Guzheng, Warisan Zaman Kedinastian yang Masih Ada di Medan

guzheng-warisan-zaman-kedinastian-yang-masih-ada-di-medan

Analisadaily (Medan) - Alunan alat musik asal Negeri Tirai Bambu, Guzheng atau Kecapi Tiongkok, menjadi salah satu tradisi ketika merayakan tahun baru Imlek.

Ngartini Huang (50) merupakan salah seorang yang hingga kini masih tetap melestarikan alat musik Guzheng.  

Di Kota Medan hanya Ngartini yang membuka sekolah Guzheng. Jade Music School merupakan sekolah yang didirikannya di Jalan Singosari, Kelurahan Sei Rengas Permata, Kecamatan Medan Area. Ini merupakan sekolah yang masih melestarikan alat musik peninggalan zaman kedinastian di Tiongkok ribuan tahun silam.  

"Selain Guzheng, di sekolah ini juga mengajarkan Pipa, yakni alat musik petik menyerupai gitar modern," kata Ngartini, Selasa (5/2).

Guzheng terdiri dari kotak kayu dengan lengkung cembung pada bagian atas. Ada 21 senar yang terpasang dengan kayu-kayu kecil sebagai penyangga. Guzheng 21 senar merupakan yang paling modern dan telah banyak berevolusi.

Dari berbagai sumber menyebut bahwa Guzheng awalnya hanya memiliki lima senar. Namun pada zaman Dinasti Qin dan Dinasti Han jumlah senarnya bertambah menjadi 12. Pada zaman dinasti Ming dan Qing jumlah senarnya bertambah lagi menjadi 14-16. Standar Guzheng yang digunakan sejak tahun 1970 hingga saat ini terdiri dari 21 senar.

Ngartini yang juga seorang dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara (FIB-USU) bersama para muridnya juga menggarap lagu-lagu khas tanah air. Bahkan saat memainkan lagu Indonesia Pusaka gubahan Ismail Marzuki, alunan suara Guzheng begitu harmonis dan menyentuh hati.

Sejumlah anak bermain Guzheng di

Sejumlah anak bermain Guzheng di Jade Music School

Ngartini mengungkapkan bahwa kegemaran dirinya memainkan alat musik Guzheng sudah terbentuk sejak kecil yang kemudian diperdalamnya di Tiongkok.

Saat menimba ilmu di Tiongkok, Ngartini belajar langsung dari sang maestro Guzheng, Sun Wen Yan. Dia merupakan seorang guru besar Guzheng di Universitas Musik Shanghai.

"Dari beliau lah saya belajar dan memperdalam Guzheng hingga akhirnya saya bisa menjadi pemain Guzheng profesional setelah mendapat sertifikat," ungkapnya.

Ngartini menuturkan bahwa sekolah yang didirikannya saat ini memiliki murid sekitar 100 orang dengan usia antara 3 sampai 80 tahun. Para murid diajarkannya teknik dasar hingga mahir.

"Musik yang dipelajari mulai jenis klasik sampai modern, saya menyesuaikan selera pasar namun tetap tidak menghilangkan unsur kebudayaan," tuturnya.

Di Kota Medan, Ngartini sering mengisi berbagai acara, terutama saat perayaan Imlek yang membuat mereka kebanjiran orderan.

"Kalau pas musim Imlek itu ramai manggung. Biasanya menunjukkan permainan dua kecapi, empat kecapi atau bisa lebih besar," ucapnya.

"Lagu yang kita bawa kalau pas Imlek, misalnya Gong xi Gong xi atau bisa juga mandarin pop. Yang bernuansa riang untuk Imlek," pungkas Ngartini.

(JW)

Baca Juga

Rekomendasi