Permainan Dana Desa

permainan-dana-desa

SEPEKAN terakhir, dugaan terjadinya permainan Dana Desa mengemuka di Tanah Air. Desa fiktif dan rekayasa atau “siluman” menyerap dana tersebut selama beberapa tahun terakhir. Kerugian bukan hanya menimpa negara, tetapi juga publik. Selain membutuhkan tindakan tegas, pemerintah juga bertanggung jawab dalam memperbaiki pengelolaan dana ini sekaligus administrasi pemerintahan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Senin (4/11/2019) mengungkapkan adanya fenomena desa “siluman” ini--desa yang dinyatakan tidak ber­peng­huni. “Kami mendengarnya sesudah pem­bentukan ka­binet dan nanti akan kami investigasi,” ujarnya. Du­gaan ini terkonfirmasi dengan munculnya hasil pe­nyelidikan Polda Sulawesi Tenggara. Terungkap, di Kabupaten Konawe, terdapat 23 desa “siluman” yang tidak terdaftar di Kementerian Dalam Negeri dan 2 desa lainnya adalah fiktif. Sebelumnya, di Kabupaten Aceh Tamiang juga diduga ada satu desa “siluman” yang menikmati Dana Desa.

Sampai sekarang, memang belum ada tersangka yang ditetapkan dalam kasus ini. Meski masih dalam perhitungan, namun kerugian negara jelas terjadi. Di­perkirakan mencapai puluhan hingga ratusan miliar ka­rena sudah terjadi selama beberapa tahun. Apalagi, alo­­kasi dana tersebut tidak kecil. Misalnya, pada 2019, total dana desa yang dianggarkan mencapai Rp70 triliun. Menurut data Kementerian Desa, Pem­ba­ngu­nan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT), jumlah desa tahun ini sebanyak 74.597 desa. Se­hingga, diperkirakan alokasinya mencapai Rp900 juta/desa.

Kita sejalan dengan langkah awal yang akan dilakukan pemerintah saat ini, yaitu langkah hukum. Melalui kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang saat ini sudah menanganinya, kita harapkan segera terungkap secara jelas bagaimana kejahatan korupsi ini dijalankan, termasuk juga para pelakunya. Demikian juga dengan kebijakan lain seperti disampaikan Menkeu Sri Mulyani yang menyatakan, pihaknya akan mengevaluasi program Dana Desa. Salah satunya ialah dengan dengan memperketat aturan pencairan dana tersebut.

Akan tetapi, langkah di atas tidak cukup. Kasus du­gaan permainan Dana Desa ini juga kita harapkan men­jadi bagian dari perbaikan administrasi peme­rintahan, khususnya menyangkut jumlah desa secara aku­rat. Sebab, KPK menduga, sebagian dari desa “siluman” itu, meski tidak terdaftar di Kemendagri, na­mun bisa memperoleh alokasi dana itu. Caranya, surat keputusan (SK) pembentukan desa itu dibuat dengan tanggal mundur. “Pada saat desa itu dibentuk sudah ada moratorium [pembentukan desa] dari Kemendagri sehingga untuk mendapatkan dana desa harus dibuat tanggal pembentukan backdate,” kata Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, Rabu (6/11).

Dugaan kasus ini harus menjadi pendorong terjadinya pendataan pemerintahan desa secara akurat. Penyisiran jumlah desa tersebut dilakukan dengan melibatkan lintas kementerian dan lembaga, misalnya Kementerian PDTT, Kemendagri, Badan Pusat Statistik (BPS), Polri bahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Kementerian dan lembaga ini kita yakini memiliki data dengan tingkat validitas tinggi. Dengan pemeriksaan silang tersebut, bisa diperoleh jumlah desa definitif dan sah berdasarkan ketentuan tata administrasi pemerintahan.

Gambaran atau profil lebih utuh tentang desa juga akan bisa didapatkan dari pendataan ini. Berbekal itu, pemerintah juga bisa membuat kebijakan lebih baik bagi desa, termasuk misalnya pemekaran atau malah peleburan desa. Tentu pertimbangan utama­-nya adalah efisiensi tata kelola pemerintahan. Pun begitu dengan pengalokasian Dana Desa pada tahun-tahun selenjutnya: menjadi lebih tepat sasaran dan tidak lagi muncul kasus desa fiktif atau “siluman”.

Dengan akuratnya jumlah desa, penyaluran Dana Desa juga menjadi lebih pasti besarannya. Berkaca dari kasus di atas, potensi kerugian negara yang bisa mencapai puluhan hingga ratusan miliar, semestinya dapat dimanfaatkan untuk membangun sektor lain yang selama ini kurang mendapat perhatian karena terbatasnya anggaran negara, misalnya pemerintahan elektronik (e-government) di tingkat desa.

Dugaan permainan Dana Desa melalui desa fiktif dan “siluman” harus dituntaskan. Bukan cuma demi penyelamatan uang negara sehingga bisa diman­faatkan untuk kepentingan pembangunan sektor lain yang juga membutuhkan penanganan, tetapi juga ba­gian dari memerangi korupsi yang masih menjadi pro­­blem terbesar dalam pemerintahan. Ini juga menjadi momentum pembenahan tata kelola dan ren­­tang kendali pemerintahan yang merupakan ba­gian dari upaya reformasi birokrasi yang harus dituntaskan.

()

Baca Juga

Rekomendasi