
BANYAK yang tidak mengetahui keislaman Soekarno, proklamator dan presiden pertama RI. Desoekarnoisasi yang lama dan massif menyebabkan Soekarno dipandang secara keliru: sebagai tokoh yang jauh dari Islam. Padahal, sepanjang kiprahnya sebagai tokoh pergerakan dan presiden, Soekarno memperlihatkan sebagai sosok yang sangat peduli pada Islam.
Sebagai pribadi, Soekarno sangat mencintai Islam. Ia mencintai Islam lewat pencarian panjang. Pencarian itu dilakukannya dengan berguru pada tokoh Sarekat Islam, H.O.S. Tjokroaminoto. Kecintaan ini di antaranya ditunjukkan dengan menjadikan Nabi Muhammad saw. sebagai inspirator perjuangannya. Bagi Soekarno, Muhammad adalah contoh nyata keberhasilan revolusi mental yang dilakukan pada masyarakatnya. Karena itulah, dalam perjalanan ibadah haji pada 1955, Soekarno menyempatkan diri berziarah ke makam Rasulullah. Ia melepaskan semua atribut dan pangkat kenegaraan yang disandangnya, lalu bersimpuh sambil menitikkan air mata di hadapan makam. “Di sini hanya ada Rasulullah saw. yang memiliki pangkat jauh lebih tinggi dari kita,” ucap Soekarno (hlm. 74).
Hati Soekarno selalu tertaut pada masjid. Selain Istiqlal, banyak masjid terkenal merupakan gagasannya. Di antaranya Masjid Baiturrahim Istana Merdeka, Masjid Salman ITB, Masjid Syuhada Yogyakarta, dan Masjid Raya Bandung. Bahkan saat berada di pembuangan, Soekarno selalu mendorong berdirinya masjid, seperti Masjid Jamik Bengkulu, Masjid Ar-Rabithah Ende, dan Masjid Taqwa Parapat, di tepi Danau Toba, Sumatra Utara. Masjid Taqwa bermula dari keluhan Soekarno tentang tidak adanya masjid ketika ia dibuang di Parapat. Kemudian Soekarno bersama H. Abdul Halim Pardede, tokoh setempat, mendirikan masjid tersebut.
Di tingkat dunia, kecintaan Soekarno pada masjid juga terlihat. Dalam kunjungannya ke Uni Soviet pada 1956, Soekarno mendatangi Leningrad. Ia tertarik melihat sebuah gudang berkubah dengan dua menara kembar. Soekarno yakin itu adalah masjid. Kemudian ia meminta Nikita Khrushchev, pemimpin Soviet, agar memfungsikan kembali gudang tersebut sebagai masjid. Sepuluh hari kemudian, Khrushchev mengabulkan permintaan Soekarno. Masjid yang dijadikan gudang peralatan medis sejak Perang Dunia II itu pun berubah kembali menjadi Masjid Agung Leningrad (kini Masjid Agung St. Petersburg, Rusia) (hlm. 167).
Selain Soekarno, tokoh lain yang mempunyai andil dalam pembukaan kembali Masjid Agung Leningrad adalah K.H. Zainul Arifin Pohan. Ulama kelahiran Barus, Tapanuli Tengah ini sering mendampingi Soekarno dalam berbagai kunjungan kenegaraan. Soekarno banyak berdiskusi dengan tokoh NU ini ketika menemukan Masjid Agung Leningrad. Saat itu K.H. Zainul Arifin menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri RI.
Di Soviet, kecintaan Soekarno pada Islam semakin tampak ketika ia “menuntut” ditemukannya makam Imam Bukhari. Makam ulama perawi hadis ini awalnya “disembunyikan” rezim komunis Soviet. Ketika pada 1961 Khrushchev mengundang Soekarno untuk melakukan kunjungan kenegaraan, Soekarno mengajukan syarat agar pemerintah Soviet menemukan dulu makam Imam Bukhari karena ia ingin berziarah ke sana. Akhirnya Soviet menemukan makam tersebut dan Soekarno menziarahinya saat kunjungan kenegaraan. Permintaan Soekarno tidak sampai di situ, ia juga meminta agar makam yang berada di Samarkand, Uzbekistan itu dirawat dan dijaga dengan baik. Jika tidak, Soekarno “mengancam” memindahkan makam tersebut ke Indonesia untuk dijaga dan dirawat (hlm. 176).
Masih banyak fakta keberpihakan Soekarno pada Islam yang diungkap buku ini. Termasuk dukungan penuh Soekarno pada kemerdekaan negara-negara Islam di Afrika, seperti Aljazair, Maroko, Sudan, dan Tunisia. Bahkan untuk Aljazair, Soekarno sampai menyelundupkan senjata untuk membantu pejuang Aljazair melawan penjajah Prancis. Soekarno juga mendukung Pakistan yang ingin melepaskan diri dari India dengan alasan Pakistan berpenduduk mayoritas Islam. Tidak mengherankan jika di negara-negara ini nama Soekarno begitu harum dan diabadikan menjadi nama tempat dan jalan.
Buku karya alumnus UIN Jakarta ini membuka mata kita tentang keislaman Soekarno yang selama ini terlupakan atau memang sengaja dilupakan.
Peresensi adalahpenulis dan pekerja pustaka