
Oleh : Agung Harahap.
Dalam beberapa hari terakhir menjelang peringatan Hari Guru 25 November 2019, jagad sosial media Republik Indonesia ramai dengan tersebarnya isi teks pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Kabinet Indonesia Maju, Nadiem Makarim. Menteri yang tergolong masih berusia muda ini membuat netizen beramai-ramai memviralkan salinan teks pidato yang akan disampaikannya pada Hari Guru. Di awal-awal masa penunjukannya sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Tidak sedikit anggapan pesimis terhadap Nadiem yang akan membidani pendidikan Indonesia. Salah satunya adalah kekhawatiran soal track record dirinya yang lebih banyak berkecimpung di dunia ekonomi digital dibanding pendidikan. Ia tercatat pernah berkiprah cukup cemerlang di beberapa perusahaan startup seperti Zalora Indonesia, Kartuku, dan yang terakhir ia berhasil mengembangkan Gojek sebagai alat transportasi online terkemuka di Indonesia. Namun, teks pidato Nadiem mengisyaratkan hal yang berbanding terbalik dengan kekhawatiran itu. Lewat isi yang terkandung di dalam teks pidato tersebut, Menteri termuda dalam kabinet Indonesia Maju di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo ini seakan paham betul masalah yang telah mengakar lama di dunia pendidikan Indonesia. Padahal, Nadiem banyak menghabiskan masa pendidikannya di luar negeri.
Awalnya saya meragukan bahwa teks pidato tersebut langsung ditulis oleh Nadiem. Namun, lewat berbagai media dirinya mengaku bahwa ia menulis teks pidato tersebut dengan sepenuh hati. Ada beberapa poin penting di dalam teks pidato tersebut yang kemudian dianggap oleh beberapa kalangan sebagai pidato yang brilian dan bukan retorika belaka. Memang di awal kalimat, Nadiem telah menjelaskan bahwa pidatonya kali ini jauh dari kata-kata inspiratif dan retorik. Ia menyebut ingin berbicara apa adanya dan dengan hati yang tulus. Sejak awal kalimat ini, Nadiem sebenarnya telah menjelaskan bahwa ia ingin langsung masuk membahas apa yang saat ini terjadi di lapangan pendidikan dan pengajaran di sekolah-sekolah. Pertama sekali, dirinya sangat menyadari bahwa tugas seorang guru adalah tugas yang termulia sekaligus tersulit. Guru ditugasi untuk membentuk masa depan bangsa namun lebih sering diberi aturan dibanding pertolongan. Di akhir, Nadiem mengajak guru di seluruh Indonesia dari Sabang sampai Merauke untuk mengubah beberapa pola pengajaran yang lebih menonjolkan keterbukaan dalam suasana diskusi daripada komunikasi satu arah yang telah lama menjadi kebiasaan mengajar para guru kepada murid.
Pro dan Kontra
Banyak yang memuji isi teks pidato Nadiem tersebut. Namun, tak sedikit pula yang melontarkan kritik. Kalangan yang memuji teks pidato Nadiem tersebut merasa bahwa mantan CEO Gojek (aplikasi transportasi online yang didirikannya) itu sedikit banyaknya telah menyadari dan paham betul persoalan pendidikan Indonesia terutama di level akar rumput, yaitu sistem pengajaran di sekolah. Nadiem memberi perhatian khusus terhadap metode pembelajaran dan ikatan aturan yang membelenggu para guru selama ini. Sementara, kritikan juga datang dari kalangan lainnya. Salah satunya justru datang dari organisasi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Ketua Umum Pengurus Besar PGRI, Unifah Rosyidi mengatakan bahwa sebenarnya ungkapan seperti yang dituliskan oleh Mendikbud di teks pidatonya sudah disampaikan berkali-kali bahkan oleh Presiden Joko Widodo pada puncak perayaan Hari Guru 2 Desember 2017 lalu (Tirto.id). Unifah menegaskan bahwa harus ada langkah nyata Nadiem sama seperti yang dituliskannya di dalam teks pidatonya jika ingin memang mewujudkan perubahan pendidikan Indonesia ke arah yang lebih baik.
Selain itu, Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia Satriwan Salim juga menuturkan hal yang senada. Ia mengatakan Mendikbud sudah menyadari bahwa beban guru juga berkutat pada sistem administratif yang tentu berpedoman kepada aturan yang mengikat. Dirinya mendorong langkah nyata lewat perubahan regulasi segera dilakukan sebab Kemendikbud yang membuat aturan dan mereka juga yang memiliki power (Tirto.id). Kritikan yang datang ini sedikit banyaknya dapat diterima. Pasalnya, peraturan-peraturan dan metode pembelajaran atau yang disebut dengan kurikulum adalah kewenangan Kemendikbud untuk merubah atau menghapuskannya. Di akhir teks pidato memang Nadiem seraya berkata membebaskan para guru untuk melakukan perubahan sekecil apapun secara serentak. Ia juga mengatakan perubahan tidak dapat dimulai dari atas. Semuanya berawal dan berakhir di guru. Jangan menunggu aba-aba, jangan menunggu perintah, ambillah langkah pertama.
Kalimat ini bisa saja dapat dimaknai sebagai bentuk lepas tangan Kemendikbud. Para guru, yang tentu berada pada level grass root sistem pendidikan Indonesia tentu memiliki banyak varian untuk melakukan perubahan. Namun, mereka tentu tak sembarang mengambil langkah sebab salah-salah bisa terkena sanksi dari kepala sekolah ataupun kepala dinas. Dalam hal ini, hemat saya Mendikbud harus sesegera mungkin mempelajari aturan-aturan dan kurikulum untuk kemudian “membuang” aturan-aturan dan sistem yang monoton sebagai bentuk langkah nyata agar para guru juga dapat segera melakukan inovasi dan perubahan gaya metode pembelajaran.
Sistem Pendidikan Indonesia
Saya termasuk orang yang percaya jika pendidikan adalah tonggak dan hal yang paling dasar dari sebuah peradaban. Hemat saya, kemiskinan dan kebodohan sejatinya adalah anak kandung dari sistem pendidikan yang gagal. Kita tentu tak akan terjajah jika pemikiran rakyat Indonesia sudah terbilang baik saat penjajah memasuki tanah Nusantara. Itu juga sebab yang membuat Boedi Utomo organisasi pribumi pertama di zaman penjajahan berkonsentrasi dalam bidang pendidikan untuk kemudian melahirkan orang – orang yang berpikir revolusioner dan ingin terbebas dari belenggu penjajahan. Sistem pendidikan kita yang tergolong terlalu kaku dan menempatkan nilai mata pelajaran menjadi satu-satunya tolak ukur kecerdasaan seorang siswa justru tidak membuat pendidikan dan peradaban kita semakin baik.
Mungkin kita sudah sering mendengar cerita soal sistem pendidikan Finlandia yang kemudian menempatkan mereka berada di peringkat pertama dunia dalam hal pendidikan. Kita, sepertinya terlalu takut untuk mencoba hal baru yang mungkin saja dapat mendorong kemajuan di bidang pendidikan. Nilai mata pelajaran masih menjadi momok yang sulit dilepas dari kita. Mindset bodoh jika seorang anak mendapat nilai buruk di suatu mata pelajaran masih sering terjadi hingga kini. Saya sepertinya sepakat dengan apa yang pernah dikatakan oleh ilmuwan Albert Einstein bahwa kita akan menyebut seekor ikan bodoh jika dinilai dari kemampuannya memanjat pohon. Apa yang menjadi semangat seorang Nadiem Makarim ketika memahami dan ingin melakukan sebuah perubahan terhadap ini semua patut diapresiasi. Memang sudah harusnya, para siswa, anak-anak Indonesia, generasi muda kita tidak melulu harus terkurung di dalam kelas dalam sebuah jam pelajaran. Rasa sosial dan moral di dalam diri mereka harus dipupuk hingga kini. Berikan para generasi muda kita ruang kebebasan untuk berekspresi.
Seorang guru, harus berperan selayaknya orang tua yang menumbuh-kembangkan para siswa lewat cara-cara berdiskusi dan menemukan bakat yang ada di dalam dirinya. Seorang manusia tidak mungkin diciptakan dengan tidak memiliki kelebihan dan kemampuan sedikitpun. Ada banyak orang-orang yang di kemudian hari memberikan sumbangsihnya terhadap peradaban dunia justru bukan lahir dari yang sering mendapatkan nilai tinggi di masa sekolahnya, bahkan cenderung tidak bagus-bagus amat. Namun, ketika mereka diberi pemahaman yang sesuai dan kebebasan terhadap apa yang ingin dilakukan yang sesuai dengan kemampuan dan keinginannya. Mereka mampu menjawab lewat apa yang mereka lakukan.
Moral dan Sosial
Hal yang tak kalah penting adalah menumbuhkan jiwa sosial dan moral dalam diri masing-masing individu sehingga melahirkan sebuah sikap kasih sayang antar sesama. Pemahaman kasih sayang antar sesama tentu tak hanya sebatas antar sesama manusia. Namun, antar sesama makhluk hidup yang di dalamnya juga meliputi hewan dan tumbuhan. Dewasa ini kita sering mendengar berbagai kejadian-kejadian amoral yang mengenaskan.
Siswa yang membunuh guru hingga manusia yang dengan kejam melakukan tindakan-tindakan pembunuhan terhadap hewan dengan cara tak lazim juga perusakan alam yang semakin menjadi-jadi. Apa yang terjadi ini sepertinya dapat menjadi bentuk perhatian khusus pendidikan kita untuk mengajarkan dan menanamkan rasa kasih sayang sejak dini antar sesama makhluk hidup. Saya berpendapat kita belum terlambat jika ingin benar-benar melakukan perubahan ini. Bait-bait kata yang dituliskan oleh Mendikbud Nadiem Makarim dalam teks pidatonya dalam rangka menyambut Hari Guru sedikit banyaknya telah memunculkan harapan kita di masa depan untuk melihat cerahnya pendidikan Indonesia. ***
Penulis adalah Pemimpin Umum Lembaga Pers Mahasiswa Teropong UMSU.