
Oleh: Ris Pasha. BERCERITA tentang Nahum Sutumorang, pencipta lagu Batak Pop, tak akan habis-habisnya. Tercatat 125 lagu ciptaannya yang sudah ditemukan, diperkirakan masih banyak lagi yang belum ditemukan.
Dilahirkan di Sipirok pada 1908. Kemudian Sekolah HIS di Tarutung dan melanjut ke Jakarta, kemudian ke Lembang, Jawa Barat. Di mana pun Nahum berada, alat musik biola dan gitar selalu terbawa. Dia bisa mencipta lagu di mana saja dan dalam waktu apa saja.
Nahum dalam karya-karyanya, begitu banyak bercerita tentang rasa cinta dan rindunya. Dia mewakili dirinya, juga menwakili kisah-kisah orang lain. Dia mampu menciptakan imajinasi, bagi orang yang menyanyikan lagu-lagu ciptaannya, juga bagi orang yang mendengar lagu ciptaannya.
Pernah suatu kali, ada seorang geolog alumni ITB datang ke Tarutung (Rura Silindung). Sang geolog menyatakan, rumah-rumah di Tarutung dan yang berdekatan dengannya harus dipindahkan. Silindung khususnya Tarutung adalah pusat gempa yang dahsyat. Bagaimana memindahkan Tarutung dan ke mana mau dipindahkan? Siapa yang harus memindahkannya, sementara rakyat sudah ratusan tahun mendiaminya?
Masyarakat menjadi gelisah atas penyataan di akhir 1959 itu. Geolog itu juga adalah marga Situmorang. Nahum tak mau berpolemik. Dia pun menciptakan sebuah lagu yang berjudul Rura Silindung. Nahum menggambarkan, betapa indahnya Rura Silindung dengan masyarakatnya yang ramah, gadisnya yang cantik-cantik dan santun. Keresahan masyarakat akan pusat gempa langsung sirna. Masyarakat pun, dengan riang gembira dan bangga menyanyikan lagu itu.
Tentang kawasan Silindung, Nahum menciptakan beberapa lagu, termasuk lagu Silindung Na Jolo, Aek Sarulla, dan Tobu Sirara. Beberapa lagu yang menyayat hati, tentang kegetiran hiduap dan kehidupan tercipta dari buah imajinasinya. Tentang laki-laki yang menanti sang kekasih, tentang lelaki yang pergi merantau dan meminta kekasih menantinya kembali. Tentang perkawinan yang tak jadi. Seperti Na SoNang Do HitaNna Dua.
Banyak orang tak mengatahui kalau yang selalu dinyanyikannya dalam acara-acara pernikahan, adalah refrein. Padahal ada dua bait sebelum refrein yang seharusnya dinyanyikan juga. Sesungguhnya lagu Na Sonang Do Hita Na Dua adalah khayalan sepasang kekasih yang tak jadi menikah. Kemudian pada refreinnya dikatakan, betapa bahagianya kita berdua selama kau bersamaku. Padahal mereka sudah jelas tak bersama.
Nahum mampu memberikan harapan kepada penyanyi dan pendengar lagunya. Mampu memberikan semangat hidup bagi mereka yang sedang menjalani hiduop bahkan dalam memperjuangkan cinta kasih sepasang kekasih. Juga terkadang jika tak dihayati dengan sungguh, seakan lagu Nahum adalah keputusasaan.
Melihat kepopuleran Nahum yang memasarkan lagu-lagu ciptaannya dari pakter ke pakter, membuat banyak orang tua senang menikmati lagunya. Suka mendengar lagunya, tapi melarang anak mereka untuk mengikuti jejak Nahum menjadi seniman musik.
Jika ada seorang pemuda atau gadis yang memulai memetik gitar dan mulai menikmati permainannya sendiri dan menyanyi dengan sungguh, orang tua melarang mereka meneruskannya. “Sotung gabe songon si Nahun, ho,” kata orang tua. Artinya, jangan sampai hidupmu seperti Nahum.
Ketika itu, belum ada tv, hanya RRI. Itu pun sangat terbatas yang memilikinya. Betapa getirnya hidup dan kehidupan seorang seniman. Banyak yang menggemari lagu-lagu Nahum Situmorang, tapi sangat sedikit orang tua yang mengizinkan anknya untuk jadi penyanyi. Andaikan menyanyi bisa menjadikan orang kaya seperti sekarang, mungkin banyak orang yang menyodorkan anaknya untuk jadi murid Nahum.
Tak banyak yang tahu, kalau ketika berada di Pulau Jawa, dia bergabung dengan kelompok Batak yang berjuang. Tersebut nama Amir Syarifudin Harahap (kemudian jadi perdana menteri). Amir Syarifuddin, orang yang ikut mendirikan Jong Batak. Dengan wadah itu pula orang Batak ikut dalam Kongres Pemuda II yang menghasilkan Sumpah Pemuda.
Nahum Situmorang, S Dis Sitompul, dua pemuda dari tanah Batak yang ikut dalam lomba cipta lagu kebangsaan. Kemudian lomba itu dimenangkan Wage Rudolf Supratman. Walau ketentuannya lagu kebangsaan itu menurut PBB harus mars atau hymne, WR Supratman tetap memenangkan lagu Kebangsaan Indonesia Raya, walau diperdengarkan dalam bentuk keroncong.
Mungkin ketika itu dewan juri tidak mengetahui, kalau persyaratan lagu kebangsaan itu harus mars atau hymne. Kemudian Indonesia Raya diubah dari keroncong menjadi mars, seperti yang kita nyanyikan sekarang.
Setelah Sumpah Pemuda, Nahum kembali ke Sumatera Utara dan bekerja di Sibolga menjadi guru. Dasarnya Nahum memang sekolah guru dan kebangaan bagi orang Batak mendapat gelar guru (Gr). Tak lama. Nahum pindah ke Tarutung dan menjadi guru pada sekolah yang didirikan saudaranya.
Gelar guru tidak menjadi halangan baginya untuk terus mencipta lagu-lagu. Semua lagu-lagu ciptaannya mengikuti teori yang dipelajari di sekolahnya atau di tempat lain. Jelasnya diatonik musik barat berbahasa Batak.
Nahum meninggal dunia 20 Oktober 1969 di Rumah Sakit Umum dr. Pirngadi. Sesungguhnya sejak 1967 dia sudah sakit-sakitan. Namun dia tetap berkelana, walau sebentar-sebentar masuk lagi ke rumah sakit dan diopname. Jiwa petualangannya dalam mencipta lagu tak bisa dihempang siapa pun. Baru pada 1968, dia harus menjalani rawat inap intensif di rumah sakit di Medan sampai meningal dunia.
Ada satu keinginannya atau keinginan semua orang Samosir yang diwakilinya, dia tuangkan dalam sebuah lagu, Pulo Samosir. Pulau yang indah permai, dikelilingi danau yang indah. Matahari yang cerah dan tanah yang subur tempat bertanam padi, kacang, dan bawang. Di kaki-kaki bukit bahkan ke puncak bukit, ternak peliharaan terhampar bebas. Jika nanti aku mati, kebumikanlah aku di Samosir. Begitu isi lirik lagunya.
Apakah itu pesan pribadi Nahum agar dimakamkan di Pulo Samosir, kampung asal marganya, walau sesungguhnya kampung halamannya (kelahirannya/Bona Pasogit) adalah di Sipirok? Setidaknya itu adalah sebuah harapan warga Samosir, siapa saja, jika meningal ingin dimakamkan di Samosir. Bukan hanya keinginan Nahum.
Kini sesungguhnya karya-karya Nahum, bukan lagi milik keluarga. Karya Nahum Situmorang bukan lagi milik masyarakat Batak. Bukan lagi milik warga Indonesia. Karya Nahum sudah menjadi milik internasional. Ini terbukti beberapa lagunya sudah mendunia dan menjadi lagu yang selalu dinyanyikan terutama di Amerika. Seperti kita selalu menyanyikan lagu Country Road, begitulah mereka di Amerika dan Eropa sana menyanyikan lagu-lagu Nahum. Bahkan di Hongkong lagu Sing-sing So, sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin.
Seorang Amerika bertemu dengan Jonson Pasaribu (pelukis), dia menyanyikan lagu Sing-sing So. Si warga Amerika itu bertanya, apa benar pencipta lagu itu adalah orang Indonesia?
Jonson dengan bangga bercerita tentang Nahum Situmorang. Si Amerika pun mengajaknya untuk menuju Samosir. Lalu katanya, pantas lagunya demikian dahsyat, karena terilhami oleh alamnya yang sangat dahsyat pula.
Nahum memang sudah berkali-kali mendapat penghargaan. Mungkin musisi yang paling banyak mendapat penghargaan di Indonesia. Lantas bagaimana dengan kita? Adakah nama Jalan Nahum Si tumorang di Sumatera Utara? Termasuk di Samosir yang di bang gakan? Atau tujuh kabupaten yang menge lilkingi danau tempat lagu ciptaannya O Tao Toba yang mendunia itu?
Kenapa tak ada nama Jalan Nahum Situmorang di Medan, Siantar, dan kota-kota lainnya? Sudah selayaknya, ada Taman Nahum Situmorang di Pulau Samosir. Biarlah jenazah dan makamnya ada di Medan, namun tamannya ada di Samosir. Sebuah taman di atas 10 hektare. Ada patung Nahum, pentas Nahum, museum Nahum, dan diorama Nahum.
Potensi untuk pariwisata akan sangat luar biasa. Tak harus Pemkab Samosir yang membangun. Bisa oleh Pemprov Sumut atau kementerian pariwisata bekerja sama dengan pemrov dan Pemkab Samosir. Semoga jadi kenyataan.