
Yogyakarta, (Analisa). Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir mengimbau masyarakat Indonesia tidak mudah disulut kebencian dan kemarahannya untuk kepentingan kelompok tertentu.
“Belakangan ini perhatian masyarakat Indonesia disibukkan oleh beragam isu politik. Banyak dari mereka yang terkotak-kotak berdasarkan kelompok yang mereka dukung, yang kemudian menimbulkan ketegangan yang tidak jarang menjadi konflik,” katanya di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Senin (11/2).
Pada seminar Pra-Tanwir Muhammadiyah bertema “Beragama yang Mencerahkan Dalam Perspektif Politik Kebangsaan”, Haedar mengatakan keadaan itu menjadi tanda bahwa masyarakat memerlukan pencerahan agar meraka dapat melihat dengan lebih baik.
“Sebagai sebuah agama, Islam hadir sebagai pencerahan yang dicerminkan melalui ayat pertama yang diturunkan dalam wahyu kepada Nabi Muhammad SAW, yakni Iqra. Ayat itu turun ketika Nabi Muhammad SAW sedang risau terhadap kondisi masyarakat Arab saat itu,” katanya.
Keadaan masyarakat Arab saat itu, menurut dia, dapat dideskripsikan dengan kata dzulumat yang diartikan sebagai kegelapan baik dalam kultural maupun struktural.
Dijelaskannya, ayat iqra itu kemudian muncul sebagai tanwir, pencerah, yang memberikan cara untuk keluar dari kegelapan tersebut. Ayat itu memiliki inti untuk menegakkan ilmu dan akal pikiran.
“Dari pemaknaan itu kemudian memunculkan berbagai konsep seperti tafakkur dan tadabbur. Pemaknaan dan penerapan dari iqra tersebut yang kemudian saya rasa sangat berkurang di masyarakat kita saat ini,” tutur Haedar.
Diutarakannya, sekarang ayat-ayat seringkali hanya dikutip untuk kepentingan tertentu atau bahkan digunakan untuk menyulut kemarahan, kebencian, dan pertikaian. Bukan hanya pada isu sosial politik, tetapi juga pada aspek kehidupan sebagai orang beragama.
“Kondisi itu menyebabkan kita menjadi intoleran terhadap perbedaan. Padahal, ketika Islam dimaknai secara kontemplatif, agama ini menuntun kita untuk menjadi pribadi yang berpikir, dan ini yang ingin kita lakukan, mengembalikan Islam pada nilainya yang luhur dan fundamental,” katanya.
Jadi pencerah
Di bagian lain, Haedar Nashir meminta kalangan intelektual tidak diam saat Pilpres 2019. Dia mengimbau kaum terdidik di kampus-kampus menjadi pencerah dengan memberikan pemahaman kepada masyarakat bawah.
“Sangat (dibutuhkan). Jadi peran intelektual itu ya sebagai pencerah. Kalau dalam bahasa agama disebut sebagai ar rasikhuna fil ilmi, sebagai pencerah,” katanya.
“Di saat masyarakat berpikir sumbu pendek, ya tugas intelektual, tugas ilmuwan, itu memberi perspektif ‘kayak gini lho politik itu’. Politik ini sebenarnya menjadi alat demokrasi yang baik buat kita berbangsa dan bernegara, bukan alat untuk perang dan permusuhan,” lanjutnya.
Menurut Haedar, kalangan intelektual saat ini masih banyak yang memilih bungkam. Sementara kaum intelektual yang bersuara lantang adalah mereka yang bergabung di salah satu timses capres-cawapres 2019.
“Maka saya imbau kaum intelektual itu harus tetap menjadi kekuatan yang mencerahkan akal budi masyarakat. Jadi dari UGM, dari UI, ITB, perguruan tinggi Muhammadiyah, ayo bangkit kaum intelektual,” tuturnya.
“Mereka yang sekarang ada di kampus-kampus, di laboratorium, dan berada di menara gading saya imbau untuk mari turun gunung mencerahkan masyarakat agar suasana berpolitik itu gembira, riang,” pungkas Haedar.
Terkait Pilpres 2019 sendiri, Haedar Nashir mengibaratkan panasnya kontestasi layaknya laga el clasico, laga klasik antara Real Madrid melawan Barcelona. Kontestasi ini membelah masyarakat.
“Situasi politik sekarang ini ‘kan memang membelah (masyarakat). Ini ‘kan akibat dari dua pasangan (capres) yang ini ulangan dari periode yang lalu (di Pilpres 2014). Jadi kayak el clasico,” ujarnya.
Menurut Haedar, polarisasi yang terjadi dalam masyarakat--juga menjadi agenda yang dibahas dalam tanwir--disebabkan Pilpres 2019 adalah ulangan Pilpres 2014. Layaknya laga el clasico yang tensinya tinggi, kedua kubu pun menolak kalah.
“Karena el clasico itu ‘kan muara menang-kalahnya itu tinggi sekali. Nah, akibatnya terjadi apa? Ya to be or no to be. Ketika masyarakat berpolitik to be or not to be, lalu menjadi absolut harus menang dan jangan kalah," paparnya.
“Apa yang terjadi? Itu (keyakinan to be or not to be berpotensi memantik) suasana yang potensial untuk adanya rasa permusuhan, rasa saling terancam, kebencian, dan sebagainya,” ungkapnya.
Untuk menghadapi situasi tersebut, lanjutnya, Muhammadiyah mencoba menghadirkan keseimbangan. Muhammadiyah mengajak masyarakat berpikir jernih dalam menghadapi pilpres 2019.
“(Kami) mengajak masyarakat berpikir lebih jernih, lebih kontemplatif, dan kembali pada ajaran agama yang mengajarkan kedamaian, persaudaraan, kemudian juga kebajikan, terus juga nilai-nilai amanah,” tandasnya.
Undang Jokowi-Prabowo
Dalam sidang tanwir yang akan digelar di Bengkulu pada 15-17 Februari 2019, PP Muhammadiyah juga mengundang Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto.
“Sidang Tanwir itu dalam organisasi PP Muhammadiyah merupakan permusyawaratan tertinggi di bawah muktamar. Sesuai anggaran dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART) PP Muhammadiyah, sidang Tanwir dilaksanakan sekurang-kurangnya sekali dalam satu periode,” kata Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, dalam konferensi pers di gedung Dakwah PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, kemarin.
Abdul mengatakan ada beberapa agenda besar yang berkaitan dengan keorganisasian hingga keumatan akan dibahas dalam sidang tersebut.
Pertama, pembahasan perubahan ART Muhammadiyah. Kedua, penyampaian pokok-pokok pikiran Muhammadiyah tentang kehidupan keumatan dan kebangsaan.
“Kemudian adalah pembahasan yang berkaitan dengan progres atau dinamika persyarikatan Muhammadiyah baik di level nasional maupun level pimpinan wilayah,” sambungnya.
Rencananya, sidang Tanwir dibuka Wakil Presiden Jusuf Kalla. Sementara, Jokowi dan Prabowo diundang sebagai tokoh nasional, bukan capres.
“Ceramah dari para tokoh nasional. Mereka yang kita undang adalah Pak Ir H Joko Widodo dan Pak Prabowo Subianto. Keduanya kita undang dalam kapasitas sebagai tokoh nasional bukan sebagai capres,” demikian Abdul. (dtc/Ant)