jika tujuan pendidikan itu diarahkan pada upaya membangun kejujuran, karakter yang kuat, sikap yang baik, maka link and match dengan sendirinya akan ikut. Kita harapkan Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan yang baru mampu mengembalikan ruh pendidikan sebagai upaya membangun manusia Indonesia yang utuh, di mana parameternya adalah terwujud SDM yang berkarakter kuat, jujur, kecerdasan sosial, sadar akan lingkungan, menghargai keberagaman. Mari kita kembalikan ruh pendidikan itu pada proses membangun manusia Indonesia yang utuh dengan indikator lulusan dari semua institusi pendidikan adalah manusia Indonesia yang jujur, pekerja keras, inovatif, punya kepekaan sosial yang tinggi dan juga punya kesadaran akan pluralisme bangsa. Semoga!***
Penulis adalah Sekretaris DPD PIKI Sumut/ Peneliti RE Foundation dan Dosen AMIK Universal Medan.