Pancasila sudah Final !

pancasila-sudah-final
Oleh: Jan Roi A Sinaga. Berkali-kali kita mendengar seruan dari Habib Rizieq Shihab untuk segera mengaplikasikan NKRI Ber-Syari’ah sebagai dasar hukum bangsa kita. Bahkan, beberapa politisi kerap menimpali dan mengaminkan seruan tersebut, ditambah beberapa tokoh agama yang berulang kali menyerukan hal yang sama saat mengomentari kasus prostitusi online yang melibatkan artis cantik, Vanessa Angel tersebut. Tapi, benarkah Indonesia harus benar-benar menggunakan label “Syari’ah” sebagai dasar hukumnya?

Sebagai seorang non-muslim, agak sedikit tabu bagi saya untuk membahas hal ini, karenanya tulisan ini tidak menjelaskan lewat sudut pandang pengetahuan agama, namun lebih kepada ‘kebutuhan solusi’ demi kebaikan bangsa.

Dalam esai yang ditulis oleh Denny JA pada portal online pwi.or.id, dijelaskan secara gamblang apa sebenarnya yang dibutuhkan bangsa ini, agar masuk kategori ‘baik’ dan bahagia. Bukan NKRI Ber-Syari’ah jawabannya, melainkan ruang publik yang manusiawi, dalam artian saling menghargai, menghormati, dan menjaga kerukunan serta persatuan dan kesatuan. 

Karena sebaik apapun hukum yang dituliskan, sejelas apapun peraturan yang digaungkan, tanpa adanya kesadaran dan keterbukaan ruang publik yang manusiawi, segala bentuk kejahatan dan zinah tidak akan pernah hilang.

Bahkan, bukan hukum atau peraturan yang sebegitu ketatnya yang akhirnya mampu menciptakan kerukunan dan indeks kebahagiaan suatu negara. Hal ini dibuktikan beberapa penelitian yang juga dituliskan Denny JA dalam esainya. Yayasan Islamicity Index dan sebuah badan yang dibentuk khusus oleh PBB bernama UN Sustainable Development Solution Network (SDSN), telah melakukan penelitian tentang hubungan suatu peraturan yang diterapkan di sebuah negara yang berdampak kepada ekonomi, kebahagiaan, dan ruang publik yang manusiawi bagi rakyatnya.

Dan jika kita hubungkan dengan sejumlah aturan tertulis dalam kitab suci baik Al-Qur’an, Alkitab, maupun kitab suci lainnya, tidak ada satupun parameter yang diukur yang bertentangan dengan nilai-nilai agama. Semuanya baik. Bahkan, Islamicity Index dan SDSN mengukurnya dengan parameter yang jelas, yakni dari segi ekonomi Islamicity, Legal and Governance, human and political right, dan International relation. Dan dari hasil penelitian kedua lembaga tersebut, sungguh diluar dugaan.

Negara-negara yang secara substansial melaksanakan apa yang dianjurkan kitab suci, bukan lah berasal dari negara yang masyarakat nya sangat ‘sibuk’ dalam urusan agama. 

New Zealand, Netherland, Swedia, Irlandia, Switzerland, Denmark, Kanda dan Australia berada pada peringkat 10 besar. Pemerintahan nya bersih, ketimpangan ekonomi sangat kecil, saling menghormati hak asasi masing-masing, dan peduli terhadap kemanusiaan. Apa yang kurang dari ajaran agama terhadap parameter yang diukur ini?

Lalu dimana posisi negara yang masyarakatnya sibuk dengan agama, bahkan negara yang jelas-jelas mendeklarasikan diri sebagai negara dengan aturan kitab suci agamanya? Indonesia sendiri berada pada urutan ke 74 (hasil survey Islamicity Index 2017). 

Arab Saudi yang menyatakan dirinya menjalankan aturan sesuai kitab suci Islam, meski pada prakteknya lebih kepada instruksi sang raja (Bani Saud) berada pada urutan ke 88. Hanya Malaysia sedikit lebih baik, dengan nangkring di posisi 43.

Lantas, apakah kita memang lebih mementingkan label “syari’ah”, atau substansi yang sudah jelas-jelas baik dengan dasar negara kita, yakni Pancasila?

Apakah Hanya ‘Kedok’ Semata?

Kata “Syari’ah” memang sangat identik dengan ajaran Islam, dan sebagai non muslim memang pengetahuan tentang ini sangat terbatas, dan terasa tabu saat membahasnya. Namun seperti tercatat pada Wikipedia, Syari’ah diartikan sebagai “tempat air mengalir”. 

Dan secara kharafiah, segala sesuatu yang berhubungan dengan kata ‘air’ adalah sesuatu yang baik. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa kata “Syari’ah” berarti suatu aturan yang bertujuan untuk kebaikan umat (bersama). Jelas secara makna bahwa Syari’ah sangat baik, dan bila diaplikasikan kedalam kehidupan sehari-hari, tentu lah baik pula.

Akan tetapi, apakah Pancasila sebagai dasar negara kita tidak lah baik? Jikalau pun Habib Rizieq Shihab dan rekan-rekannya masih Keukeh dengan NKRI Ber-Syari’ah-nya, maka sebaiknya dijelaskan lagi parameternya seperti apa sehingga indeksnya bisa diukur, perlu juga penjelasan lebih detail, konsep seperti apa yang mereka maksud. Dan setelah didapat, haruslah di konfrontasi secara ilmiah dengan dasar negara kita saat ini, yakni Pancasila, pada bahagian mana yang tidak sesuai dengan Syari’ah yang dimaksud.

Pancasila sebagai dasar negara sudah sangat sesuai anjuran kitab suci, sudah syar’i, lantas apalagi yang ingin kita pertentangkan?

Dalam acara Haul Gus Dur yang ke 9 beberapa waktu lalu, seperti dituliskan portal NUonline, K.H Mustofa Aqil Siroj berujar bahwa Pancasila adalah hasil istikharah para Ulama. 

“Semua berjuang mengusir penjajah, ada Islam, Kristen, Budha, Hindu, Katolik, para Romo dan ulama juga berjuang mengusir penjajah. Kalau kita jadikan (bentuk) negara Islam, bagaimana yang Kristen. Kalau kita jadikan negara Kristen, bagaimana dengan Buddha, kan tidak terima” ucap beliau. 

Masih berdasarkan penjelasan beliau, akhirnya saat itu para ulama berkumpul di Jawa Timur dan memutuskan mengutus K.H. Abdul Wahid Hasyim ke Jakarta untuk ikut merumuskan dasar negara. Sehingga terbentuklah Pancasila yang bisa membuat rakyat Indonesia hidup berdampingan dengan damai, tentram, namun tetap dalam koridor payung hukum yang jelas.

K.H. Quraish Shihab pun pernah menyatakan pendapatnya, bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila bersumber dari jaran agama dan telah disepakati bersama seluruh elemen bangsa. Nilai ajaran agama dan budaya sudah tersimpan dalam Pancasila sebagai pakaian bangsa, sebagai pembeda bangsa Indonesia dari bangsa lain.

Jika para ulama besar saja sudah menyatakan pendapatnya bahwa Pancasila sudah sesuai syari’ah, yang berisi nilai-nilai agama dan ajaran menuju kebaikan bersama, lantas apalagi yang harus dipermasalahkan?

Sebenarnya yang menjadi masalah bukanlah label tentang NKRI Ber-Syari’ah harus disahkan, tapi bagaimana pengaplikasiannya dalam kehidupan bermasyarakat. Bagaimana kita bisa hidup untuk memberi pengaruh yang baik kepada sesama, dan menjadikan ruang publik lebih manusiawi seperti yang dituliskan Denny JA dalam esai nya. Karena sebaik apapun ‘hukum’ yang diterapkan, bahkan diklaim lebih baik dari Pancasila sekalipun, sesuatu yang Batil, kriminal, dan bentuk kejahatan lainnya tidak akan pernah hilang dari kehidupan kita, selama para penceramah yang seharusnya mengajarkan nilai-nilai kebaikan agama, lebih ‘bahagia’ mengajarkan hasutan politik dan kekerasan, bukan kedamaian dan ketenteraman.

Pancasila sudah final, dan tidak semestinya lagi untuk kita perdebatkan. Ia sudah mewakili nilai-nilai kebaikan yang diajarkan Agama dan Budaya bangsa, dan seruan NKRI Ber-Syari’ah sudah saatnya dihentikan sebagai ‘label’, tapi butuh aplikasi dalam kehidupan sehari-hari. Karena jika terus mendengungkan seruan tanpa proposal yang jelas secara ilmiah, bukan tidak mungkin, sebahagian orang akan berfikir bahwa seruan itu hanyalah “kedok” semata, demi mengumpulkan massa. 

Jika benar demikian, maka benarlah ungkapan Ibnu Rusyd ber-abad-abad lalu, “Jika ingin menguasai orang bodoh, bungkuslah sesuatu yang batil dengan agama”. Tapi saat ini, kita tidaklah orang bodoh yang bisa diperalat oknum yang bersembunyi di balik sucinya ajaran agama.*** 

Penulis, Pemerhati Sosial, Politik, dan Pendidikan

()

Baca Juga

Rekomendasi